Angin malam semakin menusuk menerpa Roseanne dan Jidan yang masih duduk di gazebo. Mereka duduk terdiam setelah beberapa menit lalu Jidan bercerita banyak hal tentang dirinya pada Roseanne.Saat ini tidak ada siapapun yang memulai pembicaraan selain suara semilir angin yang menerpa dedaunan.
Roseanne sebenarnya sudah cukup merasa kedinginan, tapi entah kenapa dia enggan beranjak, ia ingin menemani Jidan yang tengah menenangkan diri dalam diam.
"Achou!"
Jidan sedikit terlonjak dari lamunannya, ia menoleh segera melihat Roseanne yang tengah menggosok-gosok hidungnya.
"Astaga, maaf aku lupa kamu masih disini," Jidan dengan cepat berdiri dan mengulurkan tangan.
"Ayo kedalam, nanti kamu masuk angin," ucap Jidan yang langsung diangguki oleh Roseanne.
Roseanne juga tidak ingin menolak atau berbasa-basi seperti, "aku gak apa-apa, kamu tenangin diri aja dulu, aku temenin."
Karena faktanya, Roseanne memang sudah merasa terlalu kedinginan untuk berbasa-basi seperti itu.
Mereka berdua melangkah masuk kedalam rumah, Roseanne tidak melihat Gilang yang dapat ia tebak sudah masuk kedalam kamarnya.
Sementara ibu Jidan tampak berdiri di dekat jendela ruang tengah yang kebetulan mengarah langsung ke arah luar, pemandangan kota Bandung dari atas yang tampak gemerlap.
Bahkan dari belakang, Roseanne dapat menebak bahwa ibu Jidan tampak begitu gelisah dengan bahunya yang berkali-kali naik turun karena menghela nafas berat.
Roseanne menoleh ketika merasakan genggaman tangan Jidan mengerat. Ia tahu, Jidan saat ini tengah membutuhkan sesuatu untuk menguatkannya.
Dan tanpa bisa Roseanne cegah, ia mengingat kembali saat dimana Jidan menemaninya ke Rumah Sakit untuk mengunjungi anak kedua Daniyal. Ia ingat saat itu ia menggenggam tangan Jidan dengan erat, berharap suatu kekuatan akan sedikit mengalir kedalam tubuhnya demi menghadapi hal yang membuatnya tidak tenang.
Dan saat ini, Roseanne tahu Jidan lah yang sedang butuh kekuatan. Namun alih-alih menguatkan, Roseanne mengeluskan jempol tangannya di punggung tangan Jidan. Ia lebih memilih untuk memberi ketenangan, karena saat ini Roseanne tahu yang Jidan butuhkan adalah ketenangan untuk berhadapan dengan ibunya.
"Tadi, kamu sempet tanya gimana caranya aku masih mau berhubungan sama Ayah, kan?" Roseanne berbicara sedikit berbisik pada Jidan.
Mereka memang berada cukup jauh sehingga ibu Jidan tidak mendengar percakapan mereka dan belum menolehkan tubuhnya kearah mereka.
Jidan tertegun dengan pertanyaan Roseanne, namun kemudian ia mengangguk karena tertarik dengan arah pembicaraan ini.
"Karena dia ayah aku," ucap Roseanne yang membuat Jidan mengernyit bingung.
"Aku coba ingat-ingat kenangan masa kecil aku, kenangan ketika ayahku masih jadi sosok ayah yang sebenarnya," ingatannya Roseanne jauh melayang kembali ke masa kecilnya.
Ia mengingat bagaimana ayahnya juga pernah memperlakukannya selayaknya ayah kepada anak perempuan, membawanya ke taman bermain, menemaninya sebelum tidur, mengantar ke sekolah dan banyak hal lainnya. Walaupun pada akhirnya di umur Roseanne yang ke tujuh tahun, ayahnya mulai jarang sekali memiliki waktu untuknya dan kemudian benar-benar meninggalkan keluarganya ketika ia beranjak dewasa.
"Walaupun sedikit, tapi aku jadikan kenangan yang sedikit itu buat kebaikan aku."
"Kebaikan kamu?" Jidan mengernyit, masih bingung karena ia benar-benar tidak bisa tenang hanya dengan melakukan apa yang Roseanne katakan barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
1111 HEARTBREAKER [Rosékook] ✓
Fanfiction[TAMAT] 22/06/2021 - 10/04/2022 Psikopat cinta. Julukan menggelikan sekaligus mengerikan yang Roseanne peroleh. Tidak heran karena reputasi nya dalam membuat para pria menangis patah hati sudah terkenal. Setiap bulan, tepatnya tanggal 11. Roseanne...