Sinar mentari pagi menyeruak dari jendela menerpa wajah Dimas, hingga membangunkannya dari tidur. Seketika dia duduk dan menggeliat, dengan kedua mata yang setengah terbuka. Ia lalu memegang kepalanya yang dirasa berat, seolah sedang tertimpa beban berat. Rupanya kejanggalan kemarin sore terus menggerogoti pikirannya, membuat dirinya tidak bisa tidur dengan nyenyak.
Dengan malas Dimas beranjak dari ranjang. Rasa kantuk yang berat membuat dirinya lemas, seakan tidak berdaya. Yang dia ingat semalam hanya tertidur hanya tiga jam saja. Namun karena tidak ingin membuang waktu dengan bermalas-malasan, ia berjalan meninggalkan kamar, meskipun lupa untuk mengunci pintunya kembali.
Bak orang yang sedang mabuk, Dimas berjalan melewati satu demi satu kamar dengan langkah gontai. Kepalanya cenat-cenut seperti dipukul di sana-sini. Rasa kantuk rupanya masih menghinggapi pemuda itu.
Dimas akhirnya menuruni anak tangga untuk menuju lantai dasar. Namun, kakinya tidak sengaja terpleset sehingga membuatnya terjatuh dengan posisi terduduk. Rasa sakit yang menjalar ke sekujur tubuhnya membuat rasa kantuk hilang begitu saja. Pria tersebut langsung berdiri dan mengusap bokongnya yang sakit.
Margaret yang sedang menunggu di meja resepsionis seketika terkejut. Ia langsung mendatangi Dimas dan khawatir melihat keadaannya. "Hei, apa kamu terluka?"
Dengan kedua mata yang masih belum terbuka sepenuhnya Dimas mendongak dan menatap wajah Margaret. Pemuda itu hanya tertawa canggung sembari menggaruk kepala karena merasa malu. "Ma-maaf, Nyonya Margaret. Sa-saya cuma terpleset saja."
Margaret hanya menghela napas panjang lalu menggeleng. "Kamu kenapa, Dimas? Apa mungkin semalam kamu tidak bisa tidur dengan nyenyak?"
"Eh, umm ... be-begitulah."
"Ada apa, Dimas? Kalau ada masalah ceritakan saja."
Namun Dimas hanya menunduk dan terdiam. Bibirnya serasa kaku untuk mengatakan meski satu patah kata sekalipun. Ada rasa enggan untuk menceritakan apa yang sebenarnya dia pikirkan.
Margaret kembali menghela napas panjang. "Kalau begitu kamu cuci muka dan sarapan dulu. Aku punya tugas untuk kamu, Cheryl dan juga Elina."
Dimas hanya mengangguk pelan sambil tersenyum kecil. "Terima kasih, Nyonya Margaret."
***
Tiga jam berlalu begitu saja. Kini Dimas beserta dua rekan perempuannya berada di dalam hutan Bushwick. Rupanya mereka ditugaskan untuk mengumpulkan tanaman obat oleh pemilik Serikat Petualang.
Namun Dimas terlihat kurang bersemangat dan sering melamun. Dia ingat waktu masih duduk di bangku Sekolah Dasar, dirinya sering bermain bersama anak lelaki. Sayangnya ia harus berpisah untuk selamanya karena pindah ke kota lain, tanpa bisa bertemu lagi.
"Dimas, kamu kenapa melamun saja?"
Pertanyaan Elina barusan tidak mengalihkan pikiran Dimas. Dia hanya bergeming sembari diam terpaku. Pemuda itu bertanya-tanya, siapakah sosok laki-laki yang sering bermain dengannya sewaktu kecil?
Elina menepuk bahu Dimas lalu menggoyangkan badannya. "Hei, Dimas. Kamu kenapa?" tanyanya khawatir.
Sekejap batin Dimas buyar. Dia hanya menggeleng sambil menggaruk kepala. "Ah, maaf. Aku belakangan ini sedang banyak pikiran."
Elina tersenyum lembut untuk menghibur hati Dimas. "Kalau ada masalah, ceritakan saja padaku. Aku akan mendengarkannya."
Dimas menunduk lesu. Ada rasa enggan untuk bercerita tentang apa yang ia pikirkan saat ini. Namun secara tak terduga Elina mengambil tangan kanan pemuda itu, lalu menggenggamnya dengan erat. "Sudahlah, jangan ragu lagi. Ceritakan saja semuanya, Dimas."
KAMU SEDANG MEMBACA
(Cancelled) Utusan Kristal Suci
Fantasy"Di manakah ini? Apa aku sudah mati?" Setelah membuka mata, Dimas Santoso, pria 28 tahun dari Bumi, mendapati dirinya telah pindah ke sebuah dunia lain bernama Eoggavar. Menurut pengakuan Elina dan Cheryl, gadis petualang yang pertama ia temui, lela...