Extra: Cinta

1.5K 102 3
                                    

Setiap dua minggu sekali, keluargaku selalu mengadakan makan malam keluarga, dimana aku, kedua kakakku, dan orang tuaku akan berkumpul. Aturan nomor satu yang dibuat Mama adalah tidak boleh ada obrolan tentang pekerjaan. Orang tuaku akan lebih banyak mengorek tentang kehidupan pribadi ketiga anaknya yang masih lajang.

"Papa dengar kamu habis dari kantor Om Eka." Tanpa basa basi Papa memulai serangannya saat aku baru duduk di meja makan.

"Kan Mama sudah bilang tidak boleh membahas pekerjaan." Mama menatap Papa kesal.

"Ini bukan pekerjaan, Mama." Papa tersenyum lebar kepada Mama.

"Apa maksudnya?" Mama mengalihkan tatapannya padaku, menunggu jawaban.

"Eka bilang dia datang bersama Riana," jawab Papa.

Mata Mama melebar. Begitu juga kedua kakakku yang sedari tadi merasa santai karena malam ini tidak menjadi target interogasi. Mereka menatapku seakan tidak percaya apa yang telah mereka dengar.

"Serius?" Kak Ryan mulai tertarik. "Kamu suka wanita yang lebih tua?"

"Aku tidak tahu kalau Riana suka brondong." Kak Kevin ikut menyahut.

Aku tersenyum gugup. "Kami masih saling mengenal. Aku hanya mencoba lebih dekat dengan Om Eka dan Riana saja."

Mama tiba-tiba meletakkan sendok dan garpu di tangannya. "Lalu, bagaimana tanggapan Eka?"

"Baik, kurasa." Sepertinya, aku tidak perlu menjelaskan tentang bagaimana aku membuat Riana marah setelah merusak kartu SIM ponselnya. Tiba-tiba saja aku merasa bersalah karena dengan lancang melakukannya. Apa dia masih marah padaku?

"Kamu sangat menyukainya?" Pertanyaan Mama menarikku dari lamunan.

Aku menatap Mama. "Ya. Aku sangat menyukainya. "

Mama tersenyum lebar. "Baiklah." Beliau kembali memakan makanannya di piring. Sepertinya jawabanku membuatnya sangat senang.

"Mulai sekarang aku akan memanggilmu 'Andre si Bucin'," sahut Kak Ryan.

"Kurasa di antara kita bertiga, Andre yang akan menikah duluan," kata Kak Kevin. "Kami mendukungmu, Bro." Dia tersenyum.

***

Kemal, asistenku, membuka pintu kantorku setelah mengetuk beberapa kali. "Pak, ini sudah sangat larut. Sebaiknya Anda pulang."

"Benarkah?" Aku melirik jam tanganku. Waktu sudah hampir tengah malam. "Aku baru saja menyelesaikan beberapa berkas."

Setelah makan malam, aku memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaan kantorku. Beberapa berkas harus kuselesaikan hari ini sebelum tutup buku besok. Tapi, entahlah sepertinya kepalaku sakit sekali.

"Tidak apa-apa, Pak. Biar saya yang bereskan." Kemal menghentikanku saat mencoba membereskan mejaku yang penuh dengan dokumen. "Setelah ini saya antar pulang. Sepertinya wajah Anda sedikit pucat."

Aku menggeleng. "Tidak usah, Kemal. Pesankan taksi saja. Terlalu jauh untukmu pulang jika harus mengantarku terlebih dahulu." Aku bangkit dan berpindah duduk di sofa agar Kemal bisa membersihkan mejaku.

"Pesanan Bapak sudah saya letakkan di meja depan Bapak."

Aku melirik sebuah kotak ponsel model terbaru di depanku. "Bagaimana dengan file dan kontaknya?"

"Sudah saya alihkan semua. Anda tinggal memakainya."

"Terima kasih."

Aku merindukannya. Haruskah aku meneleponnya? Mungkin dia sudah tidur. "Tolong pesankan taksi sekarang. Aku akan ke rumah Riana."

"Baik, Pak."

***

Aku terbangun dari serangkaian mimpi buruk yang terasa sangat nyata. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhku. Aku menoleh untuk mencari keberadaan Riana dan dia masih di sana, tertidur dalam posisi duduk. Tumpukan bantal di belakangnya menopang tubuhnya sehingga dia tidak terjatuh. Kurasa dia juga sangat lelah.

Kubenahi posisi tidur Riana, mengatur bantalnya agar dia bisa tidur lebih nyaman. Lalu, aku meminum segelas air putih yang tampaknya telah disiapkan Riana untukku sebelum tidur. Demamku sudah turun dan baju yang kukenakan basah karena keringat, jadi kuputuskan untuk kembali tidur tanpa atasan.

Aku merebahkan tubuhku kembali dan melihat wajah Riana yang sangat dekat denganku. Aku teringat mimpiku sebelumnya. Riana meninggalkanku karena sudah tidak tahan dengan sikapku yang kekanak-kanakan. Dia bilang membenciku dan tidak ingin melihatku apapun alasannya. Lalu, dia memilih untuk bersama Gilang.

Kutatap lagi wajah wanita di sebelahku. Kuselipkan tanganku di balik kepalanya agar bisa memeluknya. Sungguh aku tidak tahu akan seperti apa jika kehilangannya. Saat ini, duniaku berputar di sekelilingnya. Aku menyukainya. Aku menyayanginya. Tidak. Aku mencintainya.

PossessiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang