Pip pip
"Ibu, aku pergi dulu!"
"Kalian hati-hati ya. Pulangnya jangan terlalu malam."
"Baik Bu..."
Aku keluar dari rumah dan berlari mendekati Alfred yang sok cool menungguku dengan motor besarnya.
"Cepat naik."
"Iya iyaa... Sabar napa. Btw kita mau ke mana sih?"
Bruuuummm
Tubuhku hampir saja terjatuh ke belakang karena tancapan gas Alfred yang berlebihan tanpa aba-aba. Untung saja aku cepat memegang jaket kulitnya yang dari baunya sudah berhari-hari belum dicuci.
Sepanjang jalan aku hanya terdiam. Namun isi kepalaku berisik memikirkan segala kemungkinan yang berkaitan dengan Frater Nathan.
Frater Nathan mengirimkan RC untuk mendapatkan foto yang ia minta padaku. Apakah setelah itu kami tidak saling memberi kabar lagi? Memikirkannya saja membuatku sedih. Eh, tapi untuk apa aku sedih. Dasar bodoh. Sebenarnya aku kenapa sih.
Arrgghhh
"Ada apa Ge?!!"
Rupanya teriakan ku keras juga. Sampai bisa menembus suara motor Alfred yang sangat bising itu.
"Bukan apa-apa!"
Alfred hanya mengangguk dan kembali fokus mengendarai motor. Sementara aku belum bisa berhenti memikirkan seorang hamba Tuhan itu.
***
"Kita sampai. Cepat turun!"
Aku menengok sekeliling dan turun daru atas motor Alfred. Rupanya ia mengajakku ke pasar malam. Aku senang bukan main. Berbagai macam makanan dan wahana hiburan tersedia di sini sehingga banyak masyarakat yang datang ke mari.
"Tunggu apa lagi? Ayooo!!"
Dengan bersemangat, Aku menarik tangan Alfred dan berlari memasuki Pasar malam.
Lampu warna-warni menerangi malam di pusat kota. Canda tawa anak-anak yang akhirnya berhasil lepas dari genggaman Ibunya melengkapi irama musik Jazz dari panggung utama.
Aku membawa Alfred langsung pada deretan mas-mas yang menjual makanan. Melihat semua makanan ini, rasanya aku sulit memilih untuk memakan apa.
Dengan cepat aku merogoh saku hoodie ku, tapi tidak ada uang sepeser pun. Aku mencoba merogoh saku celana berharap ada selembar uang, namun hasilnya nihil. Duh! Kenapa harus sekarang penyakit pikun ini kambuh sih!
Aku melirik Alfred yang sedang memainkan ponselnya. Lalu sebuah ide muncul dari dalam benakku.
"Alfred, kau bawa uang kan? Boleh aku pinjam?" Sambil menunjukkan ekspresi menyedihkan.
Alfred hanya melihat tanpa berniat menjawab ucapan ku sedikit pun. Wajahku yang tadinya sengaja aku buat menyedihkan, spontan berubah menjadi cemberut. Mood ku sudah rusak sekarang.
"Mas, saya beli cilornya 20 ribu, tolong pake saos manis. Tapi jangan kemanisan, karena saya kan udah manis. Hehehehehe."
Aku tersentak mendengar perkataan Alfred yang bersedia mentraktirku membeli cilor tetapi aku juga ingin muntah karena kepercayaan dirinya yang terlalu tinggi itu. Sebenarnya aku ingin mengolok-olok dia di depan mas Cilor ini. Tapi tidak aku lakukan karena aku tidak mau kehilangan cilor. Heheheheh
"Woaahhh... Alfred memang terbaik. Terimakasih temanku yang ganteng, baik, dan suka menolong. Heheheheh."
"Hmmm... Giliran ditraktir baru dipuji. Pujinya setiap hari dong, cil."
KAMU SEDANG MEMBACA
PERCAYA ITU PENJARA
RomanceFrater, jubahmu bukanlah penghalang bagiku untuk mencintaimu. 🚫no plagiat #OriginalStory Kisah dan tokoh dalam cerita ini tidak dibuat untuk menyinggung pihak manapun. Pict From Pinterest Memori peringkat: #1 Frater #1 Katolik #1 Biara