Alfred membelai rambutku. Menyadari aku yang menangis, wajahnya terlihat khawatir. Ia mengamati aku dari dekat untuk memastikan.
Dengan cepat, aku mengusap air mata lalu berpura-pura baik-baik saja.
"Ahh... Aku kelilipan. Sepertinya ada binatang yang masuk mataku." Sambil mengucek mata.
"Yang benar saja kau."
Aku mengangguk yakin. Alfred mempercayai itu. Kami pun mulai mengerjakan tugas Sosiologi sesekali menyeruput susu yang dari tadi menganggur di atas meja.
Sepuluh menit berlalu. Kami berhasil mengerjakan 4 soal bersama-sama. Tetapi kami kesulitan mengerjakan soal nomor terakhir. Mungkin karena sekarang sudah semakin sore. Kami menjadi kurang fokus.
Aku dan Alfred menghela nafas pasrah. Rasanya sangat letih memikirkan sesuatu yang sulit diselesaikan.
"Kalian benar-benar tidak bisa menjawab soal ini?"
Aku dan Alfred terkejut. Ternyata yang berbicara adalah adik perempuan Alfred. Kami tidak menyadari keberadaannya. Ia berdiri di samping Alfred sambil memegang sebungkus jajan ukuran besar.
Dia sangat cantik. Kulitnya putih, rambutnya lurus dan hitam. Bahkan tinggi badannya hampir sama denganku. Hidungnya yang mancung menyempurnakan lekukan bibir ketika tersenyum.
"Eh... Kau sudah selesai privat rupanya. Baguslah. Tolong bantu kami jawab soal ini yaa. Pleaseee..."
Apa aku tidak salah lihat? Seorang Alfred yang sok cool ini, sekarang sedang memohon pada adik perempuannya seolah tak berdaya. Hahahaha pasti dia adalah tipe kakak yang menuruti semua perkataan adiknya.
"Boleh. Tapi tidak gratis." Jawab adik Alfred, jutek.
"Jangan khawatir. I'll buy anything you want."
Mendengar jawaban Alfred yang begitu menjanjikan, anak itu dengan senang hati mengambil bolpoinku yang ada di meja lalu menulis jawabannya di kertas yang kami sediakan.
Tidak perlu menunggu lama, adik Alfred menjawab soal itu seperti air mengalir.
Fyuhhh
Akhirnya selesai juga.
"Terimakasih dek." Kataku sambil tersenyum.
"Sama-sama kak. Kakak Gea kan? Anak Pak Mikael yang bekerja di kantor Pertanian."
Aku tercengang mendengar perkataannya.
"Kau tahu dari mana?" Tanya ku, kebingungan.
Dia pergi begitu saja tanpa berbicara sepatah kata pun. Meninggalkan aku yang terlihat bodoh dengan mulut menganga.
Pfftt... hahahahahahaahh
"Ekspresimu kocak sekali. Cocok dijadikan meme. Hahahahahahahahaha."
"Puas kau?" Jawabku dengan tatapan sinis.
"Hahahahah... Okee, sorry. Tapi si Rani memang begitu orangnya. Dia pasti melihatmu dari tadi dan langsung mencari informasi tentangmu."
"Ingin tahu sih wajar. Tapi rasa penasarannya itu membuatku merinding."
Seketika kami berdua terdiam. Wajah Alfred berubah menjadi serius. Pasti kata-kataku menyinggung perasaannya. Aku harus bagaimana? Kalau meminta maaf, pasti keadaannya jadi canggung. Aku sangat bingung harus berbuat apa.
Tiba-tiba Alfred mengambil ponselnya yang berada di atas meja, lalu mengarahkannya padaku.
Cekrik
KAMU SEDANG MEMBACA
PERCAYA ITU PENJARA
RomanceFrater, jubahmu bukanlah penghalang bagiku untuk mencintaimu. 🚫no plagiat #OriginalStory Kisah dan tokoh dalam cerita ini tidak dibuat untuk menyinggung pihak manapun. Pict From Pinterest Memori peringkat: #1 Frater #1 Katolik #1 Biara