16. Menghapus tinta

1.6K 277 43
                                    

Patah hati menyerang Harsa dikala hujan sore ini. Jika pagi tadi ia kembali jatuh hati, sore ini ia menjadi patah hati.

Hujan sempat mereda siang tadi lalu kembali turun tepat saat Harsa mulai patah hati.

Di balik jendela rumah nya ia melihat senyuman Raska mengembang disaat seorang laki-laki berstatus kekasih remaja itu datang.

Lalu ia berpikir, kapan ya Raska bisa tersenyum seperti itu padanya juga?

Dulu sempat, dan sekarang ia merindukannya. Senyuman yang hanya bisa ia lihat dan rasakan kehangatannya olehnya sendiri.

Harsa pernah dijuluki matahari Raska, tapi sepertinya salah. Justru hangatnya sinar mentari pagi pun kalah saat ia melihat senyuman merekah laki-laki itu.

"Harsa..."

Suara lembut seseorang membuat Harsa berbalik. Itu Tesa, sang ibunda tercinta. Tesa lalu duduk di sebelah Harsa, menangkup wajah putranya itu.

"Kamu kenapa? Kayaknya dari pagi murung terus." tanya Tesa dengan nada khawatir.

Harsa menggeleng, "Aku baik-baik aja."

"Mama gak pernah percaya sama kata-kata itu, kata yang cuma jadi tameng seseorang buat nutupin segala kesedihan nya." ucap Tesa, "Gak mau cerita? Umur kamu udah sembilan belas taun, mama gak pernah denger kamu curhat ke mama, paling sama abang doang ya?"

"Nggak, ma. Baru tadi sekali curhatnya." sahut seseorang yang baru saja datang dan ikut bergabung.

"Masa?"

Harsa mengangguk.

"Kita apain dulu gitu ya si adek biar gak di pendem terus." ujar Hendra seraya terkekeh, Tesa pun ikut tertawa mendengarnya.

"Namanya juga baru puber. Ntar juga cerita sendiri." Tesa mengelus kepala Harsa lalu pergi menuju kamar.

Kini tersisa Harsa dan kakak laki-lakinya. Suasana nya berubah menjadi canggung padahal mereka berdua ini kadang jadi sumber keributan satu rumah.

Sebenarnya Harsa yang membuat canggung, Hendra tadinya ingin mengajak bicara sang adik. Tapi melihat kondisi Harsa, Hendra jadi bingung harus memulai pembicaraan seperti apa.

Hendra menghela napas, pindah posisi menjadi duduk di sebelah Harsa lalu merangkul bahu adiknya itu.

"Ya gimana ya Har, lo kalo masih kekeh sama aja kayak nikung, gak bisa dikatain berjuang kalo dia nya aja udah punya pacar."

"Kalo lo nyuruh gue move on, mending kita pindah rumah aja bang." ujar Harsa.

Hendra memutar bola matanya mendengar itu, "Sepupunya aja, kan cakep."

"Punya si Noval, ntar gue di gebukin kan gak lucu."

"Tapi kan masih banyak orang lain disana, lo kira cuma siapa tuh namanya, Aras? Baka?"

"Raska."

"Nah iya, lo kira cuma ada si Raska doang di dunia ini? Gue yakin juga banyak yang ngantri tuh di belakang lo."

"Ngantri apaan? Bansos?"

Hendra memukul lengan Harsa, membuat sang oknum tertawa. Lalu setelahnya Harsa tampak membuang napas panjang seraya memegang dada kirinya.

Harsa tersenyum tipis tanpa sepengetahuan kakaknya, mungkin pelan-pelan kan kuhapus tinta yang pernah ia lukis di kanvas hatiku.

.
.
.

Raska awalnya takut jika mama atau bahkan papa nya akan marah melihat Raska yang sudah berani berpacaran dan membawa kekasihnya itu ke rumah.

Tapi perkiraan nya itu ternyata salah besar, justru Marsel disambut hangat oleh Wirya sang mama. Bahkan Wirya tampak antusias menyajikan beberapa camilan di meja.

Raska tidak tahu akan perasaan Wirya yang sebenarnya merasa senang sebab Raska sudah tumbuh dewasa, buktinya ia akhirnya memiliki kekasih.

Walau tanpa sepengetahuan Wirya, sebelumnya ada yang pernah menempati posisi pertama di hati Raska.

"Di makan ya Marsel, jangan sungkan. Atau mau makan?"

"Eh gak usah tante." tolak Marsel secara sopan.

"Bener?"

Marsel tersenyum, "Iya tante."

"Yaudah, bentar ya tante ke kamar dulu nanti kesini lagi."

Marsel mengangguk lalu Wirya pun pergi dari sana.

"Mama kamu baik, ya? Kayaknya aku bakal nyaman banget sama kamu."

Nyaman ya? Tapi Raska tidak terlalu berharap jika Marsel akan nyaman dengannya. Raska hanya takut nantinya ia menyakiti hati laki-laki itu.

"Mungkin aku bakal kesini lagi di lain waktu."

"Mm... iya."

Marsel menatap Raska bingung, "Gak boleh, ya?" tanya Marsel.

"Ha? Eh, boleh kok. Mm.. tapi jangan maksain juga ya kalo sekiranya kamu gak bisa."

Marsel mengangguk, tangannya terulur untuk mengelus rambut Raska sebelum aksinya itu terciduk oleh Yudha-- papa Raska.

Tadinya Raska mengira papanya akan menegurnya, tapi ternyata tidak. Malah pria itu tampak tidak peduli dan sama sekali tidak melirik ke arah mereka berdua.

Awalnya sih tidak apa-apa, tapi mengapa Raska merasa bahwa papa nya tampak tidak suka melihatnya?

Ah, kemungkinan papa nya hanya tidak ingin mengganggu.

.
.
.

Keesokan harinya beruntung sekali langit sangat cerah, membuat para siswa bisa berangkat sekolah tanpa ada halangan sedikitpun.

Kemarin dominan para siswa tidak masuk sekolah karena insiden hujan turun di waktu yang tidak tepat.

Harsa memparkirkan motornya di halaman sekolah, membuka helm nya dan menyimpannya di atas spion.

Laki-laki itu berjalan masuk ke dalam area sekolah. Harsa merasa siswa hari ini tampak begitu ceria, mungkin efek pagi ini yang cerah membuat mood mereka juga menjadi bagus.

Berbeda dengan Harsa yang mood nya masih sama seperti hari kemarin, Harsa pun hanya tidur 2 jam saja.

Langit memang cerah, tapi hati Harsa mendung sebenarnya. Mengharapkan ada pelangi muncul setelahnya tapi siapa yang akan menciptakan pelangi di hatinya? Tidak ada.

Pelangi itu sudah mempunyai langit lain yang layak untuk ia hiasi dengan keindahannya.

Harsa meletakkan tas nya diatas meja, berselang satu detik Marsel pun masuk sambil memainkan ponsel.

Helaan napas keluar dari mulut Harsa.

"Are u ok bro??" tanya Marsel yang tidak sengaja mendengar helaan napas Harsa.

Harsa melirik Marsel lalu tersenyum dan mengangguk, "Ok, bro."

.
.
.












Kenapa aku agak sedih ya sama chapter ini wkwk

Vote & komen :"

My Ex My Neighbour | HyuckrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang