Malam Berhujan; [20]

1.1K 201 22
                                    

***

Hanna mendesah ketika merasakan hawa dingin menyapa bagian bahunya. Angin itu menyapu tanpa permisi membuat Hanna yang masih berada di ujung lelapnya refleks bergerak menuju sumber hangat yang berada di sampingnya.

Alfa merasakan pergerakan wanita itu, mendekat dan mendesak seolah butuh sekali kehangatan. Dengan satu gerakan, Alfa menarik ke atas selimut yang semula melorot untuk menutup pundak Hanna agar hawa dingin sang subuh terusir dari sana.

Pemuda itu kemudian menghela napas. Ini kali pertama baginya tidur telanjang dengan seorang wanita setelah mereka sibuk bercinta. Dan Hanna yang lelap justru membuat Alfa tidak kuasa memejamkan mata.

Hasratnya memang sudah sempat tuntas seiring dengan dirinya yang berhasil memecah perawan perempuan itu. Namun melihat tubuh menggiurkan yang kini terkulai tak berdaya di dalam pelukannya ini, dengan mudah gairahnya naik lagi. Sesuatu yang semula sudah tidur tenang karena puas menyemburkan cairan kenikmatan dengan mudah kembali berdiri.

Hanna memang berbeda sekali. Alfa belum pernah merasa seperti lelaki haus seks seperti ini terhadap wanita manapun sebelumnya.

Mencoba menekan bukti gairahnya yang sudah berdiri tegak minta dipuaskan, Alfa menghela napas dalam. Menerima pelukan Hanna di sepanjang pinggangnya dan menenggelamkan wajah pada rambut hitamnya yang wangi.

Dalam diam benaknya menimbang banyak hal. Tentang semua yang terjadi padanya, pertemuannya dengan Hanna sampai mereka bisa dengan mudah menghabiskan waktu dengan saling memuaskan di atas sofa di ruangan pribadi milik wanita itu sendiri. Semuanya tidak ada yang direncanakan. Alfa yang sudah satu tahun ini mulai banyak berubah dengan tidak sembarangan menyentuh wanita kini dengan mudah berpelukan dengan tubuh mereka yang telanjang.

Terlebih ... Ini semakin rumit karena nama belakang mereka yang saling bermusuhan. Keluarga yang tidak saling berhubungan baik dan saling dendam satu sama lain dari jaman kakek buyut tidak akan mudah untuk mereka lawan. Kendati Alfa sudah lama keluar dari lingkup keluarganya, tidak bisa membuat Alfa dilupakan oleh mereka begitu saja. Ayahnya yang haus kuasa dan memiliki ego setinggi langit pasti akan melakukan segala cara untuk menyeret pulang Alfa dan kembali menjejalinya dengan segala peraturan dan tanggung jawab yang tidak ada habisnya. Jangankan bersama Hanna yang memiliki marga Sastraguna, Alfa bahkan tidak diizinkan memilih wanitanya sendiri. Paksaan-paksaan itu yang membuatnya sangat tidak tahan.

Memikirkan kepelikan yang dihadapinya memang selalu membuat kepala Alfa pening bukan kepalang. “Na,” dia menggumam tidak peduli wanita yang dipanggilnya mendengar atau tidak. “Aku janji, setelah semua yang terjadi, nggak peduli keluargaku atau keluargamu yang menentang, aku akan selalu ada di sini.”

Perasaannya menjadi tak karuan mengingat gadis tak bersalah ini menjadi sasaran keisengan keluarganya. Alfa merasa wajib melindunginya dengan semua yang dia miliki.

***

“Astaga! Kamu ngapain aku sih, Al?!” Hanna berteriak. Menatap ngeri ke arah cermin yang menampilkan dirinya sendiri. Sekujur leher, dada turun ke pinggul penuh sekali dengan noda merah keunguan akibat tanda yang ditinggalkan Alfa semalam.

“Kenapa?” Pintu kamar mandi terbuka. Alfa mengangkat alis melihat tubuh telanjang Hanna dari pantulan cermin. Diam-diam meringis saat melihat tanda yang semalam dibuatnya memang tidak manusiawi saking banyaknya.

Hanna melirik sebal. “Ini kalau begini gimana nutupinnya, coba? Anak buahku pasti curiga aku habis diapa-apain.”

Mendengar itu Alfa justru terkekeh. Tubuhnya yang sudah dibalut pakaian lengkap menjalan mendekat, berdiri tepat di belakang tubuh Hanna yang masih telanjang bulat. “Kan semalem emang habis aku apa-apain.” Lengannya bergerak melingkar di pinggang wanita itu. Tidak peduli wajah Hanna masih masam, Alfa tetap menyungging senyum kecil ke arah Hanna lewat pantulan cermin. “Lagian bisa pake apa itu namanya yang sering cewek-cewek pake buat make up?” tanyanya mengerutkan kening. “Yang bisa dempul jerawat sampai mulus seketika?”

Ah, concealer? Benar juga, kenapa Hanna justru tidak kepikiran untuk mengcovernya dengan benda ajaib yang bisa menghilangkan noda dalam sekejap itu?

Pikiran Hanna sontak melanglang buana ketika merasakan telapak tangan pria itu bergerak turun. Menuju belahan di antara dua pahanya yang sejak bangun tidur tadi masih nyut-nyutan.

“Seharusnya kamu langsung pulang aja, mandi air hangat mungkin bisa sedikit meredakan nyeri di sini,” bisik Alfa dengan jemari yang mulai membelai.

Hanna memutar bola mata, memukul tangan Alfa yang sudah berani berbuat nakal. Wanita itu berbalik, meskipun malu, namun dia berusaha untuk percaya diri dengan tubuh telanjangnya. “Kalau tau masih nyeri, kenapa tangan kamu nakal banget main-main ke sana?” Hanna bersidekap. Kedua matanya menyipit menyadari tatapan pria itu yang sepertinya secara otomatis bergerak ke arah dua buah dadanya yang menyembul.

Alfa sama sekali tidak berniat menyembunyikan keterpesonaannya terhadap dua bukit yang semalam memberinya banyak sekali kepuasan. Dua bukit yang kini sudah penuh dengan tanda merah keunguan bukti dari geloranya.

Matanya kemudian naik, melihat Hanna dengan mata menuduh akibat tatapan Alfa yang tak senonoh. Pemuda itu kemudian tertawa kecil, memajukan wajah demi bisa mencuri satu kecupan gemas pada bibir yang masih cemberut itu.

“Maaf, tanganku bergerak dengan sendirinya,” katanya menjawab pertanyaan Hanna.

Saat mereka sudah akan saling memangut dan berbagi rasa, suara ketukan pintu yang sangat keras terdengar.

“Abel pasti udah balik,” ujar Hanna. Dirinya tadi sempat menelepon karyawannya itu untuk membelikan satu setel baju lengkap dengan bra dan celana dalam. Mana mungkin Hanna memakai kembali dalamannya yang semalam sudah basah dan menyedihkan, apa lagi dengan kemejanya yang semalam menjadi korban untuk mengelap cairan lengket dari atas perutnya. “Cepat ambilin, aku nggak mungkin keluar dengan keadaan begini, kan?”

Alfa mengangkat bahu mendengar perintah dengan nada yang luar biasa bossy itu, namun tetap menurut dan keluar. Membuka pintu dan menemukan wajah kikuk dari salah satu karyawan perempuan Hanna di sana.

“Ini Mas, baju pesanan Bu Hanna,” katanya mengulurkan satu tote bag yang langsung diterima oleh Alfa.

Wajah gadis itu sedikit bersemu ketika tidak sengaja melirik ke arah belakang tubuhnya. Membuat Alfa sontak mengangkat alis dan ikut menoleh ke belakang, dia berdehem canggung ketika menemukan selimut di atas sofa serta baju-baju milik Hanna yang masih berceceran di sana.

“Terimakasih, nanti saya sampaikan,” balasnya sebelum dengan buru-buru mundur dan menutup pintu.

Alfa melangkah menuju sofa ketika didengarnya suara shower dari kamar mandi. Diletakannya tote bag berisi pakaian baru milik Hanna itu ke atas meja. Dia lantas membungkuk, memunguti pakaian Hanna yang berceceran begitu juga dengan bra dan celana dalamnya. Menyatukannya dalam satu tumpukan sebelum meraih selimut dan melipatnya.

Hanna pasti akan malu bukan kepalang seandainya tahu jika salah seorang karyawannya sempat mengintip ke dalam sini dan menemukan bentuk sofa dengan pakaian berceceran.

“Al, bajuku!” teriakan dari kamar mandi membuat Alfa buru-buru menyambar tote bag. Pintu setengah terbuka, menyembulkan kepala Hanna dari sana. Kepala wanita itu masih meneteskan air yang mengalir menuju ujung rambut.

“Kayaknya aku harus pulang sekarang.” Alfa berucap sedetik sebelum Hanna kembali bergerak menutup pintu.

Wanita itu kembali menjembulkan kepalanya. “Harus sekarang?”

Alfa melirik ke arah jam dinding. “Udah jam enam. Bengkel harus buka sebelum aku pulang.”

Kepala wanita itu mengangguk perlahan, mengerjap, Hanna tampak sedang mempertimbangkan sesuatu. Sebelum memantapkan niat untuk membuka pintu lebih lebar menampilkan tubuh telanjangnya yang masih tertutup beberapa sabun.

Alfa membelalak ketika matanya menangkap pemandangan indah dengan tiba-tiba. Sampai secepat kilat sebuah kecupan basah mendarat di ujung bibirnya.

“Hati-hati kalau gitu,” ucap wanita itu berbisik. Sebelum terbirit-birit kembali ke kamar mandi dan menutup pintu. Meninggalkan Alfa yang masih mematung dengan perasaan tak keruan di tempatnya berdiri.

***

Hmmm, gimana? Yang udah baca di Karyakarsa pasti panas dingin kaaaan? Wkwkwk.

Tanggapannya untuk part ini dong.

Vidia,
18 Januari 2022.

Bukan Romeo & Juliet (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang