Malam Berhujan; [51]

771 179 13
                                    

***

Malam itu benar, Alfa mengikuti Catra ke club yang sudah lama sekali tidak mereka kunjungi. Seperti yang dikatakan sahabatnya itu, dia juga butuh sebotol anggur demi menenangkan isi kepalanya yang bercabang.

Roky, si bartender menawarinya wine, namun Alfa butuh yang lebih keras dari pada wine. Akhirnya si Roky memberinya cocktail.

Alfa menghabiska satu gelas, dia menyewa satu sofa di sana karena malas turun untuk berjoget ria. Matanya mengamati sekeliling. Melihat banyaknya orang dengan ekspresi mereka masing-masing yang mondar-mandir. Kebanyakan dari mereka pasti menjadikan tempat ini sebagai tempat hiburan penghilang penat, dan sebagiannya lagi menjadikannya tempat pelarian dari semua masalah yang membumbung. Sama sepertinya.

“Al, liat!” Catra yang baru saja muncul setelah memarkirkan mobilnya datang dengan heboh. Sebelum kemudian mencondongkan layar ponselnya ke arah Alfa. “Gila nih, si Hanna, udah gaet bule aja di sana.”

Kedua mata Alfa mengernyit meneliti. Benar, di sana ada gambar Hanna dengan dress hitam yang mengekspose semua bahunya, yang panjangnya hanya menutupi bokong saja. Wanita itu tidak sendiri, ada Zania dengan gaun merah yang tak kalah seksinya, berpose intim dengan seorang bule yang tersenyum lebar.

Alfa kemudian mengibaskan tangan mengusir Catra. Dia mencoba tidak peduli meskipun isi dadanya panas setengah mati. Dan Alfa yang melihat ekspresi wajahnya yang mendung hanya bisa menepuki bahunya dengan tatapan kasihan.

“Mau turun aja lo?” kata Catra berusaha menghiburnya. “Tenang, entar gue yang traktir.”

Namun Alfa menggeleng. Dia malas kalau harus pulang dengan tubuh yang penuh dengan keringat. Lalu membiarkan Catra yang turun ke dance floor seorang diri.

Alfa memilih kembali menikmati cocktailnya. Menikmati bagaimana tenggorokannya disengat oleh rasa kuat yang memabukkan. Isi kepalanya jelas melayang ke Bali sana. Jelas sekali di menyukai pakaian Hanna yang super seksi tadi, tapi untuk dirinya sendiri. Bukan di depan pria lain apa lagi sampai ditampilkan di media sosial. Hanna yang Alfa kenal tidak seperti itu, dia pemalu dan malas memakai pakai-pakaian terbuka. Atau karena Alfa, wanita berniat merubah gaya berpakaiannya, ya?

Ah, sialan sekali.

Alfa kemudian menuang ke gelas kedua. Sebelum meneguknya cepat dan kembali membiarkan sensasi terbakar menguasai tenggorokannya.

“Kamu sendirian aja?” Suara seseorang mulai menyapa.

Mata Alfa yang mulai sayu melihat sosok Dona di sana. Kakak dari Diana itu duduk dengan santai di sampingnya. Di mana seharusnya itu tidak diperbolehkan karena sofa ini sudah Alfa sewa.

Wanita yang hampir saja menjadi kakak iparnya itu pun memakai pakaian yang tak kalah seksi. Gaun marun dengan punggung terbuka serta menunjukkan belah dadanya dengan jelas. Tidak heran banyak laki-laki yang sejak tadi meliriknya tanpa henti.

Dan hal itu membuat Alfa menghela napas. Jika memang Hanna sedang berada di tempat seperti ini dan berpakaian seksi pula, pasti juga ada banyak sekali laki-laki yang memperhatikannya.

“Hei!” Dona menepuk pundak Alfa. “Aku ngomong sama kamu.”

Alfa mengangguk sekilas sebelum menjawab, “iya, saya sendirian,” katanya lalu meneguk satu kali lagi cocktail dari dalam gelasnya.

“Kamu lagi ada masalah, ya?”

Alfa tidak tahu kenapa mendadak Dona menjadi kepo begini. Yang dia tahu, dulu wanita itu selalu bersikap menyebalkan. Sertiap bertemu dengannya, dia pasti marah-marah dan enggan menatap.

“Sedikit.” Namun demi kesopanan, Alfa tetap menjawab.

“Apa perempuan Sastraguna itu lebih memilih meninggalkan kamu?”

Di titik itu, Alfa menoleh. Membuat kepalanya yang sudah berat berkunang-kunang seketika. “Kenapa Kakak ingin tahu sekali?” Alfa mulai sebal. Dia tidak ingin seseorang yang bahkan tidak dekat dengannya mengungkit-ungkit masalah pribadinya.

Namun jawaban Dona hanya berupa angkatan bahu santai. “Aku cuma nebak aja, kok.” Dia menyunggingkan senyum manis pada bibirnya yang terpoles lipstick peach. “Lagi pula ... Kamu di sini dan minum sendirian, jadi aku menyimpulkan begitu.”

Meskipun kesimpulannya benar, Alfa enggan menjawab. Dia kembali memilih meneguk cocktailnya sekali lagi dan tidak menghiraukan keberadaan Dona sama sekali. Membayangkan Hanna berada di sana di bawah pandangan jelalatan para laki-laki saja sudah membuatnya kesal setengah mati. Jangan lagi Dona menambah-nambahi.

Sebelum beberapa saat kemudian, Alfa yang sudah di ambang batas kesabarannya merasakan bahunya kembali disentuh pelan, yang kali ini lebih halus, dan lebih ... Menggoda?

“Karena sudah di sini ... Apa kita bisa bersenang-senang?”

Bisikan serta rayuan mendayu itu Alfa yakin sekali milik Dona. Seseorang yang tidak pernah sedikitpun menunjukkan rasa sukanya terhadap Alfa. Dirinya bahkan yakin kalau perempuan itu membencinya. Lalu sekarang kenapa bisa berubah seratus delapan puluh derajat?

Namun malam itu, karena Alfa sudah banyak sekali meminum alkohol, benaknya tidak bisa memproses banyak. Dia hanya diam ketika Dona mulai mencondongkan tubuhnya, sengaja menggesekkan belahan dadanya di lengan Alfa yang liat dan dipenuhi tato.

Sumpah mati, sudah sejak dulu Dona tertarik dengan laki-laki ini. Sosok pemberani yang dengan mudah menentang setiap kehendak ayahnya yang tidak masuk akal. Dia sempat kecewa ketika Alfa tidak menentang akan dinikahkan dengan adiknya, namun akhirnya lega saat pria itu justru memilih pergi dan lari pada hari pernikahan.

Bukannya Dona ingin tertawa di atas penderitaan sang adik, hanya saja dia merasa sedikit tidak rela jika pria yang disukainya akan menjadi suami dari adiknya sendiri.

Dona merasa senang ketika Alfa tidak menepisnya sama sekali. Dia kemudian memberanikan diri, meraih bibir pria itu dan memberinya ciuman terbaik yang dirinya bisa.

Manis sekali. Meskipun pria itu baru saja mengkonsumsi cocktail, tapi menurut Dona, rasanya tetap manis sekali. Dona semakin bahagia ketika Alfa membiarkan bibirnya dia kulum. Dia lumat bagai permen karet dan candu yang memabukkan.

Merasa sudah diberi lampu hijau, Dona semakin memberanikan diri. Dia bergerak cepat naik ke pangkuan pria itu demi bisa mengeksplorasi bibirnya dengan leluasa.

Dalam hati Dona berteriak girang ketika merasakan kejantanan pria itu yang berada di bawah inti tubuhnya sendiri mulai bereaksi. Membuat Dona secara naluriah mulai menggoyangkan pinggulnya.

Namun kesenangan Dona tidak bertahan lama, karena Alfa menyingkirkan tubuhnya dengan segera sebelum bangkit dan meraih jaketnya.

Dona yang melihat itu memandang bingung. Alfa jelas juga tergoda, meskipun pria itu sama sekali tidak membalas ciumannya, tapi sesuatu di antara pangkal pahanya menjelaskan semua. Lalu ... Kenapa pria itu masih bisa menolaknya, dan memilih pergi padahal di hadapannya Dona sudah menyerahkan diri?

Sebagai seorang wanita yang merasa tertolak Dona jelas sedih setengah mati. Memang, apa yang kurang dari dirinya? Apa kelebihan dari Sastraguna itu yang tidak Dona punya? Juga ... Kenapa Alfa tega sekali menolaknya yang sudah merendahkan diri begini?

***

Waduuuh, gimana, nih?

Yang pengin upnya cepet ayo dong, tunjukkan diri kalian dengan komen di bawah. Biar tambah semangat gitu akunya 😂

Vidia,
29 April 2022.

Bukan Romeo & Juliet (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang