24. Train

78 22 5
                                    

Haechan hampir memekik keras kala pesan dari Chenle sampai. Bagaimana tidak, detektif yang akhirnya percaya dengan semua ceritanya itu akhirnya menemukan titik terang. Seminggu lalu sejak pertemuan terakhir mereka Chenle bilang akan mencari kontak suster yang ada di foto dan kini detektif itu berhasil melacak posisinya. Kini Chenle bilang jika mereka bisa pergi hari itu juga jika Haechan bersedia.

"Kamu kenapa? Senyum senyum sendiri abis baca chat?" tanya Chita dengan kening berkerut. Sesaat kemudian ibu Haechan itu tersenyum seolah mendapat pencerahan. "Pasti dari pacar kamu, ya?" imbuhnya.

Haechan ingin tertawa karena ibunya masih percaya hal bohong itu lalu dirinya kembali diliputi rasa bersalah tapi dia sembunyikan terutama karena berbohong. Dengan senyum yang berusaha dia redam Haechan hanya mengangguk.

Chitta tersenyum simpul, "dasar anak muda. Pokoknya kapan-kapan kamu harus bawa dia ke rumah ya."

Haechan tak menjawab. Ia hanya mengotak atik ponselnya memberikan balasan pada Chenle jika dirinya bersedia pergi. Lagipula jadwal les vokalnya libur hari ini.

"Aku harus kasih tau Renjun!"

.
.

Hampir tiga minggu Leon tidak pulang ke rumahnya. Dirinya terlalu sibuk dengan proyek yang sedang dikerjakannya. Sebuah kereta yang mampu melintasi waktu. Bukan, bukan karena ia tidak senang dengan kehidupannya sekarang. Ia bersyukur memiliki orang tua angkat seperti Tuan dan Nyonya Seo, memiliki istri baik dan pengertian seperti Chitta, dan anak lelaki tampan dan cerdas seperti Haechan.

"Ah Haechan, ya .."

Desahan nafas ia hembuskan dua kali. Sudah lama sejak ia bertemu dengan putranya. Sejak itu ia selalu pulang malam dan pergi bekerja bahkan sebelum Haechan bangun dan kini sudah full tiga minggu dia tak bertemu putranya juga sang istri. Tatapan Leon melembut ketika melihat pigura keluarga kecilnya. Pigura yang sejak dulu sudah ada di meja kerjanya. Ada beberapa foto, satu untuk dirinya dengan Cinta, satu ketika Haechan sudah bisa merangkak, dan satu foto ketika dirinya dan Chitta ketika mengantar Haechan sekolah untuk pertama kalinya.

Pintu ruang kerjanya terbuka menampilkan dua sosok dewasa berjaket kulit hitam yang sengaja ia sewa. Dalam genggaman salah satu diantaranya terdapat sebuah map coklat besar. Amplop itu langsung diserahkan dan mereka.kembali menghilang di balik pintu.

Perlahan Leon menarik isi amplop itu yang ternyata adalah sebuah foto. Foto dari pria dewasa yang masih terlihat tampan di usianya yang sudah berkepala empat.

"Ayah..." Satu tetes air mata meluncur bebas dengan sendirinya. Di balik foto itu tertulis kalimat: LTY sedang berjalan-jalan di taman RS. "Maafkan aku, Yah."  Di foto lain terdapat tulisan: LTY kembali tak sadarkan diri setelah terjatuh di toilet. Dalam foto kedua terlihat beberapa kabel dan selang memenuhi tubuhnya. Tak ada satupun sanak saudara yang menemani karena memang tidak ada lagi keluarga dekat. Leon tahu satu-satunya yang sering menengok keadaan ayahnya adalah asisten pribadi dan temannya yang bernama Johnny.

Inilah alasan lain Leon ingin kembali ke masa lalu. Ia tak tega melihat keadaan ayahnya seperti itu. Apalagi pria itu kerap kali memanggil namanya. Nama aslinya, Mark. Leon sangat merasa bersalah. Ia tak ada saat ayahnya membutuhkan. Padahal dulu Taeyong selalu ada disampingnya karena ibunya sudah tak ada. Leon sayang menyayangi Taeyong.

"Aku sedang berusaha, Yah. Aku akan usahakan jika aku bisa kembali menemui Ayah." Disekanya air mata yang menggenang di pelupuk mata, kemudian tersenyum, "aku harus pulang, maafkan aku, Chitta, Haechan."

.
.

Haechan segera menyelesaikan alat tulisnya begitu tugas yang diberikan gurunya selesai. Dia mengecek ponsel yang masih menampilkan room chatnya bersama Renjun. Sudah dua jam dan Renjun sama sekali belum membalas. Ia mulai berpikir untuk menemui Renjun langsung ke rumahnya. Sudah lama juga ia tak melihat Renjun.

Déjà vu || NCTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang