Perpisahan?

54 11 1
                                    

”Zaina kamu apa-apaan sih, Nak?” Saida langsung menarik Zaina menjauh dari Dani. Cowok itu diam memegangi pipi kanannya.

”Dia teman Aby, kan?!” Zaina menunjuk wajah Dani, Jihan memandang penuh tanya pada kedua remaja itu.

”Za, yuk pulang? Jangan marah-marah disini. Ini rumah sakit.” Zahdan merangkul Zaina yang sudah menangis. Cowok itu kemudian menatap Dani.

”Bang,” lirihan Zaina terdengar sangat pilu di telinga Zahdan. Cowok itu mengerjab kemudian menghela.

”Ayo pulang,” ajak Zahdan. Zaina menatap nya. Detik berikutnya ia berlari keluar, Saida dan Ariz yang melihat putrinya itu hanya mampu menunduk.

”Zaina!” Dani berlari menyusul Zaina yang telah menjauh, Zahdan dan Hanifa pun langsung menyusul mereka.

Sementara Ariz menghembuskan napas pelan dan berjalan mendekati Jihan.

”Saya minta maaf, tapi bukan karena percaya bahwa putri saya melakukan hal yang salah. Saya kenal Zaina, saya Ayahnya, dia tidak akan mungkin berbuat hal konyol seperti itu.” Ariz menunduk, matanya berkaca-kaca. Siapa Ayah yang suka Putrinya di tuduh penjahat? Tidak ada.

”Saya tahu, Bu Jihan pasti khawatir akan Abyaz. Tapi, jangan menuduh putri saya yang bukan-bukan, coba Ibu tanya kan dulu sama Abyaz dan teman nya yang sok tahu itu atau,  Ibu bisa cari tahu kebenaran dulu. Maaf untuk ketidaknyamananya, saya permisi,” lanjut Ariz dan berbalik menatap Saida.

Air mata Saida jatuh begitu saja, Ariz tersenyum dan mendekat pada sang Istri, ia merangkulnya dan mengajak Saida pergi dari sana.

Sementara Jihan masib diam untuk beberapa saat sampai ia mengerjab dan menghembuskan napas pelan kemudian masuk kembali ke kamar inap sang putra.

”Ma?” sahut Abyaz pelan, cowok itu masih dalam posisi tertidur di temani Aila di sampingnya.

Jihan menghapus sisa air mata di pipinya kemudian mendekati Abyaz.”Iya, Nak?”

”Za-ina ma-na?” ucapan cowok itu masih sedikit terbata, badannya amat sakit saat ini. Berbagai alat penopang kehidupan terpasang rapi di seluruh tubuhnya, ia termasuk beruntung karena masih mampu melawan maut.

Mata Jihan terpejam, wajahnya berubah seketika.”Kenapa kamu malah tanya orang yang udah buat kamu kayak gini, By?”

”Ma, kenapa Mama masih nyalahin Zaina?” protes Aila. Gadis itu sungguh tak percaya jika Jihan sampai seperti ini tanpa mencari tahu kebenaran terlebih dahulu.

Jihan beralih menatap Aila.”Dani sendiri, kan yang bilang? Mama lebih percaya dia karena dia itu teman Abyaz, buat apa dia bohong?”

Abyaz mematung, apa yang baru saja dia dengar? Sepertinya ada begitu banyak hal yang dia lewatkan, bahkan perkataan sang Mama sungguh sangat membuatnya ingin sembuh detik ini juga.

Terdengar helaan berat dari Aila. Ia melirik Abyaz sebentar an kembali pada Jihan.

”Yaudah terserah Mama aja. Tapi, Aila gak bakal salahin Zaina dulu sebelum tahu yang sebenarnya!” tandas Aila dan melenggang pergi dari sana. Jihan menatap kepergian Aila.

”Ma?” sahutan Abyaz membuat fokus Jihan seketika teralih padanya.

”Iya, Nak?”

”Tolong, panggilin Zaina.”

”By! Udah lupain Zaina sekarang! Ini adalah akhir dari kisah kalian! Mama gak mau kita berhubungan lagi dengan dia atau keluarganya!”

”Ma—”

”Abyaz!” jeda sekian detik, Jihan mengambil napas dalam. Sungguh, ini juga berat baginya, berat harus mengatakan hal yang akan menyakiti hati putranya, tapi dia sebagai seorang Ibu pun tak mau, sang anak mengalami hal lebih buruk lagi.

Mata Jihan terpejam untuk beberapa saat, sampai ia membuka kembali matanya dan menatap Abyaz.

”Lupain Zaina mulai detik ini! Mama dan keluarga nya juga udah buat ke puasa kalau, PERTUNANGAN KALIAN BATAL DAN GAK AKAN PERNAH TERJADI!!”

Deg!

***

”Zaina!”

Dani terus berlari mengejar Zaina. Namun, gadis itu lebih memilih menulikan telinganya dan masuk ke dalam angkutan umum yang kebetulan berhenti.

Angkutan umum itu langsung tancap gas begitu saja hingga membuat Dani tak bisa menggapai Zaina. Cowok itu terdiam memperhatikan laju mobil yang perlahan semakin hilang dari pandangan.

”Dani?” sahut seseorang dari belakangnya membuat Dani reflex menoleh.

Cowok itu menatap Zahdan dan Hanifa secara bergantian.

”Apa yang lo sembunyiin dari kita? Kenapa lo bisa tahu banyak tentang kejadian ini?”

Dani tak menjawab, ia menghembuskan napas prustasi kemudian merunduk. Ia pun bingung harus menjelaskan apa, ia takut, banyak ketakutan dalam dirinya sekarang, tapi seakan mengatakan kebenaran begitu berat untuk di lakukan.

”Gue...”

***

Zaina masuk ke dalam rumah dan naik ke lantai atas. Setelah sampai di depan pintu kamarnya, ia berhenti dan memejamkan mata sejenak.

Beban kehidupannya sangat berat sekarang. Beberapa saat ia menggeleng dan masuk ke dalam kamarnya kemudian menutup pintu secara kasar.

Brak!
Brak!

Zaina menghantamkan punggung nya ke pintu kamar secara berulang hingga menimbulkan bunyi, biarkan semua orang menganggapnya gila atau apa. Semua terasa berat dan hanya ini yang mampu ia lakukan guna menyalurkan emosi.

”Gue bisa ikhlas, Kak! Tapi, yang gue gak ikhlas karena harus pisah dari lo dengan cara kayak gini! Ini nyakitin!” teriak Zaina. Namun, suaranya pelan karena tertahan di tenggorokan.

Beberapa saat menyakiti dirinya sendiri, ia terduduk, dan menenggelamkan wajahnya di antara lutut.

”Gue bahkan belum sempat liat muka lo! Gue belum sempat minta maaf! Tapi, gue di usir gitu aja?! Kenapa dunia ini kejam banget!”

”Dan kenapa? Kenapa Ibu lo lebih percaya Danii! Dia itu pembohong!!” racau Zaina seorang diri.

Gadis itu seseguhan. Ya, untuk yang kesekian kalinya, perasaannya, keinginannya, harapannya. Terasa selalu di permainkan oleh Takdir.

Dia sudah lelah, tapi kenapa? Semua beban seakan tidak mau mengalah sedikit saja agar ia bisa tersenyum lagi.





















































Assalamualaikum, hiks gaje ya? Udah dekat ending malah kehabisan bahan huhuhu dasar aku :(

Intinya semoga tetap suka ya, and see you next partt 💙

Jalan Cinta yang Tertunda (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang