Ding dong ding dong
Pembelajaran dimulai. Guru Matematika masuk ke dalam kelas. Kami semua otomatis berdiri untuk menyapa.
"Duduk!"
Kami semua kaget dan serentak duduk kembali. Kami mulai ketakutan. Ada yang menelan air liurnya dengan tatapan tak berdaya, ada juga yang tidak berhasil mengendalikan diri karena gemetar.
Suasana kelas mencekam. Hanya terdengar detak jarum dan suara buku yang dibolak-balik oleh Guru Matematika itu.
"Buka halaman 5!"
Kami membuka halaman 5 secepat kilat. Saking gugupnya.
Untung saja sekolah kami menyediakan fasilitas buku pegangan untuk semua mata pelajaran. Sehingga kami tidak perlu lagi membeli buku pelajaran.
***
Finally, sekarang jam istirahat. Dua mata pelajaran telah usai tapi aku sudah kecapean. Apalagi jika ditambah dua mata pelajaran lagi. Bisa mampus aku.
Benar kata kakak Osis itu. Guru Matematika kami memang sangat kejam. Si Sinta menjadi korbannya karena tidak fokus mendengarkan penjelasannya tadi. Karena kesalahan Sinta, kami diberikan PR sebanyak 10 nomor. Lebih buruknya lagi, tak ada satu soal pun yang aku mengerti. Sebaiknya aku bertanya pada Alfred. Barangkali ia bisa membantu.
"Alfred, apa kau mengerti PR Matematika yang Pak Ponsi berikan?"
"Kenapa? Mau memintaku untuk jelaskan?" Jawabnya, sinis.
"Heheeheheheheh... Tolonglah diriku yang lemah ini..." Sambil memohon.
"Boleh, tapi syaratnya kau harus menjawab pertanyaanku dulu."
"Oke siap." Jawabku, bersemangat.
"Kopi, kopi apa yang warnanya merah?"
Pertanyaan Alfred membuatku berpikir keras untuk menjawabnya dengan benar. Karena jika tidak, aku akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan penjelasan Matematika darinya.
"Em... Kopi merah. Benar kan?" Aku menjawab degan yakin.
"Hahahhahah. Salah total!"
"Jadi, kopi apa?"
"Ko-pikir saja sendiri. Hhhahahaahahahahhhahah.."
"Dasar bocah menyebalkan!" Jawabku sambil memukul kepalanya dengan buku Matematika.
"Ishhhh... Sakit bocil!"
Hah? Aku dipanggil bocil? Kurang ajar kau Alfred!
Aku langsung memukulnya berkali-kali di lengannya hingga ia kabur keluar kelas. Aku ikut mengejarnya melewati lorong dan tak peduli pada anak-anak yang sedang nongkrong di depan kelas mereka.
Alfred tiba-tiba berhenti di depan seseorang. Gawat. Jangan sampai itu adalah kepala sekolah takutnya kami akan dimarahi di depan umum. Aku mulai khawatir
"Ehh... Kalian pasangan yang tadi di parkiran kan? Cieee... Tidak apa-apa neng. Biasa kalau baru jadian mah gitu. Serasa dunia milik berdua. Hehehehe."
Ternyata Pak Satpam itu lagi. Aku kembali tersenyum dengan terpaksa karena perkataannya.
Saat kulihat ekspresi Alfred, dia malah tertawa sambil menutup mulutnya. Sontak, aku mencubitnya di pinggang dengan seluruh tenagaku.
"Aduh.. sakit Geaa!!"
"Ciee mulai pegang-pegang." Kata pak satpam sambil meledek.
Aku kehabisan akal untuk meladeni pak satpam ini. Lebih baik aku kabur saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERCAYA ITU PENJARA
RomanceFrater, jubahmu bukanlah penghalang bagiku untuk mencintaimu. 🚫no plagiat #OriginalStory Kisah dan tokoh dalam cerita ini tidak dibuat untuk menyinggung pihak manapun. Pict From Pinterest Memori peringkat: #1 Frater #1 Katolik #1 Biara