17. Bintang redup

1.6K 291 27
                                    


Ada benarnya yang pernah dikatakan Dialog Senja bahwa disini ego lah yang menghasutku untuk kembali padanya, tapi logikaku berkata baiknya aku menjauh.

Harsa duduk di bawah pohon besar yang ada disisi lapangan, mengangkat baju nya untuk di jadikan lap keringatnya.

Senang sih hari ini cerah, tapi panas nya tidak manusiawi. Harsa sampai menyangka mungkin lah ini yang disebut simulasi masuk neraka.

Tidak ada air minum sialnya, Harsa juga masih cukup lemas untuk berjalan menuju kelasnya padahal hanya beberapa langkah sebab kelasnya tepat di dekat lapangan.

"Wih olahraga!"

Harsa mendongak menatap seseorang yang berdiri di depannya, "Ngapa? Aneh ya liat gue olahraga?"

"Iya, soalnya lo rebahan mulu kayak dugong."

Harsa hanya memutar bola mata, tenaga nya tidak cukup untuk mengeluarkan semua bacotannya pada Noval, yang seenaknya menyebut ia seperti dugong.

"Dek."

Harsa melirik Noval yang ikut duduk di sebelahnya, "Lo manggil gue?"

"Iya, lo kan suka dipanggil adek sama bang Hendra."

"Ya wajar kan dia abang gue! Gimana sih?"

Noval tertawa sampai kedua matanya tampak terlihat segaris.

"Eh gue chattingan sama Nadif lancar jaya loh."

"Masa? Bagus lah kalo gitu."

Harusnya senang, tapi Noval merasa nada bicara Harsa sedikit berbeda.

"Iya deh, minggu muncak yuk?" tanya Noval niat mengalihkan pembicaraan supaya nantinya tidak melenceng dan menyenggol perasaan Harsa.

"Mager."

"Ck." Noval mendecak, "Healing bro, gue agak takut nih kalo lo udah gak ada semangat gini."

"Gue capek, val. Jangan ajak gue ngomong." suara Harsa sedikit kesal.

Noval langsung terdiam, mungkin benar, Harsa sedikit sensitif hari ini. Baiklah, Noval akan diam saja.

Lalu pandangan Harsa disita oleh seseorang yang sedang membagikan botol air mineral, ah ini yang ditunggu-tunggu Harsa.

"Capek banget ya, Har?"

"Jangan ngajak dia ngomong." jawab Noval, membuat Raska mengerutkan keningnya.

"I-iya, maaf ya. Nih." Raska kemudian menyodorkan satu botol air minum pada Harsa.

"Makasih." ujar Harsa.

Raska mengangguk, niat untuk pergi kembali namun tangannya serasa di tahan. Raska berbalik dan menatap tangannya yang di pegang Harsa.

Noval hanya menyimak keduanya tidak mengerti, oh, akankah ada drama setelah ini?

"Eh- em..." Harsa dengan cepat menjauhkan tangannya saat ia sadar dengan perilakunya itu.

"Sorry.." ucap Harsa.

Raska menatap Harsa yang menyandarkan kepalanya di pohon besar itu. Jujur, Raska agak khawatir melihat Harsa yang seperti itu. Tapi.. ah dengan cepat Raska pergi dari sana.

"Lo--"

"Gue tuh kenapa sih." Harsa mengusap wajahnya kasar, lalu menyembunyikan wajahnya di kedua lututnya.

Noval sedih melihat sahabatnya seperti itu, hanya karena satu orang berhasil membuat Harsa galau brutal.

Noval menghela napas lalu berdiri, ia menarik tangan Harsa untuk ikut berdiri tanpa aba-aba.

"Dah ah jangan mengsedih mulu! Lama-lama gue ruqyah juga, ayo ke kelas."

Harsa membiarkan Noval membawanya ke kelas. Sekarang pikiran dan hatinya sedang berperang, siapakah yang akan menang, hati, atau pikirannya?

Jika pikiran yang menang, Harsa 'harus' melupakan Raska setelah itu.

.
.
.

"Marsel."

"Iya?" Marsel yang sedang menyeruput ice coffee nya itu melirik Raska.

"Ini perumpamaan aja ya, kalau... kalau ternyata selama ini perasaan aku gak sama kayak kamu, gimana?"

Marsel terdiam, sedikit menjauhkan gelas coffee nya lalu menghadap ke arah Raska.

"Well, aku bisa bikin kamu punya perasaan yang sama kayak aku, tapi kalau ternyata sama aja alias gak mempan, aku gak bakal pertahanin hubungan ini karena apa? Karena percuma kalau cintanya cuma sepihak." jelas Marsel.

"Ya kalau dipikir, buat apa juga? Lebih baik simpen aja perasaannya, daripada berakhir sakit." lanjutnya membuat Raska merasa bersalah.

Padahal perumpamaan itu adalah kenyataan dirinya saat ini, Raska hanya menjadikan Marsel perantara agar ia bisa move on dari Harsa tapi nyatanya tidak bekerja sama sekali.

Namun kesalahannya, semua sudah terlanjur terjadi, Marsel dan dirinya sudah terikat hubungan yang akan memasuki satu bulan.

Satu bulan bukan waktu yang sebentar, bagaimana perasaan Marsel jika tahu bahwa selama sebulan ini ternyata Raska tidak memiliki perasaan yang sama?

"Tapi kan kamu bilangnya itu cuma perumpamaan, ya intinya gitu deh."

Raska mengangguk, jauh di dalam dirinya ia sangat sangat merasa bersalah pada Marsel. Cepat atau lambat Raska harus jujur pada Marsel meski tetap saja ujung-ujungnya Marsel pasti sakit hati.

.
.
.

Bel pulang sudah berbunyi sejak setengah jam yang lalu, sekolah mulai sepi. Raska masih berkeliaran di area sekolah, bahkan Marsel pacarnya sudah pulang. Raska yang menyuruhnya sih.

Raska menyusuri sisi lapangan sambil merasakan angin sore yang cukup hangat ini  menerpa tubuhnya.

Kiranya hanya ia yang masih ada disini, tapi tak sengaja atensinya melirik seseorang yang duduk di bawah pohon besar di sekolah ini.

Kakinya melangkah mendekati orang itu, lalu duduk di sampingnya. Laki-laki yang sedang menyembunyikan wajah di kedua lutut itu mendongak saat merasa seseorang datang.

"Gara-gara aku ya? Maaf." ujar Raska.

Harsa menatap Raska di sampingnya kemudian terkekeh.

"Aku merasa bahwa disini aku bintang utamanya, tapi kenapa, kenapa rasanya seolah aku jadi bintang yang redup?" suara Harsa, "Bintang yang kehilangan sumber cahaya nya."

Raska menunduk, "Aku minta maaf, aku pernah dengan bangganya bilang kalau aku gak akan pernah mau balikan sama mantan, tapi Har... ternyata aku juga gak bisa bohongin perasaan aku sendiri."

Diam-diam Harsa tersenyum mendengar itu, ucapan itu cukup membuat Harsa merasa lebih baik.

"Kalau kamu gak mau balikan, kita ganti bahasa nya jadi mengulang dari awal. Kita coba kayak dulu, dimana kita sama-sama berjuang. Bedanya udah gak ada kendala jarak lagi sekarang." mata coklat milik Harsa menatap wajah Raska dari samping yang tampak sempurna.

Namun Raska tidak merespon, sejak tadi hanya menunduk tak mau menatap Harsa.

"Hm, Marsel ya?"

"Kalau aku bilang dia pasti bakal sakit hati."

"Karena itu konsekuensinya jatuh cinta, salah satunya ada yang sakit dan menyakiti."

Raska tersenyum tipis lalu menatap Harsa, "Apa boleh kalau aku jadi sumber cahaya bintang redup kayak kamu?"

Senyuman manis terukir di wajah Harsa kala pertanyaan itu meluncur dari bibir Raska.

"Karena emang kamu sumber cahaya aku, Ras."

.
.
.












Pasti senyam senyum ya :>

Vote & komen

My Ex My Neighbour | HyuckrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang