Malam Berhujan; [69]

699 150 15
                                    

***

Hanna masih terbaring, meskipun tubuhnya sudah tidak selemas kemarin, namun Hanna masih enggan untuk pulang. Dia masih ingin di sini. Ada sesuatu yang harus dia lakukan. Sejak semalam Hanna sudah memikirkannya matang-matang.

Segala cara telah ku coba ....
Pertahankan cinta kita ....
Selalu ku titipkan salam doaku, meskipun ku tak mampu melawan restu ....

Suara alunan indah milik Mahalini itu mengalun merdu di layar televisi. Membuat kedua kelopak mata Hanna terpejam untuk menikmatinya. Dia curiga kalau si penyanyi bisa membaca isi hati Hanna, karena yang tertuang lirik demi lirik benar-benar persis dengan apa yang dirinya alami.

Sialan sekali. Dari semalam dia sudah memantapkan hati untuk tidak mellow dan mendramatisir perasaannya lagi. Tapi lirik lagu itu benar-benar mengacaukannya.

"Sayang," kepala Hanna menoleh ketika dia mendengar suara pintu terbuka. Menampilkan sosok sang Papi yang sepertinya sudah tidak tahan untuk masuk meskipun dari kemarin Hanna sudah melarangnya. "Papi masuk, ya."

Tidak butuh jawaban darinya, Papi langsung masuk begitu saja. Menarik kursi dan duduk di samping ranjangnya. Jika Hanna amati lebih dalam, dia bisa melihat kantung mata sang Papi yang menghitam. Wajah tuanya yang biasa terlihat berkarisma kini terlihat sangat lelah. Hanna jadi merasa bersalah karena sudah membuatnya khawatir begini.

Tangannya yang diinfus segera memencet remot untuk mematikan televisi. Dia tidak mau terlihat menangis lagi. Tidak mau di hadapan sang Papi yang sepertinya dari kemarin lupa mengisi perutnya sendiri.

"Papi nggak pulang?" Hanna menyuarakan pertanyaan.

Yang langsung di balas gelengan oleh Teguh Sastraguna dengan sudut bibirnya yang terangkat hangat. "Bagaimana Papi bisa pulang sementara kondisi kamu masih seperti ini?" Jawabnya. Lalu dengan hati-hati meraih telapak tangan sang putri dan menggenggamnya erat. "Papi minta maaf."

Ini adalah kali pertama bagi Hanna melihat sang Papi menunduk menunjukkan wajah sedih sedemikian rupa. Hanna tidak tega. Bagaimana pun, meskipun beberapa hari lalu Papi sempat menampar dan mengecewakannya, tapi pria itu tetap lah laki-laki pertama yang dicintai oleh Hanna. Laki-laki terbaik yang selalu menjaganya, laki-laki hebat yang Hanna punya.

"Hanna yang minta maaf, Pi." Dia mulai terisak. Menyambut pelukan hangat sang Papi dan menumpahkan seluruh penyesalannya di sana. Seharusnya, semarah apapun Hanna, tidak sepantasnya dia membuat Papi tampak khawatir seperti ini. Papi terlihat sangat lelah, mungkin saja sejak kemarin beliau tidak tidur atau pun makan sama sekali. "Papi udah makan?"

Sesuai dugaannya, Papi langsung menggeleng. "Belum. Papi mau makan kalau Hanna juga makan."

Bukannya Hanna tidak mau, hanya saja dia tidak suka makan bubur rumah sakit yang rasanya hambar itu. Kemarin saja dia cuma menghabiskan sedikit sekali. Mungkin Papi mengira kalau dia masih melanjutkan aksi mogok makannya. "Hanna masih belum boleh makan makanan berat," desahnya. "Padahal Hanna pengin makan ayam bakar yang sering Papi pesan itu. Papi juga tahu kalau Hanna sama sekali nggak suka bubur."

"Kamu bisa pesan apa aja yang penting makanan sehat, Sayang. Papi pesankan salad, mau? Papi juga mau makan itu."

Dan Hanna mengangguk. Salad juga diperbolehkan oleh dokter kemarin. Hanya saja Hanna tidak bernafsu makan sama sekali. Tapi kali ini dia harus memakannya. Karena Hanna juga tidak mau sang Papi kelaparan.

Sarapan pagi sudah habis. Hanna sempat meminta Papi untuk pulang saja. Papinya itu bisa membersihkan diri dan beristirahat. Tapi tentu saja beliau menolak. Malah menjawab kalau sudah memerintah Pak Jaka untuk datang dan membawakan pakaian gantinya.

"Mau ke mana?" Papi yang sudah bersih dan wangi bertanya ketika dilihatnya Hanna beranjak dari ranjangnya.

"Aku ... Ada sesuatu yang harus aku selesaikan, Pi," jawabnya kemudian. Melirik ke arah tembok sebelah, di mana di dalam ruangan itu lah sosok Rajasa Arthadinata berada. "Hanna harus bertemu Rajasa."

"Untuk apa?" Teguh tentu saja tahu jika Rajasa juga sedang dirawat di rumah sakit ini. Di sebelah kamar putrinya tentu saja. Sebelumnya, Teguh sama sekali tidak pernah bertemu langsung dengan sosok Rajasa, hanya sempat melihat gambarnya di portal-portal berita. Jika Rajasa merupakan penguasa dari Arthadinata, maka seorang Teguh  adalah putra mahkota yang akan mewarisi tahta kerajaan Sastraguna selanjutnya.

Dan sebagai rival abadi yang turun temurun dari abad ke abad, tentu saja ego untuk menemui Rajasa terlebih dahulu jelas masih tinggi.

"Papi tunggu di sini saja. Biar Hanna yang akan menemui Rajasa sendiri." Ada sesuatu yang harus Hanna pastikan. Dan dia akan mendapatkan jawabannya. Hanna belum pernah sebelumnya berhadapan dengan Rajasa secara serius. Kali ini dia akan melakukannya. Meskipun rumah sakit adalah tempat yang kurang tepat, tapi tak apa. Hanna akan mengambil kesempatan sebaik mungkin.

Namun setinggi apapun ego sang pewaris tahta kerajaan Sastraguna, tentu saja Teguh wajib merobohkannya jika itu menyangkut keselamatan sang putri. Tentu saja dia tidak akan membiarkan Hanna menemui rival abadi mereka sendirian. Teguh tidak akan membiarkan Hanna diancam macam-macam.

Oleh karena itu, dengan cepat dia meraih kursi roda yang sudah disediakan. Hanna sempat menolak karena menurutinya dia masih bisa berjalan kaki. Tapi Teguh tetap keras kepala. Memaksa atau tidak mengizinkan sang putri beranjak ke manapun jika tidak duduk di atas sini.

Akhirnya Hanna menyerah. Membiarkan Papi mendorongnya menuju kamar sebelah dan mengetukkan pintu untuknya. Sampai pintu dengan berangkar besi itu perlahan terbuka, menampilkan sosok ajudan besar tinggi dengan wajah yang super seram dan berpakaian serba hitam. Hanna tidak takut sama sekali, karena ajudan Neneknya pun ada yang berkali-kali lipat lebih serak dibandingkan yang ini.

"Putri saya ingin bertemu dengan Rajasa Sastraguna. Tolong beritahu dia." Teguh berkata dengan penuh wibawa. Ajudan bertubuh hitam kekar itu lalu menutup pintu tanpa mengatakan sepatah kata. "Dasar tidak sopan," umpat Teguh kemudian.

Namun beberapa menit, pintu itu kembali di buka oleh orang yang sama. Kali ini lebih lebar, tanda bahwa Rajasa di dalam sana mengizinkan Hanna untuk masuk.

Hanna langsung bisa melihat isi ruangan yang mewah sekali. Berkali-kali lipat dari ruangannya sendiri meskipun sama-sama VIP. Ruangan ini ditata seperti kamar pribadi. Tidak terlihat seperti sebuah kamar di rumah sakit sama sekali.

Namun Hanna segera sadar, bahwa dia ke mari untuk sesuatu yang lebih penting dari hanya sekedar mengamati kamar. Yaitu seseorang yang kini sedang duduk di tepi ranjang yang sangat besar. Ajudan berwajah menyeramkan tadi menunggu di sisi pintu. Sedangkan Rajasa sendiri, dengan pakaian rumah sakit yang sama dengan yang kini di pakai Hanna, tersenyum lebar melihat siapa yang datang.

"Wah, sungguh kehormatan yang teramat sangat melihat orang-orang Sastraguna sudi mengunjungi saya," sindirnya, dengan tawa menggelegar layaknya raksasa yang menyebalkan.

Hanna menatap datar. Sebelum kemudian dia meminta sang Papi untuk mendorongnya lebih mendekat.

***

Kira-kira, apa yang bakal Hanna omongin sama calon Papa mertua?

Oh iya, perkiraanku cerita ini bakal tamat di bab 75 - 80, ya. Sebentar lagi. Semoga kalian nggak bosen sama bab yang puanjanggg banget ini, huhu.

Vidia,
23 Agustus 2022.

Bukan Romeo & Juliet (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang