19. Resah

1.5K 264 19
                                    


"Val!"

Yang dipanggil bukan sekedar menoleh, tetapi juga membalikkan tubuhnya.

"Oi Han, kenapa?" tanya Noval.

"Lo liat Harsa?"

Noval mengerutkan dahinya kemudian menggeleng, "Nggak, tapi kayaknya udah pulang duluan."

"Yah.. padahal gue mau ngajak dia ke kafe abang nya si Haje. Kalo gitu, lo aja deh yok." ajak Rehan.

"Hujan, nder."

"Ya nunggu reda dulu."

Lalu mereka berdua duduk di bangku yang ada di depan ruang tata usaha. Tadi Noval memang sempat ingin pulang namun urung sebab hujan yang awalnya rintik kecil menjadi rintik yang deras.

"Lo kenal Nadif, kan?" pertanyaan Noval hanya diangguki kepala oleh Rehan.

"Sejak kapan?"

"Udah lumayan lama, gue kan pindah kesini langsung kelas sebelas, waktu itu gak sengaja ketemu dia dan gue minta tolong anterin ke kelas gue. Gitu aja sih sampe kita temenan."

Noval membulatkan bibirnya, "Pernah gak lo suka sama dia? Gue cuma nanya aja, gue harap lo gak tersinggung."

Rehan terdengar terkekeh, "Sejauh ini gak pernah, dan gue juga gak pernah mikirin kok bisa ya gue sama sekali gak naruh perasaan sama dia. Padahal kalo diliat, Nadif cakep, manis juga, baik, tapi jujur sih gak pernah."

"Btw kan gue suka sama dia nih sekarang, gue harus gimana?"

Rehan menoleh ke arah Noval, "Kok nanya gue? Ya kalo sekiranya suka, perjuangin. Tapi sebelumnya lo riset dulu, apakah dia lagi suka sama seseorang, atau lagi di deketin sama seseorang gitu."

"Bener juga, ntar gue tanya-tanya Raska deh sepupunya."

"Oh ya Raska, dia masih sama Marsel gak sih?"

"Masih, kenapa gitu?"

Rehan terdiam, "Nanya aja."

Jawaban Rehan malah membuat Noval merasa curiga bahwa ada sesuatu yang disembunyikan olehnya.

.
.
.

Harsa membuka matanya perlahan, Harsa kira ia berada di rumah sakit, tapi ternyata bukan. Dan juga ruangan ini tidak tampak seperti rumah atau kamarnya.

Lalu dimana dia sekarang?

"Eh udah sadar."

Harsa yang masih berbaring itu menolehkan kepalanya pada seorang laki-laki yang datang menghampirinya sambil membawa gelas berisi teh.

"Nih diminum dulu." ujarnya seraya menyodorkan gelas itu.

Harsa tidak mengenal siapa orang itu, tapi ia menurut dan bangkit untuk meneguk sedikit teh itu.

"Eung... ini gue dimana ya?" tanya Harsa.

"Ini di ruangan yang ada di belakang sebuah kafe." jawabnya.

"Kafe?"

Orang itu mengangguk, "Iya, kafe abang gue. Tadi di jalan gue liat lo jatuh dari motor, gue paham kenapa lo jatuh karena jalanan pasti licin sama hujan."

Harsa tidak berkata-kata lagi saat orang itu menjelaskan.

"Untung lo cuma jatuh, gak ketabrak atau ditabrak atau nabrak. Tapi tangan lo baret tuh, nyium aspal kayaknya."

Harsa melirik tangannya dan benar, di tangan kanan nya ada goresan merah cukup panjang dan tidak sedikit.

"Gue panik sih pas lo jatuh lo langsung gak sadar. Gue minta orang-orang buat bantu angkat lo, terus gue nelfon abang gue buat jemput pake mobil. Itu sebabnya kenapa lo ada disini."

"Terus motor gue dimana?" tanya Harsa.

"Dibawa ke bengkel sama temen gue."

Harsa mengangguk, "Thanks ya udah bantu gue."

Orang itu ikut mengangguk, "Sama-sama. Oh ya kenalin, gue Haje." laki-laki itu mengulurkan tangannya.

Harsa tersenyum, "Harsa." ucap Harsa tanpa menjabat tangan itu, membuat Haje langsung mengusap tengkuknya.

"Sebenernya bukan salah jalan yang licin." sahut Harsa membuat Haje mengerjapkan matanya beberapa kali, "Gue lagi kepikiran sesuatu, jadi gak fokus dan akhirnya gue jatuh."

"Nah makanya kalo lagi berkendara lebih bagus kosongin dulu pikiran nya."

Harsa mengangguk, "Gue boleh agak lama disini? Gak mungkin gue pulang dengan keadaan banyak luka dan basah kuyup gini."

"Eh boleh boleh, kebetulan temen gue mau pada kumpul, kita ngobrol-ngobrol dulu sabi kali." Haje merangkul Harsa, tidak peduli akan baju Harsa yang basah.

.
.
.

Bertepatan dengan matahari tenggelam, Raska baru saja menginjakkan kaki nya memasuki rumah. Sebab tadi ia menunggu hujan reda, Marsel juga tidak mungkin nekat membawa motor disaat hujan karena berbahaya.

"Lo kok baru pulang, Ka?"

Raska melirik sepupunya yang menghampirinya, "Hujan."

"Iya tau, apa kelas lo dipulangin agak lambat dikit?"

Raska mengangguk lesu lalu melewati Nadif untuk masuk ke dalam kamar. Nadif juga heran dengan sikap sepupunya, ia mengikuti Raska sampai kamar.

"Kenapa?" tanya Nadif.

"Gue cuma... bingung."

Nadif lalu ikut duduk disamping Raska.

"Gue pengen balik ke Harsa, tapi disisi lain Marsel... dia selalu berhasil bikin gue terjebak lagi sama dia. Bikin gue berpikir dua kali lagi buat ngelepas dia."

"Tapi semakin lo nekat bertahan sama Marsel, lo bisa bikin dia nyaman banget sampe dimana lo milih pergi, malah bikin Marsel terluka banget."

Raska terdiam merenungi ucapan Nadif yang lagi-lagi membuatnya memutar otak untuk berpikir.

Sampai dimana pintu kamarnya terbuka, menampilkan Yudha sambil membawa sebuah bingkisan.

"Ras."

"Iya, pa?"

"Anter ini ke rumah tetangga."

"Suruh Nadif aja, aku capek baru pulang."

"Kan kamu yang kenal sama anaknya, kamu aja."

Raska mendengus, dengan malas ia melangkah mendekati papanya dan mengambil bingkisan itu. Raska pun pergi keluar rumah menuju rumah tetangga-- lebih tepatnya rumah Harsa.

Ia mengetuk pintu itu, tak lama terbuka.

"Hai, tante. Ini ada bingkisan dari papa, buat tante dan keluarga." ujar Raska sambil menyodorkan bingkisan itu.

"Eh apa ini? Yaampun, makasih ya."

"Gak tau juga hehe, sama-sama." Raska sedikit celingukan ke dalam rumah itu, tampak tidak ada Harsa.

"Oh ya ngomong-ngomong, kamu udah pulang, tapi Harsa kok belum pulang ya? Udah malem juga, dia gak ada ngabarin sama sekali."

Tiba-tiba Raska ikut cemas mendengar kata-kata mama Harsa. Jadi Harsa belum pulang? Kemana dia?

"Ah beneran? Aku kira Harsa udah pulang."

"Belum, haduh kok saya jadi khawatir ya?"

Bukan hanya kamu tante, Raska juga khawatir. Semoga Harsa baik-baik saja dan cepat pulang.

.
.
.













Vote & komen

My Ex My Neighbour | HyuckrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang