Kalut

3.8K 320 7
                                    

Seorang perawat menepuk pundakku. Pikiranku sungguh kosong hingga mendapati sosok perawat itu tersenyum padaku. "Mbak sebaiknya membersihkan diri dan ganti baju. Ini saya pinjamkan baju." Aku tidak paham apa yang dikatakan perempuan itu hingga menatap bekas darah di tanganku.

"Terima kasih."

"Mari saya antar ke toilet." Perawat itu membantuku berdiri dan berjalan ke pojok ruangan. "Kalau ada apa-apa panggil saya saja." Dia tersenyum kembali sambil memberikan sebuah tas kertas di tangannya.

Aku berjalan gontai memasuki ruangan itu. Cermin besar nampak menghiasi sebagian besar dindingnya. Aku melihat diriku yang tampak lusuh dengan baju yang berlumuran darah. Mataku begitu sembab dan wajahku sangat pucat, menyadarkanku betapa kacaunya diriku saat ini.

Kunyalakan air keran wastafel. Kubasuh wajahku dengan air. Aku kembali mematut diriku di cermin, berharap pantulan itu mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi, tidak. Pantulan itu hanya menatap sendu mataku. Aku memalingkan wajahku dan menatap tanganku. Sisa-sisa darah mengalir dengan cepat mengikuti aliran air. Sudut-sudut mataku kembali menghangat mengingat kejadian beberapa waktu lalu.

Kembali kubasuh wajahku, menyembunyikan air mataku yang kembali mengalir deras. Kucoba mengatur napas. Aku tidak boleh seperti ini. Andre akan baik-baik saja. Aku harus kuat untuk calon buah hati kami.

Aku memasuki salah satu bilik toilet dan mengganti bajuku. Aku keluar dan menemukan si perawat masih menunggu di depan pintu. Dia terlihat lega saat aku keluar dan kembali tersenyum hangat. "Mbak lapar? Mau saya belikan sesuatu?"

Tanpa sadar aku mengusap perutku. Mungkin aku merasa tidak lapar saat ini. Tapi, kusadari kini diriku tidak hanya milikku sendiri. Ada makhluk hidup lain di perutku saat ini. Aku tidak boleh bersikap egois dan berakhir menyakitinya.

Aku tersenyum dan mengangguk. "Tolong, ya, Mbak. Terima kasih."

Perawat itu tampaknya menyadari usapan di perutku. "Iya, Mbak. Mbak harus kuat buat dedek bayinya. Mbak tunggu aja di ruang tunggu di sana." Dia menunjuk sebuah ruangan penuh kursi.

"Iya, Mbak."

"Dek Ri!" Ayah muncul dari pintu UGD dan memanggilku dari kejauhan. Di belakang beliau muncul tiga orang lain yang juga terlihat resah, Ibu dan kedua calon mertuaku. Mereka buru-buru menghampiriku dan memeriksa diriku.

"Nggak ada luka kan?" tanya Ibu.

"Bayinya nggak apa-apa?" tanya Tante Rose.

"Aku nggak apa-apa. Dia mengincar Andre kurasa."

"Polisi sedang mencarinya. Jangan khawatir, ok?" Om David menepuk bahuku. "Aku tidak akan membiarkan dia menganggumu lagi."

Aku mengangguk pelan. Aku bahkan saat ini tidak memikirkan hal itu. Pikiranku dipenuhi dengan kekhawatiranku pada Andre. Hanya doa yang bisa terus kupanjatkan untuk membantunya saat ini.

Ibu mengajakku duduk di ruang tunggu. Kusentuh dan kuputar-putar cincin di jari manisku. Di benakku, aku membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi di hidupku. Aku akan menjadi orang tua tunggal tanpa suami. Aku bahkan bukan seorang janda karena aku belum menikah.

"Dek Ri." Ibu menggenggam tanganku. "Ibu yakin Andre akan baik-baik saja."

Tak ada respon dariku. Aku tidak ingin sebuah harapan palsu yang akhirnya akan membuatku kecewa. Aku harus menerima semua kemungkinan yang akan terjadi.

"Mbak, ini." Perawat yang membantuku sebelumnya memberikanku sebuah plastik berisi bungkusan coklat. "Dimakan dulu mbak. Saya nggak tahu mbak punya riwayat alergi atau nggak, jadi saya belikan nasi campur dengan dendeng sapi."

"Terima kasih, Mbak." Ibu langsung berdiri dan segera merogoh isi tas tangannya. Beliau menjabat tangan perawat itu dan tampaknya memberikan sesuatu sebagai balasan. "Maaf, Mbak ini nggak seberapa."

Perawat itu tampak enggan. "Nggak usah, Bu. Nggak apa-apa. Saya ikhlas."

"Nggak, Mbak. Ini ucapan terima kasih saya. Saya mohon diterima ya, Mbak."

"Terima kasih, Bu. Kalau ada apa-apa, nanti bisa panggil saya di front desk ya, Bu. Ibu dan keluarga tunggu saja di sini, nanti dokter akan segera ke sini setelah operasi selesai. Buat Mbaknya kalau capek, saya sudah siapkan ruangan istirahat."

Aku memaksakan senyum di bibirku. "Terima kasih, Mbak. Nanti saya kembalikan bajunya."

"Pakai dulu saja, Mbak. Saya ada baju ganti lain di tas. Kalau begitu saya permisi." Perawat itu berlalu meninggalkan kami.

Ibu segera membuka nasi bungkus di tangannya. "Mau Ibu suapin?"

Aku menggeleng. "Aku bisa makan sendiri." Kuambil bungkusan itu dan melahap makanan di depanku dengan diam.

***

Seorang dokter berpakaian hijau memberikan kabar bahwa operasi berjalan dengan sukses. Walaupun kondisi Andre sempat kritis saat tiba di rumah sakit dan kehilangan banyak darah, kini kondisinya sudah stabil.  Setelah operasi, Andre pun dipindahkan ke salah satu ruang inap. Kondisinya masih belum sadar karena pengaruh obat bius sebelumnya belum hilang.

Aku menatap tubuh Andre yang tidak berdaya terbaring di atas ranjang, dengan selang infus dan alat bantu pernapasan. Perasaanku begitu campur aduk. Aku tidak mengira akan merasakan momen seperti ini dalam hidupku. Kenapa hubungan kami dengan Yoga menjadi seperti ini?

Kugenggam erat tangan Andre, berharap dapat membuatnya merasakan kehadiranku di sisinya. "Cepatlah sadar. Aku sudah sangat merindukanmu."

"Riana, sebaiknya kamu pulang dan istirahat. Biar kami yang menjaganya." Tante Rose menepuk pundakku.

Aku menggeleng. "Aku tidak akan bisa tidur di rumah. Aku akan tetap di sini."

"Baiklah. Tapi, tolong jangan memaksakan diri. Kalau lelah bilang ya," sahut Om David. "Kami akan mengurus administrasi."

"Ibu dan Ayah akan mengambilkan baju ganti untukmu serta perlengkapan lainnya," kata Ayah. "Aku titip Riana ya Rose?"

Sekejap saja, di ruangan hanya tersisa aku dan Andre. Walaupun aku bersikeras untuk tetap berada di sisi Andre, harus kuakui diriku sangat lelah saat ini. Semalaman, aku tidak tidur dan kepalaku terasa sangat berat. Aku yakin kelelahan tiba-tiba ini karena pada akhirnya aku bisa bersama Andre dan mengetahui kondisi pastinya walaupun dia belum sadar.

Kuharap ini cuma mimpi.

***

Aku tersentak bangun saat sebuah tangan menyentuh wajahku. Tangan itu milik Andre. Dia sudah sadar walaupun terlihat masih lemah.

"Yang." Kugenggam tangan itu dan sebuah senyuman lemah tersungging di bibir Andre.

"Maaf ya, aku bikin kamu khawatir."

Aku menggeleng, menciumi tangan lelaki itu, bersyukur bahwa dia masih bisa tersenyum padaku. Di ujung mataku, air mata kembali menggenang. Rasa hampa yang kurasakan beberapa waktu lalu telah hilang seiring dengan air mata yang terus mengalir di pipiku.

"Andre?" Orang tua kami yang menyadarinya, mendekat ke sisi ranjang.

Kurasakan Ibu mengusap lembut punggungku. Ayah pun segera keluar ruangan untuk memanggil dokter. Sedangkan Om David menenangkan Tante Rose yang juga ikut menangis sepertiku. Tentu saja ini pasti lebih menyakitkan untuk Tante Rose. Jika terjadi sesuatu dia akan kehilangan seorang anak.

"Aku baik-baik saja."

"Bagaimana bisa baik-baik saja?" tanya Tante Rose dengan nada tinggi.

"Tapi, sekarang aku baik-baik saja, Ma."

"Harusnya Mama tahu saat kamu bilang Yoga mantannya Riana. Anak itu nggak beres. Sudah bikin hamil Diva, mau nikah juga dramanya banyak. Habis nikah masih drama lagi."

"Sudah, Ma, kan Andre baru sadar. Biar Papa yang beresin sama Kak Alan. Dia juga lagi cari menantunya. Mau kasih dia pelajaran." Om David menepuk punggung Tante Rose, lalu berjalan keluar.

PossessiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang