Malam Berhujan; [45]

865 159 13
                                    

***

Sore itu Arya kembali lagi. Ke sebuah bengkel sederhana tapi tidak pernah sepi yang didirikan oleh adiknya itu. Langkahnya berjalan perlahan untuk masuk, dan dari kejauhan, bisa dilihatnya sang adik yang baru saja kelur dari bagian bawah mobil dengan baju putihnya yang sudah kotor oleh noda hitam.

Alfa sepertinya bebas sekali di sini. Bisa melakukan apapun yang dia inginkan tanpa takut dimarahi. Sedikit banyak, Arya merasa cemburu karena dirinya tidak memiliki keberanian seperti sang adik. Dia selalu menjadi anak yang patuh, selalu menuruti apapun perintah Papa atau kakak tertuanya. Dari kecil dirinya tidak berhak memilih, seluruh masa depan dan pekerjaan sudah disiapkan bahkan sebelum dirinya lahir.

Semua itu berlaku untuk Kafi dan Alfa. Kafi sudah duduk di kursinya sendiri, Arya juga. Hanya Alfa yang memilih hengkang dan membangkang karena tidak mau sang ayah mengeksploitasi hidupnya sedemikian rupa.

Adiknya itu sadar akan kehadiran Arya rupanya. Karena dia langsung bangkit dengan wajahnya yang tetap murung lalu mendekat.

“Ngapain lagi, Mas?” tanyanya dengan berat. Karena Alfa tahu sekali, kedatangan Arya yang membawa titah dari ayah mereka selalu tidak terdengar baik.

Arya tidak langsung menjawab, dia justru mendudukkan bokongnya ada kursi plastik dengan santai, benaknya tidak sewas-was tempo hari ketika duduk di kursi yang menurutnya penuh kuman ini.

“Pilihan yang bagus kalau akhirnya kamu memutuskan untuk mengakhiri hubunganmu dengan Hanna.” Arya mulai membuka suara. Dia mendongak melirik Alfa yang masih berdiri. “Masih banyak wanita lain yang lebih baik dari dia kan, Al? Kamu bisa memilih banyak wanita asalkan bukan Sastraguna.”

Alfa menyungging senyum miring. “Aku mengakhiri hubungan kami bukan karena termakan omonganmu, Mas.” Masih tetap berdiri Alfa menjawab. “Tapi menurutku, jatuh cinta dengan seorang Sastraguna lebih bermartabat dari pada jatuh cinta sama tunangan orang.”

“Apa?” Arya tidak mempercayai pendengarannya.

Sekali lagi Alfa mengangguk. “Kamu sudah lama sekali menjalin hubungan dengan tunangan orang, jadi jangan sok menasihatiku. Martabatku tentu tidak sehancur kamu karena aku mencintai perempuan lajang meskipun dia berasal dari klan yang selalu bersitegang dengan keluarga kita,” katanya menatap Arya lurus-lurus. “Aku nggak bisa membayangkan bagaimana kalau Papa tahu putra kesayangannya justru menjalin hubungan dan kisah cinta dengan wanita yang sudah bertunangan dengan Sastraguna juga.”

“Jaga bicaramu, Alfa.” Arya menggeram.

Alfa tidak memedulikan. Bahunya terangkat tak acuh. “Setidaknya lebih baik jatuh cinta dengan Sastraguna, dari pada mencintai wanita bekasnya Sastraguna.”

Kemudian Alfa berbalik. Tidak peduli meskipun Arya bahkan belum sempat mengatakan niat kedatangannya ke sini. Dari awal sapaan merekapun sudah panas begini, Alfa tidak mau kakaknya itu mengkonfrontasinya lagi.

***

Semua alasan yang dilontarkan Andre maupun Ruka sudah jelas motifnya. Dan Hanna tidak lagi menaruh prasangka terhadap Rajasa meskipun dalam hatinya masih menyimpan sedikit kesal.

Membuka pintu rumahnya, dia melihat sang Nenek sedang duduk bertopang kaki sambil menonton televisi. Hanna mendekat segera. Menatap sang Nenek yang sesekali tertawa kecil melihat serial yang menurut Hanna tidak ada lucu-lucunya itu.

“Nek,” panggil Hanna.

Larissa yang masih belum mengalihkan pandangan hanya berdehem sambil memasukkan sebutir almon ke dalam mulutnya.

“Nek,” sekali lagi, Hanna memanggil. Dengan nada yang lebih keras dari sebelumnya. “Aku mau tanya.”

“Tanya apa?” Larissa akhirnya menyahut. “Biasanya langsung ngomong aja, kan? Nggak usah sok-sokan mau tanya mau tanya begitu.”

Mendengar sahutan Nenek yang ketus itu Hanna berdecak. “Nenek yang menyebabkan Ruka dipecat dari pekerjaannya di rumah sakit?”

Larissa menoleh, matanya yang muncul keriput menyipit dengan tajam. “Ruka siapa?”

“Mantan pacarku. Yang hari ini ditangkap karena review buruk itu.”

Sang Nenek mulai memasang wajah mengerti. Tapi sedetik kemudian wajahnya kembali mengeras sebal. “Kamu menuduh Nenek?”

“Ruka yang bilang sendiri. Makanya Hanna tanya. Dia dikeluarkan dari rumah sakit tempatnya bekerja dengan alasan mal praktik. Padahal menurutnya, pekerjaannya sudah baik dan sesuai SOP selama ini.” Hanna menjelaskan.

Menarik napas dramatis, Larissa geleng-geleng kepala. “Nenek nggak segila Rajasa. Mana mungkin melakukan itu.”

Ya, seharusnya Hanna tahu. Menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi, benak Hanna mulai melayang. Berarti bukan Neneknya. Ruka hanya mencari kambing hitam untuk disalahkan padahal dia dikeluarkan akibat keteledorannya sendiri. Menyebalkan sekali, memang.

Lama Hanna duduk dengan mata yang ikut memerhatikan televisi besar yang masih menyala tapi isi kepalanya ke mana-mana itu, perntanyaan aneh tak terduga justru keluar begitu saja. “Seandainya aku menikah dengan Arthadinata ... Apa Nenek akan setuju?”

Sesuai dugaan, sang Nenek langsung melotot. Menatapnya dengan mata mengancam yang tidan main-main. “Kalau kamu berniat menikah dengan salah satu dari mereka ... Berarti kamu lebih gila dari Rajasa.”

Seharusnya Hanna tidak usah bertanya, karena dia tahu sekali jawabannya. Menikah dengan klan yang selalu bersinggungan dengan mereka adalah hal mustahil. Dari dulu mereka saling membenci, tidak sudi memberi muka satu sama lain. Jika salah satu anak atau cucu mereka justru menikah, itu sama saja mencoreng arang. Dan lebih baik melajang sampai mati dari pada menanggung malu seumur hidup.

Sampai sekarang Hanna masih tidak mengerti, mengapa kisah cintanya persis sekali dengan Romeo dan Juliet yang berakhir tragis milik William Shakespeare itu.

***

Hanna melemparkan diri ke kesur. Setelah jawaban sang Nenek yang padahal sudah pasti itu entah kenapa perasaannya menjadi tak menentu.

Ada rasa sakit dan kecewa, juga perasaan tercubit kala tahu bahwa dirinya dan Alfa memang tidak bisa bersama. Pun sekarang pria itu juga sudah mengakhiri hubungan mereka, sebenarnya semua sudah tidak ada lagi masalah. Hanna hanya perlu menjalani kehidupannya seperti semula dan melupakan kenangan singkat bersama pria itu.

Seandainya saja semua semudah yang dia bayangkan, perasaan galau tidak jelas ini juga tidak akan menyapa. Hubungan mereka yang di latar belakangi kedua nama keluarga yang saling bersitegang sejak dulu seharusnya sudah menjadi kaca, bahwa tidak ada lagi masa depan yang bisa diharapkan.

Menyatukan Arthadinata dan Sastraguna adalah hal termustahil yang pernah Hanna bayangkan. Hubungan keduanya yang perang dingin sudah layaknya minyak dan air, mustahil untuk disatukan. Seberapa keras pun mencoba, seseorang seperti Hanna tidak mungkin bisa melunakkan ego mereka yang setinggi gunung.

Mulai dari persaingan-persaingan bisnis yang tidak ada habisnya, sampai ke perang dingin yang tidak tahu dari mana asal muasalnya.

Sastraguna dan Artahdinata digambarkan bagai laut biru dan air tawar. Seingin apapun mereka berdekatan dan bertemu, mereka tidak akan pernah bisa menyatu.

Itu karena sejak awal ... Mereka ditakdirkan berbeda. Ditambah ego dari para leluhur yang masih berkuasa menurun ke anak cucunya. Tidak ada cara untuk meruntuhkannya selain salah satu yang mau mengalah.

Dan jelas, tidak ada.

***

Apakah kapal mereka akan tetap berlayar? Atau justru karam di tengah jalan? Hmmm.

Vidia,
04 April 2022.

Bukan Romeo & Juliet (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang