15. Garis waktu

1.7K 297 31
                                    


Pagi yang malang, Raska terpaksa tidak masuk sekolah karena hujan pagi ini sangat deras.

Tapi bukan itu yang menjadi pikirannya. Tadi ia sempat melihat Harsa berangkat dengan motornya. Lalu bagaimana keadaannya sekarang? Apakah laki-laki itu kehujanan?

Raska tidak mengerti dengan dirinya yang tiba-tiba merasa khawatir dengan Harsa. Padahal seharusnya tidak kan? Lagian Harsa siapa nya sekarang?

Detik berikutnya mata Raska membulat melihat seseorang yang baru saja ia pikirkan datang dengan motornya sambil hujan-hujanan.

Dengan cepat Raska mengambil payung serta handuk. Ia pun keluar dan berlari menghampiri Harsa, memayungi laki-laki itu.

Harsa yang baru saja turun dari motornya terkejut melihat Raska yang sudah ada di depannya sambil memayunginya.

"R--"

"Kamu basah Har, nih pake handuk dulu." Raska menyodorkan handuk berwarna kuning pada Harsa.

Harsa mengangguk lalu meraih handuk itu. Mengusap air hujan yang ada di wajahnya dan di rambutnya.

Cukup lama mata Raska menatap Harsa di depannya, rasanya seperti di sihir. Raska langsung menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Insting kamu bagus ya, Ras." ucap Harsa lalu terkekeh.

"Hah?"

"Kamu gak sekolah dan kebeneran pagi ini hujan."

Raska terdiam. Harsa sepertinya basa basi, padahal jujur Raska sendiri merasa canggung lagi dengan Harsa.

"Boleh anterin aku sampe teras?"

"Boleh." Raska lalu berjalan bersama Harsa menuju teras rumah laki-laki itu sambil memayungi keduanya.

"Makasih ya, kamu cepet masuk."

Raska mengangguk, "Iya." jawabnya kemudian berjalan menuju ke rumahnya.

Harsa menatap kepergian Raska seraya tersenyum manis. Mengingat Raska hanya mantan kekasihnya sekarang, tapi Harsa merasa bahwa Raska masih terikat dengannya.

Jauh di lubuk hatinya, Harsa masih menginginkan Raska, meski sulit sebab Raska telah dimiliki oleh orang lain.

Lalu Harsa masuk ke dalam rumah dan terkejut melihat seseorang berdiri tepat di belakang pintu.

"Kok hujan-hujanan sih bujangnya papa?"

"Yeu apasih bujang-bujang, dah ah mau mandi Harsa."

"Gak dingin?"

"Pake air anget hehe."

Jonathan tersenyum, memukul bahu putranya pelan. Harsa langsung pergi ke dapur untuk menyiapkan air untuk mandi.

.
.
.

"Ka."

"Hm?" gumam Raska yang sedang mengemil biskuit, matanya tidak mau beralih menatap ponselnya yang menayangkan mukbang.

"Kata gue mending lo balikan sama mantan lo itu."

Raska hampir saja tersedak, "Tiba-tiba banget Na?"

Nadif yang sedang bermain game itu langsung menyudahi aktivitasnya lalu menghadap Raska.

"Gue perhatiin lo makin care aja sama mantan lo itu, tadi aja gue liat lo bawain handuk buat dia. Jangan ditepis lagi Ka, kalo emang masih sayang mending balikan." ucap Nadif, "Bukan kasian sama Harsanya yang masih ngarep, tapi Marsel juga. Masuknya kayak cinta bertepuk sebelah tangan."

Raska terdiam, sejujurnya Raska melakukan sesuatu yang supaya nantinya ia bisa move on dari Harsa. Tapi jika dipikir lagi perkataan Nadif ada benarnya, sama saja seperti ia menjadikan Marsel bahan pelarian.

"Kan kata lo kalo gue balikan sama aja gue ngekhianatin diri sendiri." ujar Raska.

"Iya, itu kalo lo masih maksa bikin prinsip kek gitu. Coba lo buang jauh-jauh deh tuh prinsip kalo lo sendiri nantinya niat gak bakal pertahanin prinsipnya."

Raska lagi-lagi terdiam, rasanya malu sebab ia selalu bangga punya prinsip seperti itu. Raska tidak pernah berpikir nantinya ia bisa saja merobohkan prinsipnya itu.

Nadif mengelus rambut Raska, "Gak apa-apa, ego nya gak usah di gedein, buat sekarang jalanin dulu aja hubungan lo sama Marsel. Kalo ternyata udah siap balikan sama Harsa lagi, lo bisa omongin baik-baik sama orangnya."

Raska tersenyum, terlalu banyak kekesalan yang ia salurkan dulu pada sepupunya ini sampai tidak menyangka bahwa Nadif sehebat itu mengerti akan situasinya sekarang.

.
.
.

Harsa menatap ke arah jendela kamarnya, kaca itu berembun dan buram akibat air hujan.

Buram ya?

Iya, seperti kenangannya bersama Raska dulu. Entahlah Harsa merasa kenangan itu mulai memburam.

Dulu Raska adalah yang terbaik baginya, yang menjadi pusat semestanya. Sebab Raska, membuat Harsa belajar artinya jatuh cinta.

Kemudian Raska menjadi yang terburuk baginya karena mengajarinya arti patah hati.

Okey, sebenarnya itu bukan salah Raska. Namun perpisahan mereka kala itu menjadi luka yang tertoreh cukup dalam bagi Harsa.

Sekarang, Harsa ingin mengejar dan mengambil lagi pusat semestanya. Tetapi semakin dikejar rasanya semakin jauh. Apa mungkin Raska sengaja terus berlari agar ia terus mengejar sampai dimana ia merasa lelah dan memilih untuk berhenti?



Tok

Tok

Tok



"Masuk." suara Harsa.

"Dek-- loh? Kenapa?" terdengar bahwa itu suara kakak laki-laki Harsa, "Galau ya?"

Harsa menggeleng. Hendra sang kakak duduk di samping adiknya, menyentuh bahu Harsa.

"Cerita dong. Enak aja masa Noval doang yang lo suka ceritain, gue nggak?"

Harsa terkekeh pelan, "Gak apa-apa kok, serius."

Hendra menatap Harsa cukup mengintimidasi. Ia tidak yakin bahwa adiknya ini benar baik-baik saja.

"Ah! Boong lu."

Harsa membuang napas panjang membuat Hendra merasa sesak, tidak tahu kenapa melihat Harsa seperti itu membuatnya ikut sesak.

"Gimana ya? Gak mau berharap lagi, tapi dia masih peduli sama gue."

"Hah?" suara Hendra yang belum connect atas ucapan Harsa.

"Dulu kenangan kita sejelas kacamata minus, tapi liat dia udah sama orang lain rasanya kenangan itu mulai buram ketika kita milih buat gak pake kacamata itu lagi."

Hendra menggaruk kepalanya tidak mengerti dengan adiknya yang menjadi puitis seperti ini. Tapi sebagai kakak, Hendra jelas paham walau awalnya tidak mengerti.

"Seburam apapun, tapi dia tetep masih bisa gue liat."

Hendra membisu, bingung harus berbicara apa.

"Pengen balikan." ujar Harsa lalu memeluk kedua lututnya.

.
.
.










Hello, makin seru atau makin bosen?

Vote & komen ya

My Ex My Neighbour | HyuckrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang