"Kemarin senyum-senyum sendiri, sekarang cium Rosario berkali-kali. Fix harus dilaporin nih."
"Lapor apaan? Alfred nggak usah aneh-aneh ya." Aku sedikit takut Alfred akan mengadu kepada ayah dan ibu.
"Lapor ke rumah sakit jiwa lah. Mungkin ada pasien yang kabur."
Plak
Aku memukul punggung Alfred sekuat tenaga. Tidak peduli reaksinya yang meringis kesakitan.
"Bacot lu! Lagian yaa, lu kan tau gua lagi berbunga-bunga sekarang. Jadi pleasee nggak usah ganggu ya."
Tiba-tiba suara langkah kaki terdengar jelas di depan pintu kelas kami. Seketika ruang kelas yang awalnya sangat berisik, sedetik kemudian berubah hening. Ibu Mega masuk ke dalam kelas menebarkan senyum ramah. Ia seperti paham bahwa les Bahasa Indonesia akan sangat membosankan saat jam terakhir. Karena itu, ia berusaha membangun moodnya sendiri supaya kami juga ikut bersemangat.
"Selamat siang anak-anak. Hari ini kita akan belajar topik yang baru."
Ibu Mega mengambil spidol dan menulis kata Debat pada papan tulis.
Kami semua sontak menyiapkan balpoin untuk mencatat materi yang baru."Sebelum ibu jelaskan materi tentang debat, saya ingin kalian membentuk 6 kelompok yang terdiri dari 3 kelompok kontra dan 3 kelompok pro. Paham?"
"Paham Buu." Kami semua kompak menjawab.
***
Tring tring tring
Lonceng pulang sekolah berbunyi. Aku cepat-cepat memasukkan buku tulis dan buku pelajaran Bahasa Indonesia ke dalam tas dan berlari keluar kelas.
"Eh! Gea! Kenapa buru-buru? Tungguin gua!" Teriak Alfred yang ikut buru-buru memasukkan alat tulis ke dalam tasnya.
Aku ingin menemui Laura. Setelah Fr. Nathan memberiku hadiah Minggu lalu, aku tidak pernah melihatnya. Biasanya Laura pasti mengajakku main ke rumahnya ataupun datang tiba-tiba ke rumahku. Sekarang, untuk melihatnya setelah pulang sekolah pun rasanya sulit. Aku mencoba menelfon dan mengirimkan RC, semuanya tidak dibalas. Aku merasa ada yang aneh, makanya aku berniat menghampiri dia secara langsung.
Aku berdiri di depan kelas IPA berharap bertemu Laura. Namun, sampai semua orang keluar, Laura tidak muncul juga. Aku pun menahan salah satu teman Laura untuk bertanya.
"Permisi, kamu teman Laura kan?"
Dia mengangguk dengan ekspresi datar.
"Em... Kalau boleh tau, Laura sekarang di mana ya?
"Tadi dia sudah keluar kelas kok. Katanya ada urusan mendadak."
"Oh.. terima kasih ya."
Aku terdiam dan berdiri membatu di depan kelas IPA. Alfred yang dari tadi menemaniku sambil membawa dua helm di tangannya terlihat bingung. Dia tahu aku ingin menemui Laura. Tapi tidak tahu untuk tujuan apa.
"Lo denger kan tuh anak ngomong apa tadi. Laura udah pulang dari tadi. Jadi, ngapain kita di sini? Ayo pulang. Laper gua."
Alfred berjalan mendahuluiku yang tengah berdiri membeku. Dia sadar aku tertinggal di belakang dan ia kembali lagi untuk menarik tanganku.
Entahlah. Aku merasa Laura menjauhiku. Apa salahku? Hanya karena aku tidak mengizinkannya membaca surat dari Fr. Nathan? Tidak mungkin kan? Seorang Laura marah denganku hanya karena masalah sepele itu. Toh kami sering bercanda dan mengucapkan kalimat yang lebih kasar tapi tidak pernah ada dendam dan sakit hati. Bahkan berlangsung berhari-hari sejak hari Minggu yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERCAYA ITU PENJARA
RomanceFrater, jubahmu bukanlah penghalang bagiku untuk mencintaimu. 🚫no plagiat #OriginalStory Kisah dan tokoh dalam cerita ini tidak dibuat untuk menyinggung pihak manapun. Pict From Pinterest Memori peringkat: #1 Frater #1 Katolik #1 Biara