Rushia melangkah riang di depanmu. Kau tersenyum kaku. Berusaha agar bisa terlihat seceria Rushia. Sulit. Tatapan sinis, benci, dan jijik orang-orang sekitar tak bisa kau abaikan. Kau mengepalkan tangan dalam saku celana, menggenggam erat kotak kecil peninggalan ibumu. Setelah ini, Rushia. Aku janji akan membawamu pada kehidupan yang lebih baik, tekadmu dalam hati.
Kau dan Rushia keluar dari sebuah toko. "Sini, biar aku yang bawa," katamu mengambil alih kantong daging dari tangan mungil Rushia. "Seharusnya kau tunggu saja di rumah, biar aku yang belikan bahan-bahan yang kau perlukan."
Bukan apa-apa, kau berkata seperti itu hanya karena ingin memastikan keselamatan Rushia dari pemilik toko yang galak. Bayangkan, Rushia hanya menyentuh daging-daging yang dipajang untuk mengecek kualitasnya, tapi si pemilik toko tadi langsung naik pitam seraya berteriak, "Jauhkan tangan terkutukmu dari daganganku, nanti cepat busuk, dasar penyihir!"
Tentu saja kau tak menerimanya, langsung membalas, "Dagingmu memang sudah busuk sejak awal, pak tua! Dan Rushia bukan penyihir!"
Si Pemilik toko menunjukmu. "Kau juga, pemuda! Berhubungan dengannya itu artinya sama saja dengan menyembah iblis!"
Kau tak suka berkelahi. Namun, ucapan Si Pemilik Toko yang sudah keterlaluan memaksamu melancarkan tinju ke wajahnya.
"Kami akan segera pergi!" Rushia tiba-tiba berdiri di depanmu. Tangannya terentang, seolah mencoba melindungi Si Pemilik Toko dari pukulanmu. "Berapa harganya?" Meletakkan beberapa potong daging ke meja kasir.
Pemilik Toko menyebutkan nominal yang diperlukan. 10 kali lipat harga normal. Setelah membayar, Rushia berbalik. Tersenyum manis padamu. Amarah di hatimu mencair. Kenapa Rushia? Kenapa kau masih bersikap baik pada mereka? batinmu, saat tangamu digandeng Rushia keluar dari toko.
"Kenapa kau tak biarkan aku memukul Pak Tua sialan itu?" Kau berjalan di samping Rushia, berusaha tetap terlihat enteng saat membawa seperempat pikul kantong daging. Berat. Bagaimana Rushia bisa membawa benda seberat ini dengan satu tangan?
"Memangnya kau cukup kuat untuk memukulnya?" tanya Rushia balik, lebih ke arah retoris. Kau dan dia sudah tau jawabannya. "Membawa kumpulan lemak itu saja, kau sudah ngos-ngosan. Sini, aku saja yang bawakan."
Kau menolak usul itu dengan menjauhkan kantong daging dari Rushia yang berusaha merebutnya. "Aku saja. Nanti kau lelah. Lebih baik tunjukan jalan. Kemana kita selanjutnya?"
Rushia menggumam, melihat daftar belanjaannya pada pelepah daun yang ditulis. "Aku perlu ekor kuda albino, gigi geraham tikus ladang, dan sisik naga cacingan."
"Kurasa tidak ada satupun toko yang menjual benda-benda itu."
Rushia terkekeh. "Tentu saja tidak ada. Jika kau mengartikannya secara literal. Ini kode rahasia. Untuk bahan rahasia."
"Bahan rahasia? Apa itu?"
Rushia berjingkit dan mendekatkan wajahnya dengan wajahmu. Telunjuknya diletakan di depan mulut. "R-A-H-A-S-I-A."
Kau merasakan wajahmu memanas. Detak jantungmu makin keras. Kau ingin memalingkan muka, menghindari tatapan Rushia. Tapi kau menahannya. Mata itu terlalu menggoda. "Kau benar. Namanya saja bahan rahasia. Harus dirahasiakan."
"Hmm? Kenapa wajahmu memerah? Kau penasaran, bukan?"
"Tidak." Kau berdehem. "Bisa kita lanjut belanjanya? Aku mulai merasa tidak nyaman dengan tatapan mereka." Kau menuding orang-orang yang menatap kalian dengan tatapan... Entahlah, takut, muak, ngeri, waspada, seolah menjadi satu.
Rushia tergelak dan kalian pun lanjut membeli bahan yang dicari. Kau mengikuti Rushia. Kemana pun dia pergi, kemana pun dia melangkah, kemana pun dia membawamu, kau akan terus bersamanya. Melindunginya. Meski harus melawan dunia. Kau tak takut. Kau tak sedikit pun gentar.
Matahari telah sampai di ufuk timur saat kalian sedang berada di jembatan menuju kediaman Rushia yang terletak di sudut desa. Belanjaan sudah di simpan di rumah Rushia. Kalian di sini, hanya untuk bersantai, menikmati waktu berdua.
"Rushia," katamu, masih menatap matahari yang perlahan tenggelam dari balik bukit.
"Ya?"
Kau berbalik, mengeluarkan sebuah kotak kecil pemberian ibumu dari saku, membukanya. Sebuah cincin. Kau berlutut di hadapan Rushia, menatap mata gadis itu lekat. "Menikahlah denganku."
Rushia nampak terkejut dan kebingungan. Mulutnya setengah terbuka, seolah ingin mengucapkan sesuatu.
Kau meraih tangan Rushia. "Aku tau ini begitu tiba-tiba. Kita menjadi kekasih belum dua kali masa panen gandum, tapi, aku sudah yakin dengan pilihanku. Yaitu kau. Kau orangnya, Rushia. Aku ingin hidup bersamamu. Membangun keluarga kecil bersamamu. Di keliliingi anak cucu, hingga ajal menjemput."
Rushia tiba-tiba meneteskan air mata.
Kau langsung panik. "Ru-Rushia, kenapa kau menangis?! Kamu tidak mau menikah denganku?"
Rushia buru-buru menghapus genangan di matanya dengan tangan yang bebas dari genggamanmu. "Aku tidak menangis! Mataku kemasukan debu. Aku hanya bahagia. Sangat bahagia sekarang." Lalu, tersenyum padamu. "Ya, aku mau!"
Kau pun menyematkan cincin itu ke jari manis kiri Rushia. Tanda ikatan janji kalian berdua.
Kau kira semua akan berjalan lancar sampai persiapanmu untuk pergi dari desa dan tinggal bersama Rushia di suatu negri yang jauh selesai. Entah bagaimana pihak gereja membaca gerak-gerikmu. Niatmu untuk pergi dan menikahi Rushia secara sah di luar desa pun ditentang. Alasanya sama. Dan kau sudah bosan mendengarnya. Kau bersikeras mengatakan Rushia bukan penyihir, memberi berbagai bukti ilmiah bahwa segala fonomena di alam dapat di jelaskan dengan logika. Tak ada hubungannya dengan penyihir. Tak ada hubungannya dengan Rushia. Percuma, kau malah dituduh bersekongkol dengan Rushia dengan mendatangnya sebuah wabah penyakit yang mematikan ke desa, sedangkan kau dan Rushia akan pergi menyelamatkan diri. Sungguh tuduhan tak berdasar.
Kau dan Rushia pun diseret ke pengadilan penyihir. Apa yang harus dilakukan untuk menghentikan wabah ini? Vonis hukuman mati, dijatuhkan pada kau dan Rushia.
Kayu bakar di kumpulkan di tanah lapang. Kau dan Rushia terikat di tiang kayu. Orang-orang bergerumul. Tidak ada satupun dari mereka yang mencoba menyelamatkan. Semua diam, menyaksikan penuh kengerian. Salah satu pendeta dari gereja memulai pidato. Obor menyala di tangan kanannya.
Kau menoleh pada Rushia. Tatapan kalian bertemu. Untuk terakhir kali. Ketakutan nampak jelas di matanya. Kau ingin memeluknya, mengakatan bahwa kau ada di sini dan akan selalu bersamanya. Sampai akhir hayat. Namun tidak bisa. Karena api sudah disulut. Menjalar, membakar semuanya.
-bersambung-
a/n
artwork: www.pixiv.net/en/artworks/87953466
12 Februari 2022

KAMU SEDANG MEMBACA
HALU - hololive fanfictions [Complete]
FanfictionKumpulan fanfic Hololive dari berbagai genre dan gaya penulisan hanya untukmu. *** Disclaimer: Hololive adalah agensi VTuber (Virtual Youtuber) yang kini telah memiliki empat cabang yaitu hololive JP, hololive ID, hololive EN, hololive DEV_IS. Semua...