Tak terasa sebulan berlalu. Setelah hari itu, aku menjaga jarak dengan Alfred. Tidak lagi pergi makan berdua atau berjalan-jalan dan berakhir makan bersama dengan keluarganya. Aku tahu Fr. Nathan bisa saja tidak mengetahuinya. Tapi, entahlah aku tidak ingin lagi menyakitinya terlepas dari dia melihatnya atau tidak. Menjalani hari dengan bertekad untuk tidak lagi membuat dia kecewa.
Tinnnn tinnnn
"Geaaaaa! Cepaatt! Kalau kita terlambat lagi awas lu!"
Setelah pamit pada ibu aku langsung berlari mendekati Nathan yang sedang menungguku di pinggir jalan. Dia dan motor balapnya itu selalu saja membuatku panik. Tapi kalau tidak ada dia, pasti setiap hari aku terlambat. Itulah sebabnya aku harus tetap berangkat bersama Alfred ke sekolah. Aku memutuskan hanya ini kegiatan yang aku lakukan dengan Alfred kedepannya.
***
Tring Tring Tring
Lonceng istirahat berbunyi. Aku langsung merogoh tasku dan mengambil ponselku. Aku melihat ada satu notifikasi RC yang belum aku baca. Seketika, jantungku berdegup kencang ketika melihat nomor Fr. Nathan muncul paling atas. Ia mengirimkan pesan tiga menit yang lalu. Aku pun langsung membuka RC dan membalasnya dengan penuh cinta.
"Idihhhh kenapa lu? Senyum-senyum sendiri. Waahh bener nih kotbah Pater Stefan minggu lalu. Orang yang senyum-senyum sendiri sama hp itu sakit."
Plak
"Sembarangan lu!"
Alfred meringis kesakitan setelah punggungnya aku pukul sekuat tenaga. Bukannya berhenti mengejek, dia malah mendekatkan wajahnya padaku. Seolah ada yang salah dengan wajah ini.
"Wahhh sekarang kantung mata lu lebih hitam dari panda."
Aku menatap Alfred dengan ekspresi serius seolah tak ingin diganggu. Ini adalah waktu emas. Fr. Nathan sedang mengirim RC padaku. Sungguh keajaiban dia bisa aktif pagi-pagi begini. Aku mencoba kembali fokus dengan Fr. Nathan dan memikirkan apa yang harus kubalas agar kami memiliki topik pembicaraan yang seru.
RareChat
Me: Frater, saya boleh tanya sesuatu?
+62825...: Boleh dong, tanya apa?
Me: kenapa kamu memilih anak kecil sepertiku untuk jadi pacar?
Aku menunggu beberapa saat untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang membuatku penasaran itu.
+62825...: Bagiku kamu spesial❤️ bukankah cinta tidak pernah memandang usia?
Aku tersenyum lebar membaca jawaban Fr. Nathan. Dia seperti mengajakku terbang pada lapisan cinta paling tinggi.
"Wahhh fix sih ini! Udah gila lu Gea!" Alfred menatapku ngeri.
"Apaan sih lu. Kalau jomblo ya diem aja nggak usah ganggu." Aku menjawab Alfred sambil menjulurkan lidah untuk meledeknya.
"Iiiihhh jomblo jomblo begini banyak yang naksir tau." Alfred membanggakan diri dengan menampilkan gaya sok ganteng.
Aku ingin membuat Alfred iri dengan menunjukkan isi chatku dengan Fr. Nathan.
"Idih... Alay banget penghuni penjara suci. Biasanya ya, frater-frater tu suka gitu. Gombal tapi nggak ada tindakan nyata. Sama aja ya kan. Mending lu pacaran sama Satpam. Setiap hari dia selalu ada buat nolongin lu kalau telat."
"Ishh! Sembarangan aja kalau ngomong! Lu gimana sih Al, mereka kan Frater. Jelas nggak bisa seenaknya ngajak ketemu. Itu makanya kita cuma bisa chatting aja."
"Idihhh... Makin-makin gua liat lu ya. Berarti lu mau selamanya menemani dia kayak gini? Cuma jadi orang yang semangatin dari belakang?"
Aku refleks menaikkan bahuku. Perkataan Alfred ada benarnya juga. Sampai kapan aku harus menemani dia? Dia juga tidak memberikan kejelasan yang pasti pada hubungan ini. Dari awal pun aku tahu hubungan ini pasti ada konsekuensinya. Kisah ini seperti sesuatu yang memalukan jika terungkap. Kepalaku terasa pusing. Seketika aku tenggelam dalam lautan pikiranku sendiri.
***
Berhari-hari aku memikirkan perkataan Alfred. Kata-kata itu seperti alarm yang membangunkan ku setiap saat. Walaupun sekarang hubunganku dan Fr. Nathan sedang baik-baik saja dan penuh dengan cinta, tapi aku merasa ada sekat yang menghalangiku merasakan kehadirannya. Mungkin karena sudah sebulan lebih aku tidak pernah lagi menghabiskan senja di belakang biara bersamanya. Rasanya rindu ini semakin merenggut akal sehatku.
Tok tok tok
"Gea, apa kamu tidur sayang?"
Aku tersentak. Suara ibu berhasil mengeluarkan ku dari lamunan.
"Tidak Bu." Aku langsung bangun dari tempat tidur dan membukakan pintu.
"Itu, ada frater di luar. Mereka sedang memetik bunga kita yang ibu tanam di samping rumah. Kamu buatkan minum untuk mereka yah."
Aku kaget. Tumben sekali mereka datang meminta bunga di rumahku. Biasanya mereka langsung pergi ke suster yang cukup dekat dengan biara mereka. Entah mengapa mereka tumben datang ke sini. Yang pasti, ibuku ingin menyambut mereka dengan sepenuh hati.
Aku mengambil dua daun teh dan menaruhnya di dalam gelas berisi gula. Aku menuangkan air panas dari dalam termos lalu memutar sendok agar gula di dalam teh hancur. Tak lupa aku siapkan satu piring kue bolu kukus dan donat.
"Nak Frater! Ayo minum dulu." Ibu memanggil dua frater yang sedang memotong bunga di samping rumahku.
"Iya mama."
Kedua frater itu pun masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa ruang tv. Di atas meja telah aku sediakan teh dan kue yang tertata rapi.
"Kamu Frater Saldy dan Robert kan."
"Iya betul mama... Hahahahah saya kira mama sudah lupa."
Aku hanya duduk di sofa samping ibu. Sebenarnya aku ingin mencoba mengajak mereka bicara namun tidak tahu harus berkata apa.
"Gea, kamu apa kabar? Sudah lama tidak ketemu ya." Kata Frater Saldy sambil tersenyum ramah.
Aku sedikit kaget karena tiba-tiba ditanyain kabar, sebenarnya aku ingin sekali mengetahui hal baru mengenai Fr. Nathan karena sudah lama tidak bertemu. Tapi tidak mungkin aku bertanya di depan ibu.
"Puji Tuhan baik kak. Frater apa kabar? Pasti lagi banyak kegiatan di biara ya."
"Puji Tuhan aku juga baik-baik saja. Yaa kami sedang sibuk-sibuknya sebulan ini. Soalnya nanti ada acara Tahbisan Imamat dari kami. Acaranya bulan depan tapi belum tahu tanggalnya."
Aku dan ibu sedikit kaget karena tidak mengetahui informasi ini. Kami telah menetap lama di kompleks ini, pasti ibu penasaran siapa diakon yang akan segera tahbis itu.
"Hah? Benar nak? Siapa nama diakon itu?"
"Diakon Daniel mama. Mungkin mama masih ingat? Katanya dulu sering sekali berinteraksi dengan tetangga sini."
"Waahhh benarkah... Luar biasa nak Daniel. Itu loh Gea, yang sering gendong kamu waktu kecil dulu. Kamu masih ingat?"
Aku menggelengkan kepala karena tidak mengingat nama bahkan wajah dari Diakon Daniel yang mereka sebutkan. Entahlah. Ingatan masa kecilku dipenuhi dengan bermain.
Setelah selesai meminum teh dan mencicipi beberapa kue, Frater Saldy dan Robert pun pamit pulang. Aku mengantar mereka sampai ke depan jalan raya agar memiliki kesempatan bertanya tentang pacarku. Heheheheh.
"Kak, kalau boleh tau bagaimana kabar Frater Nathan?" Aku bertanya dengan canggung dan malu.
"Oh iya. Maaf yaa aku lupa. (Sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam ember bunga) Ini ada titipan buatmu."
Aku menerima sepucuk surat dan sebatang cokelat. Terdapat kartu yang bertuliskan Dear Gea, my only one. From yours.
Seketika jantungku berdegup kencang dan pipiku memanas seperti ada energi lain yang memaksa menguasai diriku. Fr. Saldy dan Fr. Robert tertawa kecil melihatku.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERCAYA ITU PENJARA
RomanceFrater, jubahmu bukanlah penghalang bagiku untuk mencintaimu. 🚫no plagiat #OriginalStory Kisah dan tokoh dalam cerita ini tidak dibuat untuk menyinggung pihak manapun. Pict From Pinterest Memori peringkat: #1 Frater #1 Katolik #1 Biara