Setelah menempuh perjalanan selama hampir satu jam, Dimas dan kawan-kawan kini tiba di depan kota Nagona. Tidak tahan dengan gaya berkendara Cheryl yang terkesan ugal-ugalan, Dimas dan Elina seketika keluar dari kereta kuda lalu muntah karena mabuk darat. Setelah perutnya tidak merasa mual, mereka langsung mengambil botol air dan meminumnya.
"Cheryl, tidak bisakah kamu berkendara pelan-pelan?!" ketus Elina kesal.
Cheryl mengangkat kedua bahu dengan ekspresi wajah tak berdosa. "Maaf saja. Tapi, aku tidak mau menyia-nyiakan waktu begitu saja."
Dimas melerai kedua rekannya itu agar tidak bertengkar. Setelah keadaan sedikit lebih tenang, mereka melihat situasi kota Nagona. Tiga petualang itu mendapati dua tentara terbaring bersimbah darah tepat di dekat gerbang masuk. Jika diperhatikan dengan seksama, terdapat luka bekas sabetan senjata tajam di tubuh keduanya.
Batin Elina seketika terguncang dengan apa yang dilihatnya barusan. Di lain pihak, Cheryl meninju tangannya sendiri seakan meluapkan amarah dalam hatinya lalu berujar, "Sialan, semua ini pasti ulah Diky! Tidak diragukan lagi!"
Dimas mengusulkan untuk memeriksa keadaan sekitar. Ia dan dua rekan wanitanya mendapati mayat para penduduk, pria maupun wanita, baik tua atau muda, bergelimpangan di sekitar jalan. Hanya deretan rumah yang masih kokoh berdiri, seakan menjadi saksi bisu penyerangan yang terjadi sebelumnya.
"Kurang ajar! Semua ini tidak bisa dimaafkan begitu saja!" ketus Cheryl serius.
Tak kuasa menahan gejolak dalam hati membuat Elina seketika terjatuh dengan posisi duduk. Dimas yang sigap menjulurkan tangan untuk membantunya berdiri. "Apa kamu baik-baik saja?" tanya lelaki itu khawatir.
Elina hanya bungkam. Selama ini ia tidak pernah melihat puluhan mayat manusia bergelimpangan menghiasi sekitar kota, membuat batinnya seketika terguncang hebat. Dengan sigap Dimas membantu gadis itu berdiri lalu berkata, "Tunggu sebentar, Cheryl. Aku akan segera kembali."
Dimas memapah Elina berjalan kembali menuju kereta kuda. Dengan berat hati gadis itu berucap, "Maaf, Dimas. Aku sudah merepotkanmu."
"Sudahlah, tidak apa-apa. Jika tidak kuat melihatnya, kamu tutup mata saja," ucap Dimas seraya tersenyum, dengan harapan bisa menghibur Elina.
Mereka terus berjalan sembari berusaha mengabaikan pemandangan di sekitar. Setibanya di kereta kuda, Dimas membantu Elina untuk masuk lalu memintanya agar beristirahat saja. Tak mau membuat Cheryl menunggu terlalu lama, lelaki itu bergegas menyusulnya.
"Maaf membuatmu menunggu," ucap Dimas.
"Tumben sekali kau datang cepat. Biasanya kau bermesraan dulu dengan Elina," ketus Cheryl kesal.
"Sudahlah, tidak usah bahas itu dulu. Lebih baik kita periksa keadaan sekitar sini," kata Dimas mengalihkan pembicaraan.
Dimas dan Cheryl berjalan menyusuri seisi kota, berharap dapat menemukan warga yang selamat. Setelah memeriksa semua korban, tak ada satu pun dari mereka yang masih hidup. Putus asa, Cheryl membenamkan wajah ke dinding rumah dan memukul-mukulnya. Tak peduli seberapa keras ia berusaha untuk tegar, air mata mengalir deras membasahi kedua pipinya.
"Kenapa kau tega berbuat sejauh ini, Diky?! Aku benar-benar tak mengerti!" ujar gadis itu di sela tangisnya.
Merasa simpati, Dimas menepuk bahu Cheryl untuk menenangkannya. "Sudahlah. Lebih baik tenangkan dirimu dulu."
Cheryl hanya mengabaikannya dan terus menangis. Dimas yang merasa penasaran memeriksa keadaan sekitar seorang diri. Ia berjalan ke arah utara kota hingga tiba di dekat kediaman wali kota. Namun, lelaki itu seketika tercengang mendapati Diky, dengan zirah hitam yang hancur parah bagian depan hingga memperlihatkan bagian tubuh penuh luka memar, terbaring di samping salah satu rumah dekat mansion wali kota.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Cancelled) Utusan Kristal Suci
Fantasi"Di manakah ini? Apa aku sudah mati?" Setelah membuka mata, Dimas Santoso, pria 28 tahun dari Bumi, mendapati dirinya telah pindah ke sebuah dunia lain bernama Eoggavar. Menurut pengakuan Elina dan Cheryl, gadis petualang yang pertama ia temui, lela...