Bab 016: Kekacauan di Ibu Kota

14 4 0
                                    

Dimas beserta Elina dan Cheryl berjalan menembus lebatnya hutan Bushwick. Tidak lupa mereka sesekali berhenti saat menemukan tumbuhan obat, mengingat sebagian masih belum termasuk dalam daftar.

Dimas mengingat kejadian semalam, lebih tepatnya sebelum ia beranjak tidur. Pemuda itu tak sengaja merangkul seorang gadis yang belum resmi menjadi pasangannya. Yang  membuat semakin bersalah, Dimas memanfaatkan kesedihan Elina saat mengenang kekasihnya yang gugur dalam perang.

“Umm, Elina. Aku boleh bicara denganmu?”

Elina menoleh ke arah Dimas yang berjalan menghampirinya. Dengan senyum lembut gadis penyembuh tersebut menjawab, “Boleh saja. Apa itu?”

Dimas hanya menggaruk kepala dan tertawa canggung. “Umm, soal semalam ... Aku benar-benar minta maaf.”

“Kenapa kamu meminta maaf, Dimas?”

Dimas mengalihkan pandangan untuk menyembunyikan wajahnya yang merona. “Aku ... Aku merasa tidak enak sudah merangkul dan memelukmu seenaknya saja.”

Wajah Elina seketika ikut memerah. Ia menggaruk pipi kanan dan melirik ke samping. “Umm, ti—tidak apa-apa, Dimas. Ja—jangan terlalu dipikirkan.”

Cheryl langsung menatap keduanya lalu berkacak pinggang. “Kalian ini, terus saja bermesraan. Cepat menikah sana!”

Refleks Elina dan Dimas menoleh ke arah Cheryl. Wajah mereka semakin merah setelah mendengar celotehan gadis pemburu itu. “E—ehh, a—aku rasa itu terlalu cepat,” ucap Elina gugup.

Dimas langsung mengangguk cepat dan menambahkan, “I—itu benar. Ka—kami bahkan belum menjadi sepasang kekasih.”

Cheryl hanya menyunggingkan bibir, seolah melempar senyuman bernada sinis. This “Oh ya? Aku lihat hubungan kalian sama seperti sepasang suami-istri.”

Baik Elina maupun Dimas hanya bisa bungkam. Mereka bahkan mengalihkan pandangan karena tidak berani menatap satu sama lain. Cheryl menarik napas panjang dan menggeleng. “Sudahlah. Kita harus cepat mencari tanaman obat, lalu kembali ke Bavilés.”

Tiga petualang tersebut langsung mencari tumbuhan obat, tanpa pembicaraan yang keluar dari mulut mereka. Selang beberapa saat kemudian Dimas bersama dua rekan perempuannya melanjutkan perjalanan menuju Bavilés.

Setelah hampir satu setengah jam kemudian, Dimas dan dua rekan perempuannya keluar dari lebatnya hutan Bushwick. Namun, perjalanan mereka masih panjang. Jalan setapak yang membentang harus dilalui dengan berjalan kaki untuk bisa sampai ke Bavilés.

Beberapa menit kemudian sebuah kereta kuda berhenti di dekat Dimas dan kawan-kawan. Sang kusir yang mengendarainya adalah lelaki paruh baya, dengan mengenakan tunik berlengan panjang dan kaus kaki wol. Kemudian dia menyapa tiga petualang tersebut dengan sebuah senyuman. “Selamat siang. Apakah kalian tahu dimana kota Bavilés berada?”

Elina mengangguk pelan lalu tersenyum. “Tentu saja. Kebetulan kami sedang menuju ke sana.”

“Benarkah? Kebetulan sekali.” Pria paruh baya itu menunjuk pada kereta kuda miliknya dengan wajah senang. “Kalian masuk saja, biar aku antar sampai ke Bavilés.”

“Terima kasih banyak, Tuan,” ucap Dimas lalu tersenyum.

Tanpa menunggu lama Dimas langsung memasuki kereta kuda. Namun di dalamnya penuh dengan beberapa peti berisi bahan makanan dan kulit binatang. Di sampingnya terhampar sebuah karpet sebagai alas duduk dan selimut yang terlipat tidak jauh di ujungnya. Dengan nada sedikit canggung pria paruh baya itu berkata, “Ah, maaf jika sedikit sempit. Saya sebenarnya adalah pedagang dari benua barat.”

(Cancelled) Utusan Kristal SuciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang