"Kamu gila, ya!?" teriak Icha. "Berarti kamu sama aja kayak cowok yang kamu pukulin kemarin!"
"Sabar, Cha." Dio menahan Icha yang coba memukulku. Sebenarnya, aku tidak keberatan dipukul olehnya, karena aku sendiri pun tahu bahwa yang telah kulakukan salah.
"Gimana mau sabar!? Aku juga cewek! Walaupun kamu ganteng, tajir, dan orang paling sempurna di muka bumi ini, tapi kamu bejat! Tidak ada yang lebih buruk dari itu!" seru Icha sebelum akhirnya menepis tangan Dio yang memegangi tangannya dengan erat. "Nggak ada satupun cewek yang pantas digituin! Brengsek!" Dia berjalan pergi meninggalkanku dan Dio.
Dio menghela napas panjang. "Bro, itu udah keterlaluan." Dia duduk di sampingku. "Aku nggak tahu kamu bisa bersikap seperti ini ke cewek, apalagi kamu suka sama cewek itu."
Aku mengangguk. "Aku tahu aku brengsek. Aku tidak tahu kenapa selalu merasa marah setiap melihatnya. Tapi, aku selalu ingin melihatnya."
"Aku mendapat beberapa informasi pribadinya, terutama masa lalunya." Dio menggeser notebook-nya ke arahku. Sebuah foto pria ditampilkan di layarnya. "Ini Gilang. Dia adalah teman SMP Riana. Dulu Riana pernah menembaknya, tapi ditolak." Tangan Dio menekan sebuah tombol dan menampilkan sebuah foto lama seorang anak perempuan. "Riana saat SMP sering di-bully karena penampilannya. Sedangkan Gilang kebalikannya, seperti dirimu. Jadi, menurutku dia menolak Riana karena tidak ingin orang-orang semakin mem-bully-nya. Cukup dewasa untuk anak SMP, berbeda dengan seseorang yang kukenal."
Kualihkan pandanganku ke arah Dio. Cari mati nih anak.
Dio mengedikkan bahunya. "Kenapa? Itu benar kan?" Dio kembali menekan sebuah tombol. "Ini foto mereka yang baru kudapat. Rasanya akhir-akhir ini kegiatanku seperti paparazzi."
Sebuah foto kebersamaan Gilang dan Riana memenuhi layar. Aku tercengang. Foto itu menunjukkan tangan Gilang yang sedang menggenggam tangan Riana sambil tersenyum menatapnya.
"Ok, sebelum kamu menghancurkan notebook-ku, masih ada informasi yang perlu kamu ketahui." Dio langsung menarik notebook miliknya saat menyadari telah menyulut kemarahanku. Dia mencari sesuatu dan kembali memperlihatkan sebuah foto Riana yang masih sangat muda bersama seorang pria lain.
"Aku tahu pria itu."
Sebelum aku mengutarakan pikiranku, Dio langsung memotongnya, "Benar sekali! Dia adalah calon suami kakak sepupumu. Dan ternyata ada hubungan rumit di dalamnya. Sulit sekali menggali informasi yang satu ini, karena sepertinya semua orang yang mengetahuinya merahasiakannya."
Dia pernah pacaran dengan si brengsek itu?
"Pria ini selingkuh saat berpacaran dengan Riana, bahkan setelah mereka bertunangan. Selingkuhannya banyak sekali. Ini hampir sama sepertimu versi lebih tua saja."
Aku menghela napas panjang. "Mau sampai kapan kamu akan berbicara sarkastik seperti itu?"
"Hei! Kamu orang jahatnya juga di sini. Dan aku melakukan semua hal stalking ini untuk membantu penjahat. Jadi, jangan protes kalau aku berbicara seperti ini. Ok, kita lanjut! Salah satu selingkuhannya adalah kakak sepupumu. Saat itu, ternyata dia hamil tapi keguguran karena nekat bunuh diri. Sedangkan Riana meninggalkan pria itu dan menghilang dari kehidupannya. Benar-benar hilang. Sampai saat ini, pria itu masih mencari keberadaan Riana. Mungkin karena itu, sangat sulit mendapatkan informasi ini."
"Dia masih menyukai Riana," gumamku.
"Sepertinya begitu." Dio segera memasukkan notebook-nya ke dalam tas.
"Bagaimana kunci duplikatnya?"
"Oh, ya itu." Dio merogoh salah satu kantong tas ranselnya dan mendapat serangkaian kunci dari dalamnya. "Ini. Aku benar-benar merasa bersalah pada Riana. Sayang sekali pria di sekelilingnya selalu menyakitinya. Mungkin dia akan lebih baik bersama Gilang."
Refleks, aku mendengus dan menatap Dio dengan tajam. "Pergilah sekarang atau kubuat kamu menyesal mengatakan itu."
Dio mengangkat kedua tangannya. "Aku sungguh berharap wanita ini akan bahagia suatu hari nanti."
"Aku akan membahagiakannya."
***
Untuk ke sekian kalinya aku menunjukkan sisi burukku pada Riana. Aku selalu melampiaskan kemarahanku padanya. Gilang, Yoga, semua tentangnya membuatku gila. Perasaan ini sangat baru untukku. Aku bahkan tidak tahu perasaanku akan sedalam ini kepada seorang wanita.
Melihatnya tertidur di pangkuanku saat ini membuatku merasa lega. Dia terlihat lebih tenang daripada sebelumnya. Aku telah menyakitinya lagi. Aku yang dengan sengaja mempertemukannya kembali dengan Yoga. Entah apa yang kupikirkan sebelumnya sampai berbuat seperti ini. Aku ingin membuktikan apa? "Maafkan aku." Aku berbisik di telinga Riana dan mengecup pipinya lembut.
Riana menggeliat pelan. Dia membuka matanya dan menatapku. "Berapa lama aku tertidur?"
"Tidak terlalu lama. Tidurlah lagi."
"Bolehkah?" Mata Riana masih tampak sayu. "Aku takut melewatkan kelas berikutnya." Dia terdengar lelah.
"Jangan khawatir. Aku sudah mengirim pesan pada asistenmu."
Riana kembali membenamkan wajahnya di leherku. "Baiklah. Bolehkah aku bertanya sesuatu?"
"Ya."
"Kenapa kamu memakai jas formal?"
"Aku bekerja. Aku membantu bisnis orangtuaku."
"Kamu pasti sangat sibuk. Mengerjakan tesis, kuliah, bekerja, dan--" Kalimatnya menggantung. "Dan harus mengurusku."
"Aku menyukai kegiatanku."
Riana mendengus dan tertawa kecil. "Kamu menyebalkan."
Siapa yang tidak menyukainya, jika pada akhir hari aku akan selalu bisa menemukanmu berada di pelukanku?
"Apa kamu menduplikat kunci rumahku?" Riana berbisik. Sepertinya, dia mulai mengantuk lagi.
"Ya."
"Sebegitunya kamu menyukai--ku--?" Lagi-lagi kalimat itu seperti menggantung. Tampaknya Riana kembali terlelap.
"Ya. Aku sangat menyukaimu." Aku memeluk tubuh Riana dengan erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Possessive
Любовные романыPria itu hadir begitu saja ke kehidupanku. Panggilan private yang muncul tiap malam di telepon genggamku membawaku ke dalam peristiwa yang tidak terbayangkan. Note: untuk versi revisi bisa dibaca lewat aplikasi fizzo/kubaca dengan judul yang sama