Malam Berhujan; [17]

969 200 14
                                    

***

Memang, di mata seorang Hanna Priyanka tidak ada seorang lelakipun yang sepengertian papinya. Sejak kecil, kasih sayang papi tidak pernah ada kurangnya, perhatian papi pula yang membuat Hanna merasa beruntung sekali memiliki lelaki itu dalam hidupnya meskipun dirinya turut terlahir dalam sebuah keluarga yang pelik.

Nama belakangnya hinggap bagaikan beban. Sejak sekolah dasar, tak terhitung seberapa banyak anak-anak yang dipaksa orangtua mereka untuk berteman dengannya hanya karena dirinya masih keturunan Sastraguna.

Dari kecil Hanna sudah dipenuhi tekanan. Mulai dari teman-teman yang tidak pernah tulus, orang-orang baik yang hanya memanfaatkan, sampai omelan nenek yang selalu mengingatkan tentang tata krama serta darah yang mengalir di tubuhnya. Semua membuat Hanna pusing bukan kepalang. Mungkin, sebagian orang ada yang mengatakan bahwa dirinya tidak bersyukur sudah lahir dari seorang pengusaha yang tidak lagi perlu memikirkan isi perut. Namun di samping semua itu, ada tekanan tersendiri. Ada beban yang susah dijelaskan, yang jika Hanna bisa memilih, dia pun ingin sekali menghilangkan Sastraguna dari nama belakangnya.

Dan dari semua itu, yang disyukurinya hanyalah keberadaan sang ayah. Papi yang hangat, perhatian dan penuh kasih sayang mampu menggantikan peran sosok ibu yang dari kecil tidak pernah Hanna rasakan. Tapi semua perhatian dan kasih sayang yang papi berikan hanya terbatas. Karena pria yang membuatnya ada di dunia itu mulai jarang berada di rumah, lebih sering menyelesaikan bisnisnya di luar kota sehingga waktu yang diberikannya untuk Hanna sangat sedikit sekali.

Seperti sekarang, setelah berkunjung dan menanyakan kabar, Papi berniat kembali pergi.

"Apa ... Papi nggak mau tinggal sebentar lagi?" Dari dulu, sudah tak terhitung berapa kali Hanna selalu membujuk dengan kalimat yang sama. Berharap sang papi mau meluangkan waktunya sedikit saja.

Namun jawaban papi tetap sama. Pria itu menggeleng. Berdiri dan memeluk Hanna dengan kuat. "Kasus Papi yang di Majalengka belum selesai. Papi buru-buru pulang ke sini karena mendengar kabar kamu dari Nenek," katanya masih memeluk Hanna. "Hubungi Papi kapanpun kamu kangen, oke?"

Hanna menjauhkan sedikit tubuhnya, membiarkan pundaknya berada di dalam rengkuhan sang papi. Ingin sekali dia berteriak kalau sekarangpun dia masih merindukan pria tua itu! Tapi harus tertahan karena diapun tahu, banyak orang-orang kecil yang membutuhkan papinya untuk menuntut keadilan.

Jadi, mau tidak mau, Hanna mengangguk. Menahan matanya yang memerah ketika merasakan keningnya dikecup sang papi dalam.

"Baru kali ini aku melihat Teguh Sastraguna secara langsung."

Hanna yang memerhatikan sang papi yang sudah masuk ke dalam jaguar hitamnya menoleh ketika mendengar Alfa mulai berkomentar.

"Selama ini cuma lihat melalui sampul majalah atau koran-koran aja. Aku banyak sekali mengikuti kasus yang dikerjakan beliau." Alfa kemudian menggeser bangku, dengan matanya, pria itu mengisyaratkan Hanna untuk duduk. "Kasus yang paling terkenal adalah kasus mengenai perebutan lahan antara petani dan pengusaha yang terjadi di Kalimantan beberapa tahun lalu."

Perasaan sedih Hanna sedikit menguap, dia tersenyum kecil sebelum kemudian duduk di kursi yang sudah Alfa tarik sebelumnya. "Makanya, meskipun aku ingin sekali menahan Papi untuk nggak pergi, aku nggak melakukannya. Karena tahu, masih banyak rakyat kecil yang membutuhkan bantuan Papiku di luar sana."

"Kamu beruntung karena kamu punya seorang ayah yang luar biasa."

Perasaan Hanna menghangat seketika. Alfa tidak mengeluarkan kalimat omong kosong penuh rayuan seperti yang pernah Ruka lakukan dulu, hanya pujian tulus mengenai ayahnya. Namun efeknya, justru lebih parah. Sebagai seorang anak perempuan yang memuja ayahnya, dia senang ketika mendengar kalimat pujian yang dilontarkan orang lain.

"Kamu sudah makan?" Hanna mengalihkan pertanyaan. Karena pria itu sudah berhasil mengikis sedikit perasaan sedih di hatinya, Hanna akan berbaik hati untuk memasakkannya makan malam.

Alfa merenggangkan kedua tangannya ke depan, kepalanya mendongak dengan mata terpejam. Pemuda itu mendesah kala merasakan tubuhnya yang luar biasa kaku mulai rileks perlahan. "Aku dari siang belum makan, dan kayaknya butuh makanan berat."

Hanna langsung berdiri. "Di kulkas ada ayam. Aku bawa dari rumah tadi. Ayam kecap manis, nggak apa-apa?"

Senyum kecil terbit di bibir Alfa. Pemuda itu mengangguk ketika melihat Hanna berjalan menuju pintu dapur. Perasaan wanita memang mudah sekali berubah-ubah begitu, ya? Sedetik yang lalu tampak sedih seakan hendak menangis saat ditinggal ayahnya, sedetik kemudian berubah cerah dan bersemangat. Alfa menggeleng tidak mengerti. Karakter seperti itu memang unik sekali. Tidak tertebak penuh kejutan. Alfa membayangkan dirinya tidak akan bosan seumur hidup jika menghabiskan waktu dengan wanita berkarakter seperti Hanna.

Setelah memastikan pintu restoran sudah terkunci rapat, Alfa juga melangkah menuju dapur. Menemukan Hanna dalam balutan apron hijau dengan bordir nama restorannya. Rambut sepundak perempuan itu di gelung asal, menyisakan sedikit anak rambut nakal yang bertebaran di sisi wajahnya.

Alfa mendekat, bersidekap dan menyandarkan tubuhnya pada sisi pantri sambil mengamati Hanna. Perempuan itu sibuk membuka tutup pada botol kecap lalu menuangkannya ke dalam baskom kecil berisi lima iris dada ayam.

"Buat siapa masak sebanyak itu?" Alfa mencondongkan sedikit tubuhnya. Mengintip Hanna yang sedang marinasi para daging itu dengan tangannya yang sudah terbungkus sarung plastik.

"Aku butuh tiga dada ayam malam ini." Hanna menjawab tanpa menoleh sama sekali meskipun tahu wajah pria itu hanya berjarak beberapa inci dari lehernya. "Karena setiap malam, aku selalu menghindari nasi."

"Tapi kemarin malam kamu makan mi instan. Itu sama-sama karbohidrat, kan?"

Hanna mengangkat bahunya. "Itu karena siangnya aku belum sempat makan sama sekali. Sesendok dua sendok mi instan kurasa nggak masalah."

"Jangan begitu. Kalau kamu lapar, ya harus makan. Kamu nggak kasihan sama cacing-cacing di perutmu?"

"Semua laki-laki pasti ngomong begitu kalau tau pola makan wanita seperti apa," ucap Hanna sambil menyelipkan tawa kecil. "Aku dulu pernah merasakan gendut, hampir tujuh puluh kilo. Bentuk badanku nggak akan sesempurna ini kalau aku kasihan sama cacing-cacing di dalam perutku seperti katamu barusan itu."

"I know." Alfa menjawab lamat. Sebelah telapak tangannya maju tanpa permisi, merayap ke perut Hanna yang rata. "Tapi pernah nggak, sekali aja kamu memikirkan sesuatu di dalam sini yang mungkin sedang berteriak minta diisi nasi?"

Dan yang lebih memalukannya lagi, perut itu malah berbunyi. Nyaring sekali tepat di mana Alfa menangkupnya. Hanna memejamkan mata menahan malu. Benar, dia memang lapar, tiga iris dada ayam mungkin tidak akan membuatnya kenyang. Tapi apa harus sekarang dia makan nasi setelah Alfa memergoki perutnya yang berteriak kelaparan.

Sudut bibir Alfa menyungging senyum kecil. Dia semakin merapat dan memeluk pinggang wanita itu dengan kedua tangan yang merengkuh mantap. Ditempelkannya dagunya yang bersih pada pundak Hanna seraya berbisik. "Mulai sekarang aku nggak mau tau, setiap sama aku, perutmu harus selalu terisi dan kenyang."

"Tapi nanti aku gendut lagi."

"Nggak apa-apa. Justru malah enak dipeluk," jawab Alfa kemudian memekik dan menjauh seraya terbahak-bahak ketika menerima satu sikutan telak di tulang rusuknya.

***

Prediksiku salah ternyata. Bab ehem-ehemnya bakal mulai part depan. Tapi kalau kalian nanti malem mau aku up lagi, ramaikan dulu bab ini. Vote dan komen yang banyak yaaaa.

Vidia,
16 Januari 2022.

Bukan Romeo & Juliet (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang