Diky terus memacu Sprinter peliharaannya untuk berlari secepat mungkin. Tak berselang lama, ia dan Dimas, kini tiba di luar Menara Persembahan. Namun, Dimas langsung turun dari punggung binatang tersebut dan kembali muntah-muntah. Ia sama sekali tidak kuat menahan rasa mual akibat gocangan dari kecepatan lari Sprinter itu.
"Hei, apa kau baik-baik saja?" tanya Diky sedikit khawatir.
Dimas menggeleng sesaat lalu membuang ludah agar membersihkan rongga mulutnya dari sisa muntahan. Setelah kondisinya dirasa mulai membaik, ia berujar dengan nada ketus. "Apa kamu tidak bisa pelan-pelan? Dari tadi aku terus menahan mabuk darat."
Diky menggaruk kepala sembari tersenyum canggung karena merasa sedikit bersalah. "Aku hanya tidak mau membuang banyak waktu saja," dalihnya berusaha mengalihkan pembicaraan.
Dimas hanya menarik napas dalam lalu menggeleng pelan. Ia sama sekali tak habis pikir, kenapa sahabat masa kecilnya itu sama sekali tak peduli dengan apa yang ia rasakan? Padahal sewaktu dalam perjalanan, Dimas terus menutup mulutnya untuk mencegah muntahan agar tidak keluar begitu saja. Namun, goncangan akibat kecepatan lari dari Sprinter itu seakan membuat rasa mual semakin tak dapat tertahankan lagi.
Beberapa saat kemudian, terdengar jeritan seorang wanita yang cukup keras dari puncak Menara Persembahan. Tak ayal suara tersebut membuat Diky dan juga Dimas seketika tertegun. Diky meminta Sprinter peliharaannya untuk segera pergi lalu berujar serius."Ayo, kita tidak punya banyak waktu."
Dimas mengangguk mengiyakan. Diky langsung berjalan mendekati pintu masuk, disusul oleh Dimas di belakangnya. Mereka disambut dengan pintu besi yang berdiri kokoh, namun sama sekali tak ada gagang pintu untuk membukanya. "Sialan! Pintu ini dikunci menggunakan sihir!" umpat Diky kesal.
Merasa kebingungan, Dimas menoleh ke arah Diky dan bertanya, "Bagaimana ini, apa kita bisa masuk?"
Diky menempelkan tangan ke dagu untuk berpikir sejenak. Tiba-tiba sebuah ide terlintas dalam benaknya. Ia tersenyum menyungging lalu berujar, "Jika jalan masuk tertutup rapat, kita buka saja secara paksa."
Dimas hanya bisa menganga keheranan. Ia sama sekali tidak mengerti apa maksud Diky barusan? Seolah tahu isi pikiran sahabatnya itu, Diky melirik ke arahnya lalu berkata, "Kau akan tahu sendiri. Yang jelas, menjauhlah dari sini."
"Hah, kenapa memangnya?" tanya Dimas yang masih melongo.
Diky hanya menghela napas singkat untuk mendinginkan hatinya yang kesal. "Aku akan menghancurkan pintu ini! Jadi, menjauhlah!"
Dimas seketika tertegun lalu mengiyakan. Ia berjalan sejauh mungkin dari pintu masuk, sedangkan Diky berjalan beberapa meter ke depannya. Setelah jarak dirasa cukup aman, ia mengangkat tangan kirinya yang menengadah ke atas lalu mengumpulkan tenaga sihir sekuat mungkin. Beberapa saat kemudian, lelaki itu mengeluarkan sihir berupa batu besar berdiameter sekitar dua meter lalu menembakkannya ke pintu masuk. Tak pelak batu besar itu langsung meledak dengan kuat disertai kepulan asap yang membumbung karena tertiup angin.
Diky dan Dimas refleks menempelkan lengannya ke depan wajah untuk melindungi diri dari serpihan efek ledakan tersebut. Setelah situasi dirasa aman, mereka langsung memeriksa keadaan pintu masuk. Sebuah lubang menganga dengan lebar akibat efek dari ledakan tersebut.
"Waw. Bagaimana kamu bisa melakukannya?" tanya Dimas kagum sembari berjalan mendekat.
Diky tersenyum sesaat dengan penuh percaya diri. "Aku hanya menggabungkan elemen tanah dan api untuk membuat batu besar itu dapat meledak."
Dimas masih merasa kagum dengan penjelasan Diky. Namun, efek ledakan barusan rupanya memancing perhatian tujuh goblin untuk keluar dari Menara Persembahan. Dengan bersenjatakan pedang dan perisai kayu, mereka menggeram hebat penuh amarah seolah mengintimidasi dua Utusan Suci tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Cancelled) Utusan Kristal Suci
Fantasy"Di manakah ini? Apa aku sudah mati?" Setelah membuka mata, Dimas Santoso, pria 28 tahun dari Bumi, mendapati dirinya telah pindah ke sebuah dunia lain bernama Eoggavar. Menurut pengakuan Elina dan Cheryl, gadis petualang yang pertama ia temui, lela...