Geladi Bersih

37 12 0
                                    

Aku sampai di rumah. Kulihat Ayah dan Ibu sedang memakan kue brownies bersama seorang laki-laki berjaket kulit. Siapa lagi kalau bukan Alfred. Kurasa dia kehilangan wajahnya, sampai harus mencarinya di depan orangtuaku.

"Eh... Sudah pulang Ge?"

Aku mengangguk pada Ibu. Alfred yang melihatku datang, menepuk sofa di sampingnya lalu menggeserkan tubuhnya agar aku bisa duduk.

"Bagaimana latihannya? Lancar?" Tanya Ayah sambil melahap brownies di tangannya.

"Lancar..." Dengan raut wajah yang tidak meyakinkan, aku hanya menjawab seadanya. Tidak berniat memberitahu kejadian di Biara tadi.

Tiba-tiba aku menyadari, aura-aura negatif sedang menatapku dengan tatapan tajam dan penuh kecurigaan.

"Jangan bilang, ada Frater genit yang mengganggumu."

"Ngacoo!!"

Ayah dan Ibuku meledak tertawa. Aku dan Alfred terheran-heran. Apa yang lucu? Kami berdua sedang tidak melawak.

"Ekspresi kalian menggemaskan. Alfred juga, dia seperti pacar yang posesif. Ckckckckc ada-ada saja anak muda zaman sekarang." Kata Ibu sambil menyikut Ayah.

Tanpa sadar, kue brownies di tangan Ayah terjatuh akibat sikutan Ibu yang terlalu bersemangat.

"Ibu bagaimana sih, brownies terakhir Ayah jadi jatuh kan." Ayah mendengus kesal dengan raut wajah kecewa.

Pffftttt

Aku dan Alfred kini menertawakan Ayah dan Ibu sepuasnya.

***

"Sorry, kau Gea kan?"

Aku membalikkan badan, mendapati seorang laki-laki tersenyum manis di hadapanku. Refleks, aku pun membalas senyumannya dengan senyum terbaikku.

"Ya, saya Gea. Ada apa kak?"

"Kalian dipanggil Pater Kristo. Katanya untuk memilih ukuran kostum penari."

Aku mengucapkan terimakasih kepadanya. Berkat dia, aku akhirnya menemukan keberadaan Pater Kristo dan teman-temanku.

Tok tok tok tok

Aku membuka pintu ruangan yang terletak paling ujung atas biara. Rupanya di sini ruangan kostum unik para Frater, yang dipakai saat drama Paskah dan Natal.

Aku masuk dengan perasaan bersalah karena selalu saja terlambat. Kalau saja aku tidak menemani Alfred untuk membeli album ONE OK ROCK sepulang sekolah, pasti aku sampai tepat waktu. Untung saja dia membujukku dengan embel-embel membelikan album itu untukku juga. Hehehehehe.

Tiba-tiba seseorang menjitak kepalaku dengan keras, membuatku terpaksa meninggalkan alam pikiran ini.

"Ihh... senyum-senyum sendiri. Kurasa kau harus di bawa ke RSJ, Ge!" Kata Laura sambil menatapku dengan jijik.

"Aduh! Sakit Laura..." Aku meringis kesakitan. Pater dan teman-teman lain hanya tertawa melihat kelakuan kami.

Ku lihat pakaian menari berwarna cokelat muda yang telah dilipat, tersusun rapih di atas meja. Baju tersebut dihiasi dengan manik-manik kecil berkilau mengelilingi area leher dan pangkal tangan. Indah sekali. Aku bahkan mulai membayangkan betapa cantiknya wajah kami nanti ketika memakai pakaian itu.

Kami pun mencoba pakaian menari untuk menyesuaikan ukurannya.

"Yana! Kau belum juga menemukan ukuranmu? Semua pakaian ini sudah kau coba! Tingkahmu membuatku pusing tau!"

"Aku juga sedang mencarinya Lili! Kau bisa sabar tidak?!" Jawab Yana sambil membongkar semua pakaian menari. Sesekali ia meletakkannya di depan tubuhnya, dan menaruhnya dengan tidak rapih ketika ukuran itu tidak cocok dengannya.

"Kau sadar tidak?! Teman-teman lain tidak bisa memilih pakaian mereka karena kau yang plin plan tidak bisa memilih pakaian mu!" Lili semakin meninggikan suaranya.

Yana menatap Lili dengan tajam. Ia mendengus kesal dan membuka pintu ruangan ganti dengan kasar, dan pergi diiringi ocehan.

Kami semua terpaku meratapi nasib dan situasi yang tidak bisa kami kendalikan. Karena sejujurnya, Lili benar. Kami sedari tadi, tidak sempat memilih pakaian menari karena terhambat oleh tingkah Yana. Setiap kali kami mengambil salah satu pakaian, pasti Yana akan mengambilnya dan menimbang-nimbang kecocokan pakaian itu dengan tubuhnya. Padahal, warnanya sama. Ukurannya yang berbeda.

Cuma Lili yang berani mengutarakan isi hatinya dan tidak segan-segan menunjukkan kekesalannya pada Yana. Berbeda dengan kami yang hanya melihat, tanpa berniat menegurnya.

"Sabar woii... Nanti cepat tua loh." Kata Laura sambil mengelus pundak Lili.

Kami yang masih terbawa suasana, sedikit kaget dengan bunyi ketukan pintu dari luar. Ella refleks membukakan pintu yang ada di belakangnya.

"Ada apa Frater?"

"Kalian ditunggu para Frater untuk memulai gladi bersih." Jawab Frater itu, dengan wajah datar.

"Oh, okee. Kami akan segera ke kapela."

Mendengar itu, Aku dan Nindi dengan sigap membereskan baju yang telah tercecer di meja.

"Kurasa, kita tidak ada waktu lagi untuk mencoba pakaian-pakaian ini. Bagaimana jika kita mencobanya di rumahku saja. Sekalian menginap untuk berdandan besok. Setuju kan?"

"Tapi Laura, apakah orangtuamu akan mengizinkan kami menginap?" Lili bertanya dengan ragu.

Laura mengangguk yakin. Sebenarnya aku pun yakin. Karena orang tua Laura sangatlah pengertian dan berjiwa muda. Walaupun sudah berstatus kakek nenek, mereka tetap open mind pada pemikiran anak muda zaman sekarang. Menurutku mereka menyenangkan.

***

Hari ini kami akan geladi bersih di Biara Susteran pukul 16:00. Namun, Pater Kristo berinisiatif untuk latihan lebih awal di Kapela Biara supaya memperoleh hasil yang maksimal.

"Baik anak-anak, sekarang sudah jam 15:50. Kita berangkat sekarang." Kata Pater Kristo, sesekali melirik arlojinya.

Kami semua bergegas keluar dari kapela menuju Biara Susteran. Yana tidak berniat untuk berjalan bersama kami karena masalah tadi. Ia malah memilih bergabung dengan rombongan para Frater yang berada di depan kami. Ia terlihat begitu menikmati perhatian para frater yang terus saja mengajaknya bicara tanpa henti. Termasuk Frater Alfian yang semakin hari, semakin dekat dengannya.

Sebelumnya, Ella dan Nindi telah berusaha membujuk Yana untuk melupakan masalah tadi. Tapi ia malah menjual mahal dan menolak untuk berbaikan.

"Yana kelihatan bahagia yah... Padahal kita baru saja bertengkar." Kata Ella, tampak heran.

"Ck... Paling sebentar lagi dia akan mengemis pada kita, da.."

Nindi refleks menutup mulut Lili supaya tidak melanjutkan perkataannya. Lili memberontak dan berusaha untuk melepaskan tangan Nindi dari mulutnya.

"Kalian kenapa?"

"Eh... Ti-tidak kenapa-kenapa Pater. Saya cuma gemes pada tingkah Lili. Hehehehe."

Pater Kristo hanya menggelengkan kepalanya, lalu berjalan ke depan mengejar rombongan para Frater.

***

>>>

PERCAYA ITU PENJARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang