Malam Berhujan; [13]

1K 207 29
                                    

***

"Ah, aku sempat lupa!"

Hanna sudah duduk di sofa hitam yang terletak di dalam ruangannya. Wanita itu menatap Alfa yang masuk sambil membawa segelas susu dan setangkup roti di atas nampan.

"Lupa apa?" Alfa mengangkat kedua alisnya ketika mendapat tatapan menyipit dari Hanna.

"Kalau nggak salah ... Tadi Andre bilang istri kamu menunggu di rumah." Hanna mengutarakan pertanyaan yang sempat dilupakannya beberapa saat lalu akibat terlalu terbuai oleh perkataan manis dari pria di depannya ini. "Kamu beneran sudah menikah?"

Setelah meletakkan nampan di atas meja tepat di hadapan Hanna, sebelah tangan Alfa mengibas. "Jangan dipercaya omongannya. Aku nggak merasa pernah menikah sama sekali."

Mata Hanna masih menyipit penuh curiga, namun akhirnya wanita itu mendengus dan mengangkat bahu. "Aku cuma mau memastikan."

Alfa menyodorkan setangkup roti tawa beroles selai kacang itu ke tangan Hanna. Tahu bahwa mungkin wanita itu merasa lapar setelah mendapat guncangan atas pengkhianatan yang dilakukan karyawannya sendiri.

"Lalu setelah ini mau gimana?" tanya Hanna. Pipinya menggembung dengan mulut yang penuh. "Kamu melarang aku menghubungi polisi."

"Untuk apa menghubungi orang-orang nggak berguna seperti mereka." Karena percuma, jika itu Arthadinata, penegak hukumpun menjadi tidak berguna. "Itu cuma buang-buang uang aja."

"Tapi uangku juga akan habis kalau setiap hari kaca restoranku dipecah begitu." Hanna merasa sebal sekali. Sudah dua hari restorannya harus tutup untuk memperbaiki kaca yang pecah, sudah selesai justru malah dihancurkan lagi.

"Aku akan menyuruh teman-temanku berjaga untuk beberapa hari," ujar Alfa memberi solusi.

Yang justru membuat kening Hanna berkerut seketika. "Teman-temanmu?"

"Aku punya dua karyawan di bengkel. Mereka nggak punya tempat tinggal dan selama delapan bulan terakhir tidur di tempatku." Rudi dan Yuda adalah orang-orang yang membutuhkan, mereka akan dengan sangat senang hati ketika Alfa memintainya bantuan.

Di sisi lain, Hanna masih belum bisa sepenuhnya percaya. Namun untuk saat ini memang tidak ada hal lain yang bisa dia lakukan selain menunggu Alfa membuktikan apa yang pria itu katakan.

Hanna lalu menghela napas. Susuan rencana di otaknya buyar entah ke mana. Dirinya yang malang seolah sedang kehabisan solusi. Energinya terserap, tenaganya luruh. Sial sekali, dia tidak menduga kalau bisnis yang minim pesaing tetap bisa diusili begini.

Dan seketika, tangan hangat menyentuh ujung dahinya yang berkerut. Membuat kepala Hanna yang semula berat berangsur ringan.

"Maaf, karena keluargaku sudah membuat kamu begini." Pria itu mendorong bahu Hanna untuk berbaring di atas sofa hitam yang sudah diganjal oleh bantal sofa. "Tidur, besok lagi kita pikirkan."

***

"Sialan sekali."

Catra langsung menghentikan langkah ketika pertama kali masuk ke dalam ruang tamu yang terdengar justru umpatan dari sang nenek.

Benar, wanita yang tahun ini masuk ke usia tujuh puluh itu menoleh. Melihat salah satu cucunya berdiri di sana. "Kamu tau restoran Hanna dihancurkan lagi?!"

Kening Catra berkerut, lalu dia menggeleng. Seharian ini dirinya sibuk bersama Zania sampai lupa waktu dan jarang membuka ponselnya.

Sang nenek menghela napas dalam, tampak muak sekaligus pasrah sebelum menjatuhkan tubuh tuanya di atas sofa seraya mendesah. "Nenek benar-benar nggak tau apa gunanya kamu di dunia ini," katanya sambil menurut keningnya yang sudah memunculkan keriput. "Kerjanya cuma menghambur-hamburkan uang aja. Kondisi sepupumu sendiri aja sampai nggak tau."

Mendengar itu Catra berdecak. Memang, siapapun yang tinggal di rumah ini tidak ada yang tenang hidupnya. Omelan serta lidah tajam sang nenek bisa menumpas siapapun. "Aku juga kerepotan, Nek. Apa Nenek lupa beban apa yang kalian timpakan ke pundakku?" Hanna enggan mengambil alih atau membantunya menghandle biro usaha yang orangtua mereka tinggalkan.

"Toh kamu juga menikmati hasilnya, kan?" Seperti biasa, wanita itu mana pernah mau mengalah. Di sini, dirinyalah yang berkuasa. "Jemput Hanna dan perintahkan dia pulang. Nenek akan tetap menghabisi para cecunguk Arthadinata meskipun dia melarang."

"Nenek tahu Hanna nggak akan suka kalau Nenek ikut campur dengan pekerjaannya."

"Siapa peduli. Jemput dia pulang. Kalau nggak mau, kamu perlu menyeretnya." Mata Larisa berkilat sadis.

Catra menghela napas. Di sini, dia memang selalu harus menjadi penurut. Dirinya masih membutuhkan uang sang nenek, jadi mau tidak mau, dia harus balik badan dan menjemput Hanna.

***

Catra menemukan restoran milik sepupunya yang tutup, namun ramai dengan para tukang dan beberapa polisi. Turun dari Lexus mewahnya, dia berjalan mendekat.

Terlihat beberapa karyawan yang memang sudah dikenalnya kembali sibuk beres-beres meja dan kursi.

"Mas Catra!" Abel memanggil. Gadis itu memegang gagang pel dengan peluh yang sudah membanjir di sekitar pelipisnya. "Restoran dibobol lagi."

Catra mengarahkan pandangan ke sekeliling. Di mana para tukang yang sibuk mengangkut kaca baru. "Hanna di mana?"

Kepala Abel menoleh ke sebuah pintu yang masih tertutup. Pintu ruangan Hanna. "Di dalam sama detektif yang tempo hari ke sini," jawabnya. Raut wajahnya tampak ragu sejenak sebelum melanjutakan. "Sama pacarnya juga."

Kening Catra berkerut dalam. "Pacar?"

Anggukan semangat Abel terlihat kemudian. "Cowok yang malam itu pernah jemput Bu Hanna. Sekarang mereka lagi di dalam."

Ah, Alfa rupanya.

Catra mengangguk sekilas sebelum melangkah menuju ruangan milik sang sepupu. Dia mengetuk pintu tiga kali sampai sahutan dari serak dari seorang lelaki terdengar. Kemudian, Catra menarik kenopnya.

Di dalam, dia bisa melihat tiga orang itu sedang terlibat obrolan yang serius. Hanna yang duduk berdampingan dengan Alfa, juga seorang lelaki paruh baya dengan topi hitam yang belum pernah Catra lihat sebelumnya. Namun dia bisa menebak orang itu adalah detektif yang tadi sempat Abel sebutkan.

Hanna yang menyadari kehadiran Catra mendongak, menatap pria itu penuh tanya. Meskipun dia tahu pasti apa yang sedang dilakukan sepupunya itu di sini, pasti atas perintah nenek mereka. Dia kemudian berdiri, tahu kalau Catra enggan terlibat dalam pembicaraan serius mereka.

"Kenapa?" tanyanya saat sampai di ambang pintu.

Catra melirik sedikit ke balik pundak Hanna, di mana dua orang di dalam sana masih menunggu serta menatap dirinya penasaran. "Nenek minta gue buat jemput elo."

"Gue lagi diskusi."

"Setelah selesai, gue bisa tungguin."

Hanna menghela napas. Berdebatan alot yang baru saja dilakukannya dengan sang detektif memang belum menemukan titik terang. Berulang kali Hanna melontarkan keberatannya atas kinerja para penegak yang lelet dan bertele-tele, namun detektif Richard selalu saja mempunyai alasan.

Dan bukan hanya itu, kini, Hanna juga harus memikirkan bagaimana caranya agar dia berhasil membuat sang nenek percaya dan tidak memutuskan untuk ikut campur.

Harinya terasa sial sekali pagi ini.

***

Siapa yang berharap kapal Alfa-Hanna terus berlayar cung!

Vidia,
12 Januari 2022.

Bukan Romeo & Juliet (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang