Malam Berhujan; [36]

920 175 18
                                    

***

“Kamu nggak akan ikut aku pulang?” Pertanyaan dengan semburat sedih itu cukup membuat Alfa sedikit terganggu.

Namun bagaimanapun dia tetap menggeleng. Dia tidak akan meninggalkan bengkelnya yang nyaman untuk tinggal di istana bak neraka milik keluarganya. Langkahnya sudah sejauh ini, dan hanya karena seorang Diana Alfa tidak akan mundur kembali.

“Aku tadi sempat ke restoran pacar kamu.” Diana memandang dingin ke depan meskipun wajahnya masih sembab dengan mata yang memerah. “Melabraknya. Memakinya di depan semua orang. Mungkin beritanya sudah muncul di media sosial sekarang.”

“Apa?”

Dan detik ketika Alfa menatap ke belakang, dia menemukan sebuah Alphard hitam yang bergerak mundur sebelum hilang tertelan bangunan berupa perumahan di pinggir jalan.

“Aku harus pergi sekarang.” Alfa turun dengan tergesa. Menyambar jaket yang dia letakkan asal di tiang jemuran dan memakainya tanpa sempat mengganti kaus putihnya yang kotor.

Dia naik ke atas motor dan menjalankannya dengan segera mengabaikan tatapan heran dari Dona juga dua karyawannya.

Itu jelas mobil Hanna. Alfa paham sekali bagaimana bentuknya. Dan kalau memang wanita itu memilih putar balik dari pada menemuinya, itu artinya Hanna sempat melihatnya bersama Diana di dalam mobil, kan? Dia pasti sudah salah paham. Apa lagi Diana memberitahu kalau dia habis dari restoran Hanna.

Astaga ... Kenapa semuanya jadi kacau begini?

Alfa menarik gasnya dengan lebih cepat. Dia terbiasa mengendarai motor dengan kecepatan di atas rata-rata. Dan menemukan mobil Hanna dari banyaknya mobil hitam yang lain tidaklah sulit.

Sampai mobil Hanna masuk ke dalam salah satu bertigaan, Alfa semakin menarik gasnya kencang. Jalan di sana adalah jalan sepi tempat mobil Hanna sempat bocor ban waktu itu. Benar, tempat di mana pertama kali mereka bertemu.

Alfa menyalip mobil itu dan berhenti tepat di depannya tidak peduli jika Hanna tidak sempat menginjak rem dan menabraknya sekalian. Namun untungnya mobil Hanna berhenti tepat waktu. Dengan segera Alfa melepas helm dan melangkah turun. Menuju sisi kemudia dan mengetuk kacanya tiga kali.

Dia menunduk ketika kaca hanya terbuka sedikit sekali. Menampilkan wajah Hanna yang lurus menatap ke depan. Hatinya terasa tercubit menemukan lebam serta bercak darah pada sudut kanan bibir wanita itu. Apa itu perbuatan Diana? Sudah pasti iya.

“Ayo kita bicara.” Alfa sedikit membungkuk. Nada suaranya terdengar membujuk. Memberanikan diri dia meloloskan lengannya ke sela kaca kecil itu dan memencet salah satu tombol di sana. Dan untungnya, Hanna membiarkan. Alfa buru-buru mengitari mobil dan masuk untuk duduk di kursi penumpang. Matanya menatap Hanna dengan ekspresi cemas yang tidak lagi dapat disembunyikan. “Bibirmu luka.”

Hanna mengelak ketika pria itu hendak melayangkan tangan untuk menyentuhnya. Enak saja main sentuh-sentuh padahal semenit sebelum ke sini masih berpelukan dengan wanita lain.

“Istrimu nggak marah kamu mengejarku ke sini?” tanyanya. Intonasi bicaranya terdengar datar dan dingin. Tatapan Hanna masih lurus ke depan, enggan sedikit pun menoleh atau dia akan mengamuk dan mencakar pria itu sampai wajahnya rusak.

Alfa menghela napas berat. Hanna tampak dingin dan datar. Dan itu adalah ungkapan amarah level tertinggi yang lebih mengerikan dibanding berteriak dan memaki. Oleh karena itu, Alfa akan mencoba menjelaskannya dengan hati-hati.

“Namanya Diana.” Alfa memulai.

“Aku nggak mau tau siapa namanya.” Karena mengingat wajahnya saja Hanna sudah sebal bukan kepalang. Berani sekali wanita sialan itu mempermalukan, menjambak, atau bahkan menampar pipinya sampai lebam.

Bukan Romeo & Juliet (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang