Part 24

1.7K 272 38
                                    

15 Februari 2022

•••

"Apa kamu juga ingin meninggalkan Papah, huh? Apa begitu? Semua pertanyaan kamu ini mengacu ke sana?" tanya pria itu, semakin menekan kata-katanya.

Brendon menarik napas, memejam selama beberapa saat, emosinya benar-benar dipermainkan saat ini, meski kemudian ia menjawab, "Kalau Papah gak mau kehilangan, jangan bikin mereka milih menghilang dari kehidupan Papah."

Pria itu tersenyum, senyum miris. "Apa kamu akan meninggalkan Papah? Huh?"

Brendon menggeleng. "Aku gak akan meninggalkan Papah, sekalipun ada satu sisi di mana aku ingin melakukannya, tapi aku punya janji sama Mamah. Aku tau Papah gak mau sendirian, aku tau Papah kehilangan Mamah, aku rasa Papah sendiri gak rela Kakak pergi dengan pilihannya. Itu kenapa, aku gak akan meninggalkan Papah."

Akhirnya, ungkapan itu bisa keluar juga, setelah sekian lama Brendon memendamnya. Entah kenapa ada sebuah tenaga yang membuatnya berhasil mengutarakan itu semua, ia tak tahu apa yang akan terjadi berikutnya ....

"Kakak sukses dengan jalannya sendiri, Pah. Bukannya seharusnya ... Papah bangga? Dia udah jadi bintang besar." Brendon menimpali, melihat ke arah pria tua itu yang kini diam seribu bahasa, meski wajahnya amat dingin hingga Brendon tak tahu apa yang tengah ia pikirkan.

"Kembalilah bekerja." Hanya dua kata itu, sebelum akhirnya si pria berjalan pergi meninggalkan Brendon yang bersyukur karena tak ada hal buruk terjadi.

Dan semoga saja ia memikirkan ungkapan Brendon saat ini.

Pria tua itu kini berjalan, menyusuri koridor dengan wajah dinginnya, tak bisa dipungkiri ternyata ungkapan Brendon terngiang-ngiang di kepala. Ia ingat seseorang pernah mengatakan hal sama, hal yang sempat ia lupa, oh ... itu ungkapan mendiang istrinya. Tak akan pernah meninggalkan pria tua yang takut kesepian ini, tetapi membuat orang lain tak betah bersamanya.

Namun, prinsipnya sangatlah kokoh.

Sangat.

Jadi, ia menepis diri jika semua yang ia lakukan demi anaknya juga. Brendon punya masa depan, sedang kakaknya ... ada masa di mana ia akan berjaya dan turun. Akan sulit. Memang bisnis mereka pun demikian, tetapi warisan turun temurun, otak encernya, pasti akan membuat semuanya baik-baik saja. Kehidupan Brendon akan jauh lebih cerah!

Saat keluar lift, semua yang tengah menikmati kue segera menyingkir dan memberikan hormat, meski pria itu cuek saja. Bahkan yang makan stop makan meski tak tahan betapa enaknya bolu itu. Pria itu terdiam, sejenak matanya menangkap banyak kotak yang sepertinya berisi kue, dan di bagian kotak kue ada catatan tertera.

"Maafkan sikap saya kemarin, selamat makan semua -Brendon Manggala." Begitu ungkapannya.

Pria itu mengerutkan kening. "Apa yang dia lakukan hingga segitunya?" Brendon memang pria dengan sifat ngalus yang luar biasa. Meski tak heran karena sifat itu seratus persen mirip ibunya. Dan sang ayah mengajarinya banyak hal untuk mengantisipasi sifat terlalu baik yang bisa saja menjadi bumerang untuk Brendon sendiri.

Ia memperhatikan kotak berisi kue itu semakin dekat, kue di dalamnya dilapisi plastik makanan, pria itu segera mencomot satu kue yang entah kenapa sangat menggugah selera, sebelum akhirnya beranjak pergi keluar. Semua yang tadi bak menahan napas akhirnya bisa lega akan kepergian bos besar mereka.

Pria itu keluar, menuju mobilnya yang dikendarai supir, dan mulai mobil itu berjalan tanpa babibu untuk pergi dari sana.

Mata pria tua itu menatap kue bolu di tangannya, menatapnya bingung selama beberapa saat kenapa ia mengambil ini, tetapi kemudian ia membuka bungkusnya dan menyantapnya.

"Istriku ...." Itu adalah kata yang keluar dari mulut ayah Brendon kemudian.

Di sisi Brendon, ia kembali bekerja giat bersama Kimberly, ia berusaha menepis pemikirannya tentang hal lain dulu dan fokus bekerja tetapi tentu saja agaknya tak mudah. Brendon sedikit frustrasi, meski ia bersyukur Kimberly ada membantunya saat ini.

"Mm Kim," tanya Brendon akhirnya.

"Ya, Pak?" Kimberly tersenyum semanis mungkin.

"Apa Papah saya berbicara sesuatu dengan kamu?"

Kimberly menggeleng. "Dia hanya bertanya keberadaan Bapak, itu saja." Pria itu memang tak banyak bicara.

Kimberly sebenarnya kepo, kemarin ada kakaknya, sekarang ayahnya, ternyata keluarga konglomerat punya masalah sendiri. Meski kepo, Kimberly sadar dia tak ingin Brendon seperti kemarin, meski menjadi pribadi yang cool dan elegan tetap saja Brendon ramah dan perhatian yang dia suka.

Setelahnya, tak ada percakapan lagi, kini istirahat dan Kimberly tampak membuatkan makan siang sederhana untuk Brendon. Ia masih belajar memasak, dan itu agak sulit, jadi ia khawatir meledakkan dapur perusahaan.

Sementara Brendon, ia masih kepikiran soal ayahnya, tetapi kemudian ia jadi kepikiran hal lain yang juga mengganggu pemikirannya. Ia menatap Kimberly, dan Kimberly yang ditatap agak kaget karena kejelian Brendon menelitinya, kedua pipi wanita itu memerah tetapi berusaha menyembunyikan agar ia kelihatan baik-baik saja.

Brendon memikirkan perasaannya bersama Kimberly, beda dengan saat ia bersama Laila ....

Apa ia harus mencoba? Tapi perasaan bukan objek coba-coba. Kimberly juga kelihatannya tak memiliki perasaan padanya, hanya sekadar bos dan sekretaris yang tengah menjalin kerja.

Kimberly sebenarnya jual mahal, hingga tak terlihat demikian.

"Pak, ada apa?" tanya Kimberly akhirnya karena keintensan itu cukup menggoyahkan diri, Brendon tersadar dari lamunan.

"Ah, gak papa, maaf." Brendon pun makan siang. "Kim, boleh saya tanya?"

"Tanya apa, Pak?" Kimberly antusias.

"Jatuh cinta itu bagaimana?" Brendon bertanya sebenarnya hanya benar-benar penasaran, kenapa ada perbedaan antara ia bersama Laila dan ia bersama orang lain. Sekaligus, sedikit memancing meski sudah dari awal ragu Kimberly memiliki perasaan sama.

Sedang Kimberly merasa, tampaknya Brendon tengah memulai start untuk mereka bersama, ya kan? Tidak mungkin pria ini tak tahu soal itu, ia pasti tengah mengode-ngode, Brendon bukan terlihat seperti pria polos nan lugu!

"Ah, lupakan pertanyaan saya, tidak penting. Saya harusnya profesional." Brendon menyela segera, ia tak seharusnya membawa pertanyaan hati di situasi begini, terlebih dengan apa yang barusan terjadi.

Kimberly semakin girang, apa Brendon berusaha agar Kimberly lebih peka, memang wajah Kimberly seakan ia tak merasa apa-apa.

"Ah, iya, gak papa, Pak." Kimberly memakai mode jual mahal saja seperti biasa. Meski, ia ingin sedikit memancing Brendon juga. "Tapi kalau Bapak ngerasa perlu curhat, gak masalah, kok. Daripada itu membuat Bapak kepikiran pas kerja. Pembicaraan kecil ini gak papa."

"Ugh, yah ...." Brendon rasa perkataan Kimberly ada benarnya, mungkin ia bisa cerita sedikit, semoga tak mengganggu kinerjanya. "Menurut kamu apa cinta itu?"

"Dua insan, bersama, saling memadu kasih, setia, saling melengkapi, dan sehidup semati." Kimberly mengatakan hal yang ia tahu soal itu.

"Gimana kita tahu kalau kita jatuh cinta?" Kimberly semakin bahagia, apa benar Brendon siap menyatakan sesuatu. Astaga, secepat ini, Kimberly sanggup saja menjalinnya.

Dan ini fakta, Brendon pasti benar-benar single!

"Ah, jatuh cinta, bagi saya malu-malu kucing, kayak keinget bikin senyam senyum, mikirin dia terus, tatap-tatapan, kadang curi pandang, dan yang pasti dada berdebar gitu, Pak. Ada rasa bahagia gitu kalau di dekat si dia."

Brendon terdiam, itu semua ia rasakan kala di dekat Laila ....

"Apa itu kagum?" tanya Brendon memastikan.

"Kagum bisa jadi salah satu bagian dari yang saya sebutin, soal jatuh cinta, Pak. Bapak ... jatuh cinta ya?"

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

DADDY KUCING [Brendon Series - M]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang