Malam Berhujan; [66]

776 193 30
                                    

***

Alfa memejamkan kedua matanya rapat-rapat dengan ponsel yang masih berada di dalam genggaman. Hari ini dia sedang berada di kursi ruang tamu rumah kecilnya sendiri. Awalnya, Alfa berniat untuk ke rumah sakit untuk memastikan kondisi sang Papa. Hanya saja tubuhnya merasa lemas bukan main setelah menerima pesan panjang yang dikirimkan oleh Hanna.

Wanita itu habis ditampar oleh Papinya sendiri. Pun Alfa juga mendapat satu gambar berupa pipi wanita itu yang membiru. Dalam hati Alfa merasa sedih sekali. Merasa bersalah setengah mati akibat perselisihan yang terjadi di antara Hanna dan sang Papi jelas diakibatkan oleh dirinya lagi. Sudah terlalu banyak Alfa menimbulkan sakit bagi Hanna. Sudah terlalu banyak hal-hal menyakitkan bagi mereka berdua akibat hubungan yang tak kunjung menemukan restu akibat perselisihan di antara keluarga.

Alfa juga merasakan patah hati yang sama. Sedih yang sama pula akibat ini adalah pertama kalinya bagi dia menemukan wanita yang benar-benar dirinya cinta. Hanna adalah wanita pertama yang membuat Alfa menginginkannya. Wanita pertama yang mampu mengetuk hati Alfa sampai dia menjatuhkan pilihan terhadapnya.

Namun ... Semuanya justru berakhir rumit. Seharusnya sejak awal, sejak dirinya tahu jika Hanna berasal dari keluarga yang saling bertentangan, Alfa mundur saja. Bukan malah menguji nyali dan berakhir menyakiti perasaannya sendiri.

Alfa membaca sekali lagi pesan yang dikirimkan oleh Hanna di ponselnya. Wanita itu juga sudah memblokir nomornya. Itu pilihan yang tepat. Karena jika bersama Alfa, Hanna akan terus merasa menderita saja.

Alfa memasukkan ponsel itu ke dalam saku di balik jaket kulitnya sebelum dia memilih untuk keluar dan mengendarai motornya menuju rumah sakit. Malam-malam begini, di tengah gerimis dan dinginnya angin malam, Alfa justru teringat saat-saat pelukan Hanna merangkul pinggangnya erat. Jari-jari nakalnya yang tak jarang menyapu sesuatu milik Alfa di balik celana. Sekarang ... Semua itu sudah tidak akan terjadi lagi. Mereka sudah berpisah. Dan kali ini Alfa tidak lagi memutuskan kembali. Dia akan membiarkan Hanna melanjutkan hidupnya sendiri dengan bahagia. Tanpa Alfa yang hanya akan menambah luka saja.

"Kamu masih ingat kalau Papamu sedang sekarat ternyata." Rajasa menatap sang putra yang baru saja masuk sambil menenteng helm dan juga sarung tangan hitamnya. Menyandar di kepala ranjang VIP yang empuk, pria paruh baya yang masih berekspresi tegas meskipun kondisinya sedang tidak membaik itu mengamati Alfa yang mendekat dengan seksama.

"Papa sudah membaik." Alfa langsung bisa menyimpulkan. "Bagus kalau begitu."

Rajasa seketika menyunggingkan senyum miring. "Kamu pikir gara-gara siapa Papa bisa berbaring di ranjang rumah sakit yang sesak begini?"

Ranjang rumah sakit itu sama sekali tidak sesak. Alfa tahu jika Papanya memang sangat berlebihan. "Aku senang Papa baik-baik aja," ucap Alfa dengan ekspresinya yang tetap datar. Duduk di kursi samping ranjang sang Papa dan bersedekap menyandarkan punggungnya di sana.

Membuat Rajasa bisa mengamati sang putra bungsu yang sudah lama tidak dilihatnya dengan seksama. "Sepertinya kamu bahagia sekali satu tahun pergi dari rumahmu sendiri."

"Bukan rumahku. Itu istana yang Papa buat untuk mengintimidasi kami." Karena pada akhirnya, Alfa justru merasa nyaman tinggal di rumah kecil dan juga bengkel hasil kerasnya sendiri.

Rajasa yang menyandar di kepala ranjang menyunggingkan senyum miring. "Bagaimana kabar si Sastraguna itu? Apa bayinya baik-baik saja?"

Rajasa mungkin dikenal sebagai pembisnis bertangan dingin yang kejam. Dia bisa menghanguskan sebuah perusahaan yang tidak sejalan dengannya. Namun, dia juga merupakan seorang yang tidak tega dengan anak kecil. Jika memang si Sastraguna itu sudah terlanjur hamil dengan putranya, Rajasa tentu tidak akan berpikiran gila dengan memerintah Alfa untuk membunuh calon cucunya sendiri.

Karena bagi Rajasa Arthadinata, semenjijikkan apapun orang-orang Sastraguna bagi dirinya, lebih menjijikkan orang-orang yang sudah melenyapkan bayi yang tidak berdosa sama sekali.

Alfa yang mendengar pertanyaan itu seketika mendesah keras. Dia menyandarkan tubuhnya sambil bersedekap. Pikirannya jelas melayang kepada Hanna yang mungkin saja sedang mengurung diri di dalam kamarnya. Catra yang beberapa saat lalu memberitahunya lewat pesan.

"Hanna nggak hamil." Alfa memutuskan untuk memberitahu. Hubungannya dengan Hanna sudah kandas dan dia tidak perlu lagi berbohong untuk melindungi wanita itu. "Aku membohongi Mama karena nggak mau beliau menyakiti Hanna," lanjutnya.

Lalu tiba-tiba saja, sang Papa tertawa keras. Terbahak sampai telapak tangannya yang tertutup selang infus mengelus dada yang mulai sesak. "Astaga," pria tua itu terlihat puas dan senang sekali. "Kalau Mamamu mendengar ini pasti dia akan mengamuk sampai pagi."

Kening Alfa mengernyit. Dia tidak takut dengan amukan sang Mama sama sekali. Selama Hanna tidak lagi ada di sisinya, bisa dia jamin jika sang Mama juga tidak akan bertingkah macam-macam kepada wanita itu. Jika amukan sang Mama dilayangkan kepada Alfa sendiri, jelas dia tidak keberatan.

Rajasa menegakkan tubuhnya. Untuk pertama kali, dia menepuk-nepuk pundak Alfa dengan senyumnya yang tampak sangat bangga. "Bagus, bagus. Pilihan kamu untuk melepaskan si Sastraguna itu sudah tepat sekali. Papa tentu akan mencarikan wanita yang jauh lebih baik dari dia. Percaya saja."

"Aku tetap nggak akan menerimanya. Meskipun aku sudah nggak bersama Hanna, Alfa jelas masih berhak menentukan pilihanku sendiri." Dia kemudian berdiri, mendorong kursi yang didudukinya ke belakang dengan kedua mata yang menyorot datar. "Aku harap Papa cepat sembuh," lanjutnya sebelum melangkah pergi.

Demi apapun, setelah kehilangan Hanna, Alfa tidak berniat untuk mencari wanita lain lagi. Tidak ada satu pun wanita yang bisa menggantikan sosok Hanna Sastraguna. Wanita itu terlalu banyak mengambil porsi di hatinya.

***

Hanna masih mengurung diri. Mengunci pintu dan seharian sama sekali tidak keluar dari kamarnya meskipun berkali-kali dia mendengar pintu di luar sana diketuk. Suara Catra yang membujuk, suara Papa yang memohon, bahkan Nenek yang ikut serta bertutur lembut pun tidak Hanna hiraukan sama sekali.

Dia jelas sedang patah hati. Dan hal itu mirisnya disebabkan oleh keluarganya sendiri.

Hanna tahu sekali jika Arthadinata adalah sebuah nama yang haram sekali disebutkan dalam lingkup keluarganya. Sejak kecil pun Hanna juga sudah sering sekali para tante dan neneknya mengungkap dendam setengah mati.

Tapi Alfa berbeda. Meskipun dia merupakan keturunan langsung dari Rajasa dan membawa kental darah Arthadinata, pria itu jelas tidak ada sangkut pautnya dengan masalalu mereka. Tidak ada hubungannya dengan permusuhan nenek moyang yang berangsur turun menurun.

Pikiran konyol Hanna jelas ingin meruntuhkan tembok besar di antara keluarga mereka dengan mencoba memperjuangkan cintanya bersama dengan Alfa. Namun apa lah daya, hal itu tidak mungkin sama sekali. Hanna dan Alfa bukan lah siapa-siapa di dalam keluarga mereka. Jelas mereka tidak bisa meruntuhkan begitu saja ego masing-masing keluarga yang sama-sama keras kepala.

***

Setelah sekian lama, ada kah yang menunggu pasangan ini kembali? Gimana akhir yang kalian harapkan? Pengin Alfa-Hanna balikan lagi atau bahagia dengan hidup mereka sendiri-sendiri?

Komen banyak-banyak di bawah, yaaa. Soalnya aku senang banget bacain komentar kalian. Kayak punya energi sendiri yang bikin aku jadi semangat nulis di saat mood ku hancur tau, nggak. Hehe.

Oke, Terimakasih sudah mau membaca, yaaa.

Vidia,
25 Juli 2022.

Bukan Romeo & Juliet (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang