Malam Berhujan; [37]

928 175 16
                                    

Hanna.

***

Hari ini aku ingin bersantai sebentar. Melepas penat setelah selama beberapa minggu tidak keluar dari dalam restoran. Tapi karena kepalaku masih cenat-cenut dan bibirku terasa bengkak sekali, aku meminta Alfa saja yang menginap di restoranku nanti malam. Aku kangen sama kasur empukku di rumah, tidur di sini selama satu malam sepertinya tidak masalah.

Aku selesai mengompres ujung bibirku dengan es batu supaya besok pagi warnanya tidak lagi seungu sekarang. Penampilanku akan berantakan kalau warna lebam ini tidak kunjung hilang.

Diana. Sambil menatap langit-langit aku menggumamkan nama itu. Si perempuan malang yang menjadi pion Rajasa untuk mengambil kembali putranya dariku.

Benar, bukan hanya untuk Arthadinata, di dalam keluargaku pun, menjalin hubungan dengan orang yang mempunyai nama belakang Arthadinatapun sama haramnya. Aku mengerti kenapa pria tua seperti Rajasa kehilangan akal sehatnya saat melihat putra bungsunya justru jatuh cinta padaku.

Haha, rasakan. Ini adalah pembalasan dendam yang setimpal. Salah siapa dia berani macam-macam terhadap restoranku. Kalau aku tidak bisa membalasnya dengan kebangkrutan yang sama, setidaknya aku sudah menggenggam putranya. Itu yang akan membuat Rajasa lebih kalang kabut dari pada hanya satu perusahaannya yang bangkrut.

Aku masih asyik scroll-scroll sosial mediaku ketika pintu kamarku diketuk pelan. Aku beranjak, menemukan nenek yang berdidi di sana setelah aku membuka pintu.

“Rasanya aneh sekali melihat kamu santai-santai di rumah setelah berminggu-minggu nggak kelihatan batang hidungnya.” Kalimat itu menyapa seiring dengan nenek yang melangkah masuk ke dalam kamarku.

Aku memutar bola mata malas dan mengikutinya.

“Jadi kapan hubungan pura-puramu dengan keturunan Sastraguna itu akan berhenti?” Lagi, dengan santainya nenek menduduki tepi ranjangku sambil bersedekap. “Nenek sudah muak sekali. Kamu tau, kan, lebih baik menjalin hubungan dengan gembel yang kamu pungut dari kolong jembatan dari pada mereka?”

“Hanna tau.” Aku buru-buru menjawab. “Tapi waktunya nggak sekarang. Rajasa sudah mulai ketar-ketir lihat Hanna menggenggam putra bungsunya. Itu kesempatan yang bagus, kan?”

Nenek menghela napas tapi tidak menanggapi apapun lagi. Aku tahu dia setuju dengan apa yang aku lakukan.

“Sepupumu itu,” lanjutnya. “Si Catra. Dia juga jarang pulang. Padahal nggak ikut Papimu ke luar kota.”

“Malam ini dia ada di restoran Hanna.” Aku yang memintanya. Tidak mungkin aku membiarkan Alfa di sana bersama Shana berdua. Dan untungnya, Catra yang terbiasa ogah disuruh-suruh jika tidak menyangkut Zania, kini langsung menurut tanpa babibu lagi.

Nenek kemudian berdiri, matanya yang tajam menatapku penuh intimidasi. “Pokoknya, setelah urusanmu terhadap Rajasa itu selesai, segera tinggalkan dia. Ingat, dalam sejarah keluarga kita, haram hukumnya menjalin perasaan dengan keturunan Arthadinata,” katanya lalu keluar.

Aku diam di tempatku. Perasaanku gamam. Jika harus meninggalkan, aku tidak tau, mampukah aku melakukannya?

***

Pagi-pagi pukul enam aku sudah bersiap. Untungnya lebam di sudut bibirku sudah mulai memudar dan tertutup sempurna dengan foundation. Sepertinya restoran masih seheboh kemarin akibat labrakan Diana yang tidak tahu tempat. Sialan sekali, akan ada banyak sekali pelanggan yang tidak lagi datang setelah ini.

Masuk ke dalam Alphard kesayanganku, mobil mulai melaju santai membelah jalan raya. Sampai empat puluh menit kemudian sampai pada halaman restoran kecilku yang ajaibnya, masih ada beberapa pelangganku yang sudah datang.

Bibirku mengukir senyum ketika masuk dan menjawab beberapa sapaan dari karyawanku yang sudah mulai bekerja.

Aku membuka pintu ruanganku, tapi tidak lagi menemukan Alfa di sana. Laki-laki itu memang selalu pulang subuh-subuh sekali. Meninggalkan sofa dengan bantal dan selimut yang terlipat rapi. Konsistensinya untuk bengkel yang selalu dibuka pagi memang tidak melunturkan kemalasan Alfa untuk tidur dan bangun lebih siang. Seperti aku untuk L’Vegen. Rasanya rugi sekali mengabaikan usaha yang sudah susah payah aku rintis hanya untuk kemalasan bangun pagi semata.

Namun, rasa senangku seketika menyurut ketika menemukan pesan-pesan dengan bintang satu atas pengguna tanpa nama yang masih terus masuk dan berentet mengotori nama restoranku. Rajasa benar-benar tidak ada kapoknya. Dia sudah gagal dengan rencananya mengambil Alfa menggunakan Diana, jadi aku sedikit mewajarkan saat bintang satu itu terus datang mewakili perasaan kesal dari Rajasa.

Saat aku mulai tenggelam dalam laba pengeluaran dan pemasukan, pintu dibuka tanpa ketukan. Mataku yang terbingkai kacamata baca melirik, menemukan sepupuku, Catra, masuk dengan langkah serta tubuhnya yang kuyu.

“Gue kayaknya nggak bisa melanjutkan hubungan gue dengan Zania,” katanya setelah berhasil duduk di kursi tepat di hadapanku.

Alisku sontak terangkat. Melihat wajah sepupuku yang tertekuk tidak seperti biasanya membuatku sedikit iba. “Karena perasaan lo udah pindah ke Shana?”

Hanya orang buta yang tidak bisa melihat perasaan mendalam dari mata Catra ketika menatap karyawan baruku itu. Ya ... Sebenarnya bagus juga sih kalau Catra lebih memilih mengakhiri hubungannya dengan Zania. Sahabatku itu sudah lebih dulu mengkhianatinya, dan tidak tanggung-tanggung, Zania berselingkuh dengan Arthadinata. Memang lebih baik Catra melepaskannya dengan segera.

“Nggak tau,” Catra menjawab sembari menggeleng kacau. “Sejak dulu, gue selalu ngerasa Zania nggak pernah benar-benar menginginkan gue.”

Aku mengangguk. Tanpa Catra jelaskan pun, aku jelas tahu kalau Zania sama sekali tidak memiliki perasaan terhadap sepupuku ini. Malang sekali nasibnya, tapi kalau dia sudah move on ke Shana, mungkin perasaan Catra tidak akan sesakit yang sebelumnya dia bayangkan.

“Menurut lo, kalau gue mutusin pertunangan gue sekarang ... Apa Nenek nggak akan marah?”

Catra berbeda sekali dengan aku. Kalau aku biasanya tidak peduli Nenek kami akan marah atau tidak terhadap apa yang akan aku lakukan, dia justru sebaliknya. Sebagai cucu kesayangan yang dari kecil selalu memenuhi permintaan Nenek tentu Catra takut sekali membuat Nenek kami kecewa.

“Ya nggak lah, paling dia cuma cari jodoh lain buat lo,” kataku. Meskipun semalam Nenek bilang kalau lebih baik menikah dengan gembel dari kolong jembatan dari pada keturunan Arthadinata. Aku rasa beliau tidak benar-benar bermaksud mengatakannya. Lihat saja, hubungan Catra dengan Shana yang notabene sebagai perempuan sederhana yang menjadi karyawanku pasti juga akan Nenek tentang setengah mati.

Mendengar perkataanku yang tanpa solusi membuat Catra mendesah sambil mengacak rambutnya yang memang sudah awut-awutan sejak dia masuk tadi. Aku menatapnya iba, ya mau bagaimana lagi? Permasalahan yang aku punya pun sudah luar biasa menumpuknya. Otakku pun masih panas dan siap berasap saat memikirkan Rajasa, bagaimana pula aku bisa memberi solusi terbaik untuk Catra sedangkan masalahku sendiri saja belum terpecahkan benang kusutnya?

“Untuk masalah Nenek lo pikirin nanti deh,” tapi mau bagaimana pun dia tetap sepupuku. Aku tidak tega. “Sekarang mending lo cari cara buat ngomong sama Zania.” Meskipun aku yakin setengah mati Zania pasti akan langsung mengangguk setuju untuk segera mengakhiri hubungan mereka. “Urusan Nenek entar gue bantu ngomong.”

Catra akhirnya mengangguk setuju. “Gue ke apartemen Zania dulu kalau gitu.”

Dan aku tidak menyangka, setelah kepergian Catra, esok harinya adalah hari terburuk yang pernah mampir dalam hidupku.

***

Vidia,
14 Februari 2022.

Bukan Romeo & Juliet (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang