Chapter 27

915 72 0
                                    

Naira menghempaskan badannya ke kasur king size miliknya. Dia masih teringat dengan pertanyaan Gea. Apa iya dia mencintai Farzan? Naira menggelengkan kepalanya.

"Gak mungkin, ini terlalu cepat," ucapnya.

Naira menghembuskan nafas, dia menjadi bingung jika berada di posisi ini. Hari sudah mulai gelap, Naira bangun dari tidurnya. Dia memilih untuk mandi.

▪︎▪︎▪︎

Pagi hari telah tiba, Naira mulai terbangun dari tidurnya. Hari ini Farzan telah mengizinkan dirinya untuk kuliah lagi. Setelah beberapa hari dia hanya dirumah, tidak melakukan apa pun.

Dan akhirnya, sekarang dia terbebas dari sangkar emas ini. Setelah siap, Naira turun ke bawah. Dia berniat untuk membuatkan sarapan.

Sama seperti Naira, Farzan juga sudah siap dengan jas Dokternya. Senyuman terbit di wajah tampannya saat melihat istri kecilnya yang sedang memasak.

Tiba tiba ide jahil muncul di pikirannya. Farzan tersenyum jahil, dengan langkah pelan dia mulai menghampiri Naira. Sebisa mungkin dia tidak menimbulkan suara sedikit pun.

Sambil berhitung di dalam hati, dia mulai mendekati Naira.

1

2

3

"DORR!!"

Prang.

"Awss."

Farzan dibuat panik saat melihat darah yang mengalir di jari Naira. Memang pada saat Farzan ingin mengejutkan Naira, Naira sedang memotong bawang.

Dan hal hasil pisau tersebut melukai jari telunjuk Naira. Dan tanpa di sengaja Naira menjatuhkan pisau tersebut.

Farzan mengambil jari telunjuk Naira, dia mulai menghisab darah yang terus menerus keluar.

Naira meringis saat merasakan perih yang menjalar di jari telunjuknya.

"Tunggu disini," ucap Farzan lalu mulai berlari mengambil kotak P3K.

Naira menatap punggung Farzan yang menghilang di telan pintu. "Ck, gini amat punya suami. Aws, mana sakit lagi." kesal Naira.

Saat mendapatkan kotak P3K, Farzan langsung menghampiri Naira yang sudah duduk manis di kursi coklat.

Farzan meletakkan kotak P3K di atas meja makan, setelah itu dia mengambil tangan Naira. Dengan hati-hati Farzan mulai mengobati luka Naira.

Sesekali dia meniupnya saat Naira meringis perih. Naira menatap lekat wajah Farzan dari dekat, hatinya menghangat saat Farzan mengobati lukanya dengan lembut.

Farzan mulai memberikan plester bergambar bunga tersebut. Setelah selesai dia merapikan kembali kotak P3K-nya.

Naira menatap lukanya yang sudah tertutup oleh plester.

"Apa masih perih?" Naira hanya menggelengkan kepalanya.

Farzan mengangguk singkat. Setelah itu dia mengacak lembut rambut Naira sembari berkata, "Lain kali hati-hati." Lalu dia beranjak dari duduknya meninggalkan Naira yang tercengang dengan ucapannya.

Padahal ini semua salah Farzan, seandainya dia tidak mengejutkan dirinya mungkin ini tidak akan terjadi. "Ck, seandainya berkata kasar kepada suami tidak dosa. Mungkin sudah gue maki."

"Faizah, aku masih bisa mendengarnya."

▪︎▪︎▪︎

Naira menghembuskan nafasnya, dia menatap bangunan yang menjulang tinggi tersebut. Sudah satu minggu dia tidak menginjakkan kakinya di tempat ini.

"Kenapa?" pertanyaan itu Farzan lontarkan saat melihat Naira yang hanya terdiam.

Naira menolehkan kepalanya. "Gak papa kok." tangannya bergerak melepaskan seatbelt tersebut.

Tidak lupa dia mencium punggung tangan Farzan sebelum keluar dari mobil. "Jangan lupa di makan bekalnya, aku berangkat dulu assalamu'alaikum."

Saat hendak membuka pintu mobil, Farzan mencekal tangannya. Naira menaikkan sebelah alisnya seolah bertanya 'Ada apa?'.

Farzan mendekatkan wajahnya. Naira yang melihat hal itu hanya bisa menahan nafasnya.

Cup.

"Aku melupakan ini," ucapnya. Setelah itu Farzan menjauhkan wajahnya.

Naira hanya tersenyum simpul, dengan cepat dia membuka pintu mobil. Dia yakini sekarang pipinya sudah seperti kepiting rebus.

Farzan terkekeh pelan, menurutnya Naira sangat menggemaskan saat blushing. Farzan melajukan mobilnya meninggalkan area kampus tersebut.

Sepanjang jalan, Naira mengumpat di dalam hati. Dia bahkan tidak sadar kalau sekarang banyak pasang mata yang menatapnya dengan takut.

"OMG NAIRA!!" teriakan melengking itu membuat Naira menghentikan langkahnya.

Grep!

Naira hampir saja terjungkal ke belakang jika dia tidak menahan badannya. Pelukan erat itu berasal dari sahabat lucnutnya, siapa lagi kalau bukan Gea.

Pelukan tersebut terlepas, Alifa yang berada di belakang Gea maju ke depan berniat memeluk Naira.

"Akhirnya Om Dokter itu mengizinkan lo kuliah lagi," ujar Alifa saat sudah melepas pelukan tersebut.

Naira tersenyum. "Iya, gue udah bosan di rumah terus." Bayangkan saja dia harus di dalam rumah selama satu minggu.

"Oh iya, Rian kemana? Kok dia gak ada," tanya Naira.

"Dia ikut orang tuanya ke Jerman," jawab Gea. Naira menganggukkan kepalanya.

"Iya sudah ayo ke kelas, sekarang jadwal masuknya di majuin karena Dosen ada kepentingan." Gea dan Naira menganggukkan kepalanya. Mereka pun berjalan beriringan menuju kelas.

Naira merasa risih dengan tatapan dari para maha siswa/siswi. Mereka menatap dirinya takut, padahal dirinya masih baru di sini. Dan sudah pasti dia belum melakukan apa pun.

"Kenapa mereka takut sama gue?" tanya Naira.

Gea dan Alifa menghentikan langkahnya, mereka berdua saling tatap. Tatapan tersebut seolah memiliki arti 'jangan'.

Naira memperhatikan kedua sahabatnya. "Kok malah diam?" tanya Naira.

Gea memutuskan tatapannya. "Udah gak usah di pikirin, ayo kita ke kelas aja udah mau masuk nih." Gea menarik tangan Naira dan Alifa.

Naira mencoba untuk tidak memikirkan mereka, karena sebenarnya dia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.

•••♡•••

TBC!

VOTE DAN KOMEN.

Sorry kalau banyak typo, nanti aku perbaiki saat cerita ini sudah end.

Thank you buat votenya^^

Next?







𝟎𝟐:𝟎𝟎 |𝐀𝐤𝐮 𝐌𝐞𝐧𝐢𝐤𝐚𝐡?!|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang