Aku berlari secepat mungkin menuju rumah Laura yang searah dengan biara. Ternyata Laura sudah menungguku di depan rumahnya. Seperti biasa, Laura tidak mengganti seragam sekolah dan hanya mengganti sepatu dengan sandal jepit. Ia benar-benar sesantai itu, tidak pernah memikirkan bagaimana pendapat orang tentangnya. Entahlah mungkin karena dia belum punya pacar.
"Cepatt dongg, ini frater Nathan RC gue mulu."
"Masa? Kok dia nggak RC gua?" Aku sedikit heran.
"Ya iyaalahhh... Kan kalian berdua lagi ada masalah."
Benar juga kata Laura. Aku hanya mengangguk paham dan langsung menarik tangan Laura untuk segera menuju ke biara. Kami melewati jalan di samping biara yang sering dilewati warga untuk pergi ke kebun. Di belakang biara terbentang lahan yang luas namun telah memiliki pemilik masing-masing. Ada warga yang menanam kopi, sayur-sayuran, jagung, dll. Seringkali anak-anak kecil masuk ke dalam hutan tersebut untuk mencari kayu bakar.
Sesampainya di gerbang belakang, aku melihat Frater Nathan duduk sendiri bersandar di bawah pohon besar depan Gua Maria. Aku menarik nafas panjang melihat ekspresinya yang terlihat menahan amarah. Entahlah. Aku merasa ingin sekali mengenalnya lebih dekat. Tapi jarak ini terasa semakin nyata. Apalagi di hadapan Bunda Maria, semakin aku merasa bersalah telah jatuh cinta pada hamba Tuhan ini.
"Selamat sore Frater." Sapa Laura dengan ramah.
Frater Nathan sedikit terkejut dan langsung berdiri melihat kami mendekatinya. Ia tersenyum namun terasa aneh dan tidak tulus. Frater tidak menyapaku sama sekali. Aku tidak tau harus berbuat apa. Dasar bodoh, niatku yang ingin meluruskan kesalahpahaman ini kenapa jadi ciut saat menatap matanya. Tapi jujur, aku bingung harus mulai dari mana. Kami bertiga hanya berdiri diam mendengar kicauan burung dan alir yang mengalir dari kolam ikan di depan Gua Maria.
Situasi ini sangat canggung. Rasanya aku mau lari saja. Tiba-tiba Laura mencubit tanganku dan melotot. Seolah memberi isyarat bahwa aku harus segera menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi hari ini. Aku semakin panik karena tidak ada satupun kalimat atau kata yang muncul di pikiranku.
"Gea, bagaimana hari ini? Apakah tidak ada sesuatu yang harus kau jelaskan padaku?"
Aku tersentak dan dengan cepat mencerna pertanyaan Frater Nathan. Sekarang aku tahu harus jawab apa.
"Apa yang Kaka pikirkan tidak benar. Hari ini aku dan Alfred..." Gea ingin lanjut berbicara namun Frater Nathan memotong perkataan Gea.
"Oh, namanya Alfred ya... Cocok juga."
"Bu-bukan begitu, tolong dengarkan aku dulu. Jadi, hari ini kami berangkat bersama ke sekolah tapi karena aku yang..." Frater Nathan kembali tidak membiarkan Gea untuk menjelaskan.
"Ohh, rupanya selalu berangkat sekolah bersama. Kalian sudah sangat dekat ternyata ya."
Aku menarik nafas dalam-dalam dan mencoba untuk tidak menghiraukan jawaban Frater Nathan yang memancing emosi itu.
"Begini, hari ini kami terlambat. Pak Satpam tidak membiarkan kami masuk sekolah sehingga aku berniat untuk mengajaknya makan bersama untuk menebus kesalahanku. Kami benar-benar tidak memiliki hubungan apapun."
"Tidak memiliki hubungan apapun kok makan bersama? Yakin cuma teman?"
Aku cukup kaget menyadari sikap Frater Nathan yang sangat kekanak-kanakan ini. Aku sangat kesal ketika berada di situasi yang benar namun disalahkan orang lain. Aku tidak suka jika seseorang tidak bisa mendengar dan memahami perkataanku. Apalagi berhadapan dengan orang yang tidak berniat mengerti situasi ku sama sekali. Berdebat dengan orang seperti itu seperti sangat menguras tenagaku.
Laura menyadari raut wajahku yang berubah. Aku seperti orang yang akan siap meledak membela diriku. Laura tahu betapa kesalnya aku ketika harus berhadapan dengan orang yang bersikap seperti Frater Nathan.
"Sudah sudah... Kenapa jadi begini sih. Frater, ini Gea cuma mau jelasin kalau dia dan Alfred itu tidak memiliki hubungan yang spesial. Aku tahu persis kok bagaimana hubungan mereka. Mereka seperti saudara. Tidak seperti yang frater pikirkan."
Frater Nathan menghela nafas lega. Ia seperti lebih percaya pada perkataan Laura dibanding perkataanku. Raut wajahnya yang awalnya kelihatan marah, sekarang berubah menatapku dengan tatapan rasa bersalah. Entahlah aku sangat bingung dengannya. Kenapa ia secepat ini bisa mengubah perasaanya dari marah menjadi lebih tenang. Padahal aku yang hanya mendengar perkataannya bersusah payah menahan emosi. Kenapa disaat aku meminta untuk mengenalnya lebih dekat, Tuhan malah memberikan jawaban yang membingungkan. Frater Nathan jadi menunjukkan sisi yang berbeda dari dirinya yang kutahu selama ini.
"Gea, maafkan aku. Jujur, aku tidak suka melihat kamu tersenyum bahagia bersama laki-laki lain. Kamu kan tahu, aku tidak bisa selalu bersamamu. Karena itu, aku sering cemburu melihat mereka yang bisa bersama kamu sepanjang waktu." Ungkap Frater Nathan sambil memegang tanganku dan mengelusnya dengan lembut.
Api amarahku seketika mati disiram kata-kata lembut Frater Nathan. Mengetahui fakta bahwa dia cemburu seperti sihir yang mengunci logika berpikirku. Aku membalas senyumnya dengan tulus dan penuh pengertian. Seolah segala perkataannya tidak lagi menjadi masalah. Toh semua itu ia katakan karena cemburu. Perasaan itu jangan dilarang karena katanya itu berarti dia sayang.
Tidak sadar waktu berlalu, kami pulang dari biara dengan mood yang berbeda. Intinya lebih bahagia dari beberapa jam yang lalu.
"Idihhh.. senyum-senyum sendiri. Udah gila emang lu ya."
Aku tidak menghiraukan perkataan Laura dan malah semakin tersenyum gembira. Tiba-tiba terdengar lonceng gereja menandakan pukul 18:00 tepat untuk mendaraskan doa Angelus.
"Gawat! Aku harus pulang sekarang! Byeee! Thankyouu bestiee!!" Aku berlari dan mengucapkan terima kasih dengan suara yang lantang pada Laura.
"Eh! Ke mana!!" Laura cukup kaget. Namun ia mengerti sepertinya ada hal yang mendesak yang tidak disengaja telah dilupakan.
Aku berlari secepat mungkin. Berharap Ibu masih menungguku untuk menemaninya. Aku tidak ingin mengecewakan dia lagi hari ini.
"Ibu! Ibu! Ibu di mana?"
Aku masuk ke dalam rumah, melihat sekeliling tidak ada orang. Aku segera mengecek kamar ayah dan ibu, juga tidak ada orang. Aku berlari menuju pintu yang mengarah pada tempat cuci dan jemuran pun tidak ada. Aku seketika panik dengan nafas yang tidak beraturan. Tiba-tiba seseorang memegang menepuk bahuku.
"Astaga!" Aku kaget dan langsung menoleh ke belakang.
"Gea? Ada apa? Kenapa kau terlihat panik sayang?" Kata Ibu dengan ekspresi khawatir.
Aku tidak bisa menjawab ibu. Nafasku semakin tidak beraturan setelah dikagetkan dengan kehadiran ibu. Penglihatanku sedikit buram dan aku merasa tubuhku sedikit oleng.
"Gea! Lo kenapa sih?" Alfred langsung memegang tubuhku dengan kuat. Ia memapahku menuju sofa depan televisi. Aku mencoba menenangkan diri dan menarik nafas dalam-dalam. Ibu mengambil segelas air dan memberikannya padaku.
Ibu mengelus rambutku dengan lembut.
"Ada apa sayang? Ibu tadi pergi bersama Alfred ke pasar dan membeli beberapa baju untuk kita. Tadi ibu pikir kau pasti sedang bersenang-senang dengan Laura. Ibu tidak ingin mengganggu kalian. Kebetulan Alfred tadi menelfon, sekalian saja ibu minta ditemani."
Aku sangat lega mendengar itu. Entahlah aku sangat takut ibu marah dan kecewa lagi padaku. Aku tidak ingin membuat ibu merasa sedih hanya karena ulahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERCAYA ITU PENJARA
RomanceFrater, jubahmu bukanlah penghalang bagiku untuk mencintaimu. 🚫no plagiat #OriginalStory Kisah dan tokoh dalam cerita ini tidak dibuat untuk menyinggung pihak manapun. Pict From Pinterest Memori peringkat: #1 Frater #1 Katolik #1 Biara