Bulan setengah menyinari langit sekitar hutan Bushwick. Dimas beserta Elina dan Cheryl sepakat untuk menghabiskan malam dengan berkemah, sebelum kembali ke Bavilés.
Tiga petualang tersebut duduk di dekat api unggun. Daging rusa asap menjadi makan malam mereka untuk mengganjal perut yang lapar. Meski sederhana, Dimas dan dua rekan perempuannya nampak menikmati santapan di tengah lebatnya hutan.
“Apa kamu mau tambah lagi, Dimas?” tanya Elina dengan senyum merekah.
Dimas hanya menggeleng pelan. “Tidak usah. Aku sudah kenyang.”
Cheryl melipat lengan ke dada dan menatap Dimas dengan tatapan serius. “Lain kali kau harus fokus. Jangan biarkan masalahmu menjadi hambatan kita.”
Dimas hanya mengangguk dan menunduk lesu. Tak ada satu kata yang terucap dari bibirnya. Dia merasa bersalah karena terus memikirkan masa kecilnya.
“Sudahlah, jangan menyalahkan Dimas terus-terusan. Kamu pasti sedih jika ditinggal orang yang berharga, bukan begitu?” ujar Elina membela sambil menatap tajam wajah Cheryl.
Cheryl langsung menoleh ke kanan untuk mengalihkan pandangan, tanpa mampu berkata apa-apa. Tampak kekesalan terlihat jelas dari raut wajahnya. Ia seketika berdiri dan menunjuk Dimas. “Aku ingin istirahat saja. Lalu kau, Dimas, tidur di luar!”
Elina hanya bisa menggeleng saat melihat Cheryl langsung berjalan menuju tenda. Gadis penyembuh itu bangkit dan menghampiri Dimas, lalu berjongkok di dekatnya. “Aku benar-benar minta maaf atas perlakuan Cheryl. Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan.”
Dimas hanya mengangguk lesu dan kembali menunduk. “Tidak apa-apa. Aku tahu kalau aku ini salah, jadi wajar saja jika Cheryl marah.”
“Tunggu sebentar, ya. Aku akan menyiapkan kantong tidur untukmu.”
Dimas kembali mengangguk lesu dan tersenyum kecil. “Terima kasih banyak, Elina. Maaf sudah merepotkan.”
Elina hanya menggeleng pelan dengan wajah yang tersenyum lembut. “Tidak apa-apa. Aku juga tidak merasa keberatan.”
Elina lalu bangkit dan berjalan menuju tenda. Dimas hanya duduk sembari menatap api unggun, yang jadi satu-satunya sumber cahaya di tengah pekatnya malam. Pria itu sempat merasa aneh, kenapa tiba-tiba teringat akan masa kecilnya dulu.
Selang beberapa menit kemudian Elina meninggalkan tenda dengan membawa kantong tidur yang dilipat rapi. Ia langsung menaruh benda tersebut di dekat Dimas lalu tersenyum padanya. “Kalau kamu lelah, lebih baik tidur duluan saja.”
Tiba-tiba Dimas menatap lekat mata Elina. “Umm, bo—bolehkah aku berbicara berdua denganmu?”
Elina yang sempat merona wajahnya hanya mengangguk pelan. Tanpa dikomando ia langsung duduk di samping Dimas, dengan senyuman merekah di bibirnya. “Katakan saja, Dimas. Apa itu?”
Dimas mengambil napas sedalam mungkin, lalu mengeluarkannya secara perlahan. Ia menatap api unggun dengan tatapan sayu, seolah memperlihatkan ekspresi kesedihan pada raut wajahnya. “Apakah aneh jika aku bersedih karena ditinggal pergi sahabat dekatku?”
Elina seketika tertegun dan bungkam. Ia mengalihkan pandangan pada api unggun yang mengeluarkan suara gemericik saat membakar kayu. “Aku rasa tidak, Dimas. Aku juga merasa sedih jika mengingat Samuel.”
Dimas melirik wajah Elina, yang ternyata mulai menitikkan air mata di pipinya. “Ma—maaf, Elina. Aku ... Aku tidak bermaksud untuk mengingat kekasihmu yang sudah lama tiada.”
Elina hanya menggeleng lalu berkata lirih, “Tidak apa-apa, Dimas. Ini bukan salahmu."
Tangan Dimas refleks merangkul bahu Elina lalu menyandarkan kepalanya ke dada, walau terhalang oleh plastron baja yang dikenakan pemuda tersebut. Tidak disangka gadis penyembuh itu membenamkan wajahnya lalu menangis terisak.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Cancelled) Utusan Kristal Suci
Fantasy"Di manakah ini? Apa aku sudah mati?" Setelah membuka mata, Dimas Santoso, pria 28 tahun dari Bumi, mendapati dirinya telah pindah ke sebuah dunia lain bernama Eoggavar. Menurut pengakuan Elina dan Cheryl, gadis petualang yang pertama ia temui, lela...