RareChat

32 6 0
                                    

"Pasangan berikutnya, Agatha Behrluc Lavender dan Yasinta Cahillac Shairad. Silahkan maju ke depan!" Perintah Pak Sam.

Aku dan Sinta maju dan berdiri saling berhadapan. Pak Sam memberikan bola basket kepada Sinta. Sehingga, dia lebih dahulu mengoper bola basket dan aku yang menangkapnya. Melihat posisiku dan Sinta yang sudah siap untuk mempraktekkan teknik Chest Pass, Pak Sam pun meniup peluit nya.

Prrrrrttttt

Sinta mulai mengoper bola basket. Namun, bukannya setinggi dada, bola itu seperti sengaja menargetkan pendaratan pada dahiku. Aku refleks menangkis bola basket itu dengan baik tapi tubuhku terjatuh karena kurangnya kesiapan.

Semua teman kelasku berteriak khawatir dan berkerumun di dekatku. Alfred yang sedari tadi waspada akan apa yang terjadi dengan sigap membantuku berdiri.

"Kau baik-baik saja? Ada yang sakit?" Wajah Alfred sangat panik.

Aku hanya menggeleng dan sedikit tersenyum.

"Lavender, kau baik-baik saja kan?"

"Iya pak."

Mata semua orang tertuju pada Sinta yang tidak menunjukkan rasa bersalah sedikitpun. Ia malah memangku tangan dan menertawakan aku bersama keempat teman-temannya. 

Aku jadi merinding melihat sikap Sinta yang semakin hari bertambah parah. Ia seperti orang yang mengidap penyakit iri akut, melakukan segala cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Bahkan cara bodoh sekalipun.

Tentu saja aku tidak tinggal diam. Rasanya tidak elok saja jika biarkan dia berada di atas awan. Aku mengambil bola basket di depanku lalu melempar bola itu dengan teknik Chest pass namun sangat keras.

"Sinta! Tangkap!"

Sinta yang sedang tersenyum licik tak menyadari serangan balik dariku.  Karena hari ini kami melakukan  praktek berpasangan, maka keduanya harus mendapatkan kesempatan yang sama bukan?

Berbeda denganku, Sinta yang berperangai sebagai wanita yang kuat di mulut saja tentu tidak mampu menangkis lemparan yang keras dan tiba-tiba dariku.  Padahal ia sempat memegang bola basket itu supaya tidak mengenai dadanya tetapi ia sendiri tidak mampu menahan bola itu dan terjatuh lalu berteriak kesakitan.

Kelakuan Sinta mirip ratu Sinetron FTV. Sungguh dramatis. Semua orang hanya melihat Sinta. Walaupun tahu ia tidak berpura-pura. Tapi sepertinya mereka mengerti bahwa ia pantas mendapatkan itu. Kecuali keempat  temannya yang sigap membantu dia.   

Aku melangkah mendekati singa yang sedang berteriak kesakitan seperti kucing itu. Tapi Alfred secepatnya menahanku.

"Eitss, stopp Gea! Jangan ladeni lagi perempuan itu. Kau bisa terkena masalah yang lebih besar." Sambil menahan lenganku.

"Tenang saja. Aku hanya ingin mengambil bola basket." Sambil balik menatap wajah Alfred dengan ekspresi datar.

Alfred melepaskan genggamannya. Dan membiarkan aku mendekati Sinta. Aku merasakan teman sekelasku menikmati pertunjukan ini.

Aku menatap Sinta dengan tajam. Dan mengatakan sesuatu tepat di telinganya.

"Just go away. I don't give a shit."

Diganggu Sinta membuat kehidupan sekolahku memuakkan. Membayangkan aku harus berurusan dengan Sinta hampir setiap hari bisa membuatku tidak bersemangat. Padahal dia yang menjadi pihak yang seharusnya sadar akan kesalahannya.

Aku mengambil bola basket di depan Sinta sambil menatapnya dengan sinis. Sinta tidak merespon apa-apa. Tapi wajahnya menunjukkan ekspresi yang sangat kesal seperti tak menerima kekalahannya.

PERCAYA ITU PENJARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang