Malam Berhujan; [59]

768 164 10
                                    

***

Hanna bersama Zania selesai bermain di pinggir pantai yang masih terang benderang. Memilih menyudahi telapak kaki mereka yang semula terendam terjangan obak dan menepi. Meskipun ini bukan malam tahun baru, namun di atas langit sana tidak lah sepi. Banyak sekali kembang angin yang terbang meriah menemani bintang di atas awan.

"Dingin," Hanna memeluk pundaknya yang telanjang. Tubuhnya kali ini hanya dibalut dress putih dengan tali spageti tipis yang melingkar di lehernya. Benar-benar kontras dengan dinginnya angin malam yang menyerbu dan menyibak rambut serta pakaiannya tanpa henti.

Dalam diam Hanna tersenyum, kepalanya mendongak ke arah langit yang kelap-kelip akibat banyaknya kembang api yang diluncurkan. Sama seperti Jakarta, Bali juga sepertinya tidak pernah sepi.

Ya, setidaknya menurut Hanna, dia masih bisa menyunggingkan senyumnya ketika berada di sini. Karena saat kembali ke Jakarta nanti, akan banyak sekali yang dia pikirkan. Dirinya akan disibukkan dengan berbagai macam kesibukan serta rentetan masalah yang semacam tidak ada habisnya.

Terlebih, hubungannya dengan Alfa pun masih dipertanyakan. Mempunyai masa depan atau tidak, bagus untuk dilanjutkan atau berhenti saja. Semuanya masih dalam satu tanda tanya, yang Hanna harus menghadapi dan melaluinya untuk mendapat jawaban yang pasti.

Dalam kisahnya, Hanna memang mengakui, jalan ceritanya sedikit mirip dengan novel milik William Shakespeare yang luar biasa terkenal itu. Hanna pernah membacanya, tentu saja. Romeo dan Juliet tentu sudah menjadi nama yang familiar untuk telinga sebagian besar orang, pun dengan kisahnya yang romantis meski berakhir tragis. Cerita mereka melegenda.

Juliet yang memilih mati karena pria idamannya tidak disetujui sang ayah kala itu pernah Hanna tertawakan. Menurut Hanna, itu sangat lah bodoh dan gegabah. Mati hanya demi seorang pria yang bisa kamu dapatkan di mana saja terdengar berlebihan. Namun sekarang, siapa yang menyangka Hanna justru berada dalam fase yang sama. Dia tidak senekat Juliet untuk mempertahankan pilihannya, memang. Namun mengkhianati keluarganya, Hanna sempat terpikirkan.

"Mau sampai kapan di sini?" Bisikan disertai sepotong jaket kulit yang disampirkan pada pundaknya itu datang.

Hanna tidak menoleh, dia bisa merasakan tubuh Alfa yang melingkupinya dari belakang. Kedua lengan pria itu bahkan melingkari lehernya dengan hangat.

"Besok kita pulang." Hanna menggumam. Matanya tetap tidak lepas dari gemerlapnya kembang api di atas sana. Kepalanya sedikit miring merasakan dagu Alfa yang bertengger di pundaknya. "Akan ada banyak sekali sesuatu yang perlu kita selesaikan," lanjut Hanna kemudian.

Alfa memberi satu kecupan sayang di pipi Hanna sebelum menjawab. "Satu persatu, ya. Masalah keluargamu biar aku yang memikirkan."

"Lalu ... Masalah keluarga kamu sendiri?"

"Mereka nggak akan menyakiti kamu. Aku janji."

Bukan itu, maksud Hanna. Tapi ... Bukan hanya Alfa, Hanna pun juga membutuhkan restu orangtua dari pria itu, kan? Dia tidak mau menjalin hubungan dengan salah satu dari mereka yang membangkang. Tapi itu akan dia pikirkan nanti. Setelah mereka tiba di Jakarta, ada banyak sekali yang Hanna rencanakan.

***

"Mereka sudah sampai."

Rajasa yang berada di ruang kerjanya mendapat laporan dari Arsaka, salah satu asistennya yang paling dia percaya.

Dia dan juga istrinya memilih pulang sejak semalam. Sejak mendengar kenyataan mengerikan yang katakan Stella, Rajasa tidak betah untuk berada di pulau Dewata itu lama-lama.

"Suruh Arya dan Alfa menghadap ke saya. Kalau mereka tidak mau, bawa beberapa orang dan paksa. Saya nggak menerima pembangkangan lagi kali ini." Rajasa berucap bengis. Membuat Arsaka segera menundukkan kepala dan menunaikan perintahnya.

Setelah kepergian si asisten, Rajasa menarik napasnya kasar. Dia benar-benar merasa pusing. Memimpin banyak sekali induk perusahaan milik Arthadinata tidak lah mudah, belum lagi dengan adanya beberapa dari mereka yang membelot dan ingin menguasai perusahaannya sendiri.

Dan saat pintu terbuka menampilkan wajah putra pertamanya, Kafi, masuk dengan keruh, Rajasa langsung berfirasat buruk.

"Aku menemukan beberapa tumpukan bukti penggelapan dana yang dilakukan sama Om Suta," ungkap Kafi tanpa basa-basi.

Suta adalah adik Rajasa, yang diberi wewenang untuk mengolah salah satu perusahaan tekstil terbesar milik mereka. Si serakah yang sedang berusaha membelot karena ingin menguasai perusahaan itu atas namanya sendiri tanpa embel-embel Arthadinta.

"Terus awasi. Kita masih belum bisa menggantinya untuk saat ini."

"Sampai kapan?" Tatapan Kafi berubah tidak sabar. "Sejak dulu kita tahu kalau mereka berniat berkhianat. Sebelum mengakar dan menjulur ke anak cucunya, kita harus menghentikan Om Suta dengan cepat."

"Masalahnya, jika dia kita lengserkan, para petinggi perusahaan kita akan curiga. Banyak yang masih berpihak terhadap Suta. Apa kamu nggak berpikir saham kita akan turun jumlahnya jika para petinggi memutuskan untuk mengundurkan diri?"

Kafi berdiri. Jawaban sang Papa tetap masih sama. Meskipun Kafi sudah sangat tidak sabar untuk menghabisi pamannya yang sudah banyak korupsi, namun tetap saja, Papa selalu melarang. "Papa sudah di bawah kendali." Dia keluar dengan marah.

Meninggalkan Rajasa yang langsung mengurut pangkal hidungnya kuat-kuat.

Dia merasa pening sekali. Belum berurusan dengan Sastraguna, ditambah masalah di dalam rongga tubuh Arthadinata sendiri. Semua ... Seolah tidak ada habisnya.

***

"Lancar liburannya?"

Hanna yang baru saja melewati ruang tamu sambil menggeret koper langsung tersentak begitu mendapati sang Papi yang sedang duduk santai di ruang tengah sambil menonton TV.

Dengan cepat Hanna melepaskan genggaman pada koper yang diseretnya untuk mendekat dan memeluk Teguh Sastraguna dengan erat.

"Papi kapan pulang?" Hanna memejam. Mengharumi aroma parfum dari sang Papi yang sangat dia rindukan.

"Kemarin." Teguh menjawab. "Papi cukup kecewa kamu nggak ada di rumah. Tapi it's okay, kamu juga perlu menikmati masa muda kamu untuk bersenang-senang."

Hanna merenggangkan sedikit pelukan mereka sambil tertawa. "Aku udah dua enam, Papi."

"Papi tau." Teguh mencium kening sang putri sekilas. "Tapi tetap saja, selama kamu belum menikah, kamu jelas wajib sekali menikmati masa lajang yang membahagiakan."

Mendengar itu entah kenapa bibir Hanna sontak cemberut. "Memangnya kalau aku sudah menikah nggak bisa lagi jalan-jalan apa?"

"Tapi rasanya akan beda. Nanti kamu merasakan sendiri. Apa lagi kalau sudah punya anak kecil, jangan kan berpikiran untuk liburan. Pergi ke Mall aja pasti malas sekali." Sang Papi menjawab.

Mata Hanna mengerling. "Kenapa Papi tau banget, ya?"

"Karena Papi pernah merasakannya."

Mami Hanna meninggal ketika melahirkan Hanna. Dan itu berarti, sebagian besar masa kecil Hanna jelas diurus oleh Papi. Nenek yang cerita, meskipun sejak dulu mereka memang berada, Papi jarang sekali meninggalkan Hanna sendiri dengan pelayan yang siap membantu mengasuhnya kapan saja.

Papi adalah laki-laki yang bertanggung jawab. Sanggup membuat Hanna terpesona dengan sikap hangat dan kasih sayangnya. Tanpa Mami pun, jika memang Papinya seorang Teguh Sastraguna, entah kenapa Hanna merasa cukup.

***

Terus gimana nih, Papa Teguh bakal restui nggak kalau Hanna buka suara ttg Alfa? Yuk ramaikan yuuuk.

Vidia,
10 Juni 2022.

Bukan Romeo & Juliet (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang