Malam Berhujan; [47]

749 158 9
                                    

***

Layaknya dua sahabat yang sudah lama sekali tidak menghabiskan waktu berdua. Kali ini Hanna melarang Zania pulang ke apartemennya. Masih banyak sekali yang harus mereka obrolkan, dan masih banyak pula hal yang harus Hanna ceritakan.

Senyum Hanna tersenyum lebar ketika melihat Zania keluar dari kamar mandi dengan memakai piamanya. Sahabatnya itu sontak menjatuhkan diri sehingga mereka bisa tidur bersebelahan.

"Hubungan lo sama Alfa ... Apa berjalan lancar?" Zania mulai bersuara.

Keduanya sama-sama tidur terlentang dengan wajah memandang langit-langit kamar. Menjawab pertanyaan dari sang sahabat, Hanna menggeleng pelan. "Lo pikir ... Apa yang bisa diharapkan dari hubungan kita?"

"Mungkin lo bisa jadi yang pertama, pernikahan antara Sastraguna dan Arthadinata sama sekali nggak pernah terjadi, lho."

"Itu cuma khayalan di negeri-negeri dongeng, Zan. Lagi pula, dari awal gue hanya memanfaatkan Alfa untuk menjangkau Rajasa, kan?" Hanna menoleh. "Seandainya gue punya perasaan pun, gue nggak akan memilih dia."

"Lo terlalu keras sama perasaan lo sendiri, Na." Zania ikut berbaring miring ditatapnya sang sahabat dengan tatapan menilai. "Lo sadar nggak, sejak putus dari Ruka, lo jadi lebih membatasi perasaan lo ke laki-laki. Saat ini pun gue ngerti kenapa lo bisa dengan mudah melepaskan Alfa, itu karena dari awal lo membatasi perasaan lo sendiri ke dia. Padahal seandainya lo mau membuka diri dan kasih kesempatan ... Gue yakin masih banyak cowok di luar sana yang mampu bikin lo bahagia."

Hanna mengulas senyum tipis. Sejak dulu, meskipun kadang Zania diam saja, tapi dia yang paling memperhatikannya. "Apa hubungan lo sama Arya ... Juga nggak sedang baik-baik aja?"

Zania langsung menghela napas. "Kayaknya hubungan kita juga nggak ada masa depan," jawabnya. "Gue terlalu merasa bersalah sama Catra. Dan dia mungkin nggak akan bisa menentang kalau Rajasa sudah mulai menjodohkan dengan cewek lain."

"Masalah Catra, lo kayaknya nggak perlu terlalu merasa bersalah sampai kehilangan kebahagiaan lo, Zan." Hanna memberitahu. "Karena dia juga sama brengseknya. Punya wanita lain yang dia cintai di belakang lo."

"Apa?" Zania membalak. Sebelum kemudian membuang wajahnya dengan kesal. "Sialan banget Catra. Beberapa hari ini gue nggak habis-habis galau gara-gara ngerasa bersalah sama dia."

Hanna tertawa, dia menggeser tubuhnya mendekat dan memeluk Zania erat-erat. "Kayaknya kita emang butuh liburan, deh. Kita lupain para laki-laki Arthadinata itu dan cari cowok-cowok bule yang lebih hot."

"Hawai? Gue free akhir tahun, beneran mau ke sana?"

Tentu saja Hanna langsung mengangguk setuju. Otaknya sudah diperas beberapa bulan terakhir, dan yang dia buruhkan adalah reward untuk dirinya sendiri. Menghabiskan me time bersama Zania sepertinya menyenangkan.

***

Namun sepertinya, niat untuk melupakan dan move on seketika sirna ketika tepat pukul satu siang, Hanna justru menemukan laki-laki itu di sana.

Dia yang sedang memeriksa pembayaran di meja kasir sontak tertegun lama. Pria itu masih duduk di atas motor hitam yang penuh sekali dengan kenangan mereka. Helm full face dia tarik dari kepalanya sampai membuat rambutnya yang semi gondrong sedikit berantakan. Hanna mengerjap, dia kemudian tersadar ketika Abel yang berada di meja kasir menyenggol lengannya pelan.

Pasti ada yang ingin pria itu bicarakan. Beberapa hari lalu Hanna mendengar dengan jelas bahwa Alfa berkata ingin mengakhiri hubungan mereka. Lalu dengan tiba-tiba, siang ini pria itu justru muncul di depan restorannya.

Hanna sudah akan berjalan menghampiri pria itu. Entah di dalam sudut hatinya yang paling kecil, ada sedikit harapan bahwa Alfa akan mengajaknya kembali. Layaknya sebuah euforia yang selama ini selalu dielu-elukan para pujangga, Hanna pun turut merasakannya. Euforia sebuah perasaan yang membuatnya rela melakukan apapun, sampai titik pengorbanan tak masuk akal asal mereka bisa bersama.

Alfa memang sempat melihatnya. Mereka bertatapan selama satu detik, sebelum kemudian tubuh pria itu yang berbelok menuju sebuah meja sudut yang sudah lebih dahulu ditempati seorang wanita. Di sana, lamunan-lamunan bodoh yang sempat Hanna bayangkan runtuh seketika.

Hanna langsung menyumpahi isi kepalanya sendiri. Melihat bagaimana pria itu dengan santai menarik kursi, berhadapan dengan seorang wanita dengan rambut hitam bergelombang yang tidak bisa Hanna lihat wajahnya karena dia duduk membelakangi itu entah kenapa membuat Hanna kesal setengah mati.

"Itu bukan selingkuhannya kok, Bu." Suara menyebalkan dari Abel terdengar. Sepertinya karyawannya itu sudah memperhatikan Hanna sejak tadi.

Hanna menoleh, wajahnya tertekuk ketika keningnya mengernyit.

"Dari belakang emang kelihatannya cantik banget, tapi saya yakin umurnya udah di atas empat puluhan." Abel melanjutkan. "Lagi pula ... Kalau Mas Alfa niat selingkuh, nggak mungkin ketemuannya di restoran punya Bu Hanna, kan?"

Benar juga, kenapa pula otak Abel lebih bisa lebih pintar dari Hanna, ya? Namun meski pun Abel sudah menenangkannya dengan berkata demikian, tetap saja Hanna masih merasa kesal.

***

"Jadi itu, wanita incaranmu?"

Alfa memasang wajahnya yang datar sambil bersidekap. Benar, wanita cantik nan masih fashionable di usianya yang tahun ini menginjak ke kepala enam itu memang Mamanya. Wanita yang melahirkan Alfa sekitar dua puluh sembilan tahun yang lalu.

Tadi pagi-pagi sekali, sang mama yang sejak dulu jarang Alfa temui karena lebih sering menghabiskan waktunya di luar negeri, tiba-tiba menghubungi. Memintanya untuk bertemu di sebuah restoran yang selama beberapa malam ini sudah tidak pernah lagi Alfa kunjungi.

"Tipe wanita yang keras kepala, Mama paham sekali." Stella mengungkapkan pendapatnya lagi.

"Jadi, apa maksud Mama mengajakku bertemu di sini?" Alfa tidak suka basa-basi. Terlebih terhadap sang Mama yang memang sejak kecil jarang sekali mengurusnya ini.

"Sudah hampir satu tahun kita nggak bertemu, apa kamu nggak merindukan Mamamu sama sekali?" Stella memasang wajah terluka. Meskipun dia yakin sekali jika sang putra tahu bahwa itu hanyalah sandiwara semata. "Lagi pula ... Keluarga kita sedang gempar sekali mengenai hubunganmu dengan Sastraguna, Mama kan, juga penasaran."

"Kami nggak ada hubungan lagi." Alfa memutuskan mengklarifikasi. Dia tidak mau Hanna menjadi bahan keisengan Mama selanjutnya. Keluarganya sangat berbahaya, bukan hanya sang Papa, Mama pun patut dicurigainya. "Dia memutuskan untuk mengakhirinya beberapa hari yang lalu."

Stella memasang senyum di wajahnya yang dingin. Rambut hitam sebahu bergelombangnya dia kibaskan sekilas. "Bagus kalau memang begitu. Kamu tau sekali kan, Nak, berhubungan dengan salah satu dari Sastraguna itu aib besar dalam keluarga kita. Lebih baik menikahi gelandangan yang kamu pungut di pinggir jalan dari pada menikahi mereka. Dan kalau kamu masih keras kepala seperti biasa ... Demi martabat dan harga diri keluarga Rajasa ... Mama akan melakukan segalanya."

Tulang punggung Alfa mendingin seketika. Bulu kuduknya berdiri, dia mengatupkan bibirnya rapat-rapat ketika sang Mama melanjutkan bicara.

"Menyingkirkan perempuan itu mungkin lebih baik, dari pada melihat kamu menjalin hubungan dengannya layaknya mencoreng arang di wajah keluarga kita."

***

Double update 🤗🤗🤗

Semoga bisa mengobati rindu kalian terhadap Alfa-Hanna, yaaa.

Bukan Romeo & Juliet (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang