Mantan

30.8K 1K 7
                                    

Yoga sedang berdiri di depanku. Mata coklat gelapnya tidak sungkan menatap langsung ke mataku. Dengan celana khaki dan kemeja band-collar berwarna biru malam memeluk tubuh Yoga seakan-akan pakaian itu khusus dibuatkan untuknya. Walaupun heels yang kupakai cukup tinggi, aku perlu sedikit mendongak untuk membalas tatapannya.

Mahasiswa yang berlalu lalang di sekitar koridor, melihat kami layaknya sebuah tontonan gratis di siang hari bolong. Entah drama apa yang akan dilakukan Yoga ketika tiba-tiba dia muncul, mencegatku yang baru saja keluar dari ruang kelas.

"Aku masih mencintaimu." Tiba-tiba kalimat itu terlontar begitu saja dari mulut Yoga.

Aku terkejut dan menatapnya bingung. Aku bertanya-tanya apakah pria di depanku adalah pria yang sama dengan mempelai pria berjas putih kemarin. "Kamu mabuk?" tanyaku. Kulirik buku-buku tebal di tanganku. Mungkin aku harus memukul kepalanya dengan benda ini.

"Kamu tahu kalau aku ingin menjelaskan semuanya padamu sejak dulu kan? Aku bahkan nggak ada perasaan apapun pada Diva. Perasaanku terhadapmu sama sekali nggak berubah."

Omong kosong apa yang dia bicarakan? Aku tersenyum sinis. "Dan aku sudah sangat lama membuangmu dari ingatanku. Aku tidak peduli berapa wanita yang akan kamu sakiti. Itu bukan urusanku. Yang menjadi urusanku sekarang, jangan ganggu aku." Aku melengos pergi melewati Yoga.

Tangan Yoga mencengkeram lengan atasku. Dia memperkecil jarak antara kami berdua dan mencium bibirku tiba-tiba.

Aku tersentak, membuatku menjatuhkan buku-buku tebalku ke lantai koridor. Untuk sepersekian detik aku terkejut dan menyadari betapa marahnya aku dengan sikap Yoga. Aku menampar pipi Yoga dengan tanganku yang bebas, membuatnya terkejut. "Jangan pernah mempermainkanku lagi!"

Tidak peduli berapa banyak pasang mata yang ikut terkejut melihat adegan yang kami suguhkan, aku tanpa malu beranjak pergi setelah mengumpulkan buku-bukuku. Aku harap dia segera menyadari kesalahannya dan pergi dari kampus secepatnya. Sifatnya benar-benar tidak berubah. Masih saja seenaknya. Bahkan dia masih menerapkan metode 'cium sana cium sini'-nya.

Aku ingat ciuman pertamaku adalah ciuman Yoga. Berbeda situasi, tapi dengan cara yang hampir sama dia mencium bibirku di tempat umum secara spontan. Saat itu, aku tidak benci dia melakukannya. Hanya sedikit malu saat melihat orang-orang di sekitar menatap kami. Tapi, saat tadi dia melakukannya kembali, yang timbul dari dalam diriku adalah rasa marah. Aku tidak lagi mencintainya.

Perasaanku terhadap Andre pun seharusnya tidak berbeda jauh dari ini. Tapi kenapa aku tidak bisa menolaknya?

Aku termenung setelah mendaratkan tubuhku duduk di kursi kerja di ruanganku. Aku sedikit terkejut dengan kenyataan bahwa aku bisa begitu benci dengan seorang mantan. Ternyata aku tidak sepenuhnya pemaaf.

Kemunculan Yoga menarikku dari lamunan. Tampaknya dia belum selesai dengan urusannya terhadapku. Tapi, tidak kusangka dia akan mengejarku hingga ke ruang dosen seperti ini. Akan terlalu banyak dosen-dosen senior yang melihat kami karena tentu saja di sini bukan tempat yang tepat untuk adu mulut masalah pribadi.

"Apa yang kamu lakukan?" tanyaku, membuka pintu ruanganku. Aku ingin dia berhenti terus menerus mengetuk pintu ruanganku dengan tidak sabar. "Aku sudah tidak ingin berurusan denganmu. Jadi, pulanglah."

Dengan kasar, Yoga mencengkeram pergelangan tanganku. "Aku belum selesai. Aku tidak akan melepaskanmu dengan gampang seperti dulu." Yoga menarikku kembali masuk ke ruangan. Dia menutup pintunya dan memaksaku merapat ke dinding.

"Apa kamu sadar dengan yang kamu lakukan?" tanyaku.

"Apa yang kamu lakukan dengan Andre, si bocah tengil itu?" wajah Yoga mengeras.

"Itu bukan urusanmu. Untuk apa kamu ikut campur?"

"Karena aku tidak suka melihatmu dengan pria lain, terutama dengan dia. Kamu pasti tidak tahu kalau dia itu pria brengsek. Banyak wanita yang sudah dia permainkannya sebelum dirimu. Seharusnya kamu menghindarinya. Terlebih lagi, dia jauh lebih muda."

Aku tertawa sinis. "Kalau Andre adalah pria brengsek, lalu kamu apa? Kamu juga tidak lebih baik darinya. Jadi, berhentilah mengurusi masalah pribadiku. Aku berkencan dengan siapapun, itu bukan urusanmu."

Tidak ada rasa takut sama sekali dalam diriku. Aku bukan Riana yang dulu--si pengecut yang selalu berlindung di belakang orang lain.

Yoga mengangkat tubuhku tiba-tiba, membawaku duduk di atas meja kerjaku yang penuh dengan buku. Dia sedikit membungkuk di depanku hingga wajah kami sejajar. Tatapannya tampak sedih. "Aku masih sangat mencintaimu, Ri." Nama panggilan yang sudah lama tidak pernah kudengar, meluncur begitu saja dari mulut Yoga. "Itu yang membedakanku dengan bocah itu."

Aku masih bisa mengingat kebahagiaan kami saat bersama. Tapi, perasaanku padanya sudah sangat lama hilang. Tidak pernah sama sekali aku membayangkan akan menjatuhkan diriku di tempat yang sama. Ingatan-ingatan itu sudah menjadi kenangan bagiku. Tidak lebih.

"Seharusnya kamu berhenti melakukannya," kataku datar. "Karena aku sudah jauh meninggalkan perasaanku padamu bertahun-tahun lalu."

Yoga terdiam. Dia masih menatapku walaupun ekspresi wajahnya telah berubah. "Apa yang dia lakukan padamu?"

Aku mengerutkan dahiku. "Dia siapa?" tanyaku tidak mengerti.

"Dia pasti sudah menghasutmu kan? Bocah tengil itu pasti yang menyuruhmu agar berbicara seperti ini padaku."

"Siapa? Maksudmu Andre?" Aku sangat terkejut dengan reaksi Yoga. Kupikir dia akan mundur teratur dan mengurungkan niatnya untuk melakukan hal lebih dari ini. "Dia sama sekali tidak ada hubungannya dengan ini."

"Aku tidak percaya!" Yoga berteriak. "Kamu tidak akan mengatakan hal seperti itu padaku. Aku tahu itu!" Dia histeris dan tampak sangat frustasi. "Katakan padaku apa yang dia lakukan padamu." Tangan Yoga mencengkeram kedua lenganku dengan kasar.

"Apa kamu sudah gila?"

Yoga kembali terdiam. Kali ini cukup lama dia memandangku dengan cengkeraman tangan yang terasa mulai menyakitkan. Seperti kerasukan, dia menarik tubuhku ke dirinya dan mulai menciumi wajahku. Tidak jarang dia seperti membauiku, membuat terpaan angin dari hembusan napasnya menggelitik kulitku. "Aku memang gila."

Lidah Yoga mulai menjelajahi leherku di balik kerudung hitamku. Aku tidak bisa mengelak. Dia begitu kuat dan aku sama sekali tidak bisa bergerak.

"Tidak akan ada wanita yang bisa membuatku gila seperti ini, kecuali kamu. Bahkan ketika aku tidur dengan pelacur-pelacur itu, aku membayangkan kalau mereka adalah kamu, Ri. Bagaimana mungkin kamu bisa membuatku sangat terobsesi padamu?" Yoga terdengar terengah-engah. Tampaknya dia sangat menikmati sentuhan kulitku di bibirnya.

Kenyataan yang baru saja terungkap membuatku terpana. Tidak kusangka pikiran Yoga selama ini sama dengan para pria yang sengaja mendekatiku. Kupikir selama ini aku sudah salah menilai Yoga. Ternyata dia lebih brengsek dari penilaian awalku. Aku begitu menyesal dengan masa laluku yang hampir tidak bisa melupakan Yoga. Rasanya sangat sia-sia saat kuingat betapa berharapnya aku dulu untuk tetap bersamanya.

Tangan kanan Yoga sudah melepas cengkeramannya dari lenganku. Dia meremas payudara kiriku dari luar blus tipis yang kupakai. Kurasakan napasnya semakin tidak beraturan berhembus menyentuh kulit leherku.

Belum puas dengan remasan tangannya, tangan Yoga mulai menyelinap masuk untuk melepaskan kait braku. Dengan satu kali hentakan, braku sudah lepas dan Yoga tampak begitu gemas dengan putingku. Ini adalah pertama kalinya jarinya bisa bermain di salah satu area sensitifku.

Aku sama sekali tidak dapat bergerak, karena Yoga memelukku erat. Aku pun sama sekali tidak dapat berteriak karena dengan cepat bibirnya menghentikanku, membekap mulutku dengan ciumannya.

Apa ini?

Yoga sama sekali tidak memberiku kesempatan untuk mengatur napasku. Panik tiba-tiba menguasaiku dengan cepat dan berbagai warna sudah masuk ke dalam penglihatanku. Alam bawah sadarku mengatakan bahwa tubuhku sudah tidak dapat menyanggupi ciuman Yoga.

PossessiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang