Seorang wanita di televisi sedang berdiri berhadapan dengan seorang pria. Wanita itu mengungkapkan rasa suka yang selama ini dipendamnya kepada si Pria, setelah menjelaskan bahwa dia tidak memiliki hubungan apapun dengan kakak si Pria. Si Pria yang sangat terkejut itu segera menarik si Wanita ke pelukannya dan menciumnya.
"Cowoknya ganteng banget," gumamku.
"Kamu suka cowok cantik kayak gitu?" Andre yang sedang duduk di sampingku tiba-tiba terdengar kesal. "Dia pasti operasi plastik. Itu sudah jelas."
Aku terkikik. "Kenapa juga kamu harus cemburu sama artis Korea? Cowok-cowok di sana kan memang wajahnya seperti itu, jadi ya udah standar wajah mereka ganteng tuh seperti itu."
"Ya, aku nggak suka kamu muji cowok lain di hadapanku."
"Apa sih? Kayak kamu ga pernah muji cewek lain aja," kataku dengan nada menyindir.
"Memang ga pernah."
"Bohong banget. Dasar cowok."
Tiba-tiba televisi di hadapan kami mati. Aku terkejut dan refleks mengalihkan pandangan ke tangan Andre yang menekan salah satu tombol di remote.
"Kenapa dimatikan?" tanyaku agak kesal karena sedang berbunga-bunga melihat adegan di layar TV itu.
Andre bangkit dari duduknya dan dengan tanpa basa basi mengangkat tubuhku seketika. Aku merasa seperti tuan putri yang baru dijemput oleh pangeran berkuda putihnya.
"Dramanya kan belum habis. Kenapa jadi tiba-tiba menggendongku?"
"Kita akan membuat drama kita sendiri." Andre membawaku ke sebuah ruangan lain, yaitu kamar tidurnya. Dia menurunkan tubuhku di sebuah ranjang besar dengan banyak kelopak bunga mawar di atasnya.
"Kamu melakukan ini?" Aku terkejut dengan betapa banyaknya kelopak bunga mawar di sekitarku. Di sebelahku, sebuah kotak hitam berukuran besar tampak mencolok di antara kelopak bunga mawar. Apa ini? Dia mencoba bersikap romantis?
"Pakai itu. Aku akan menunggumu di luar." Andre berjalan keluar kamar meninggalkan diriku yang masih termenung. Entah berapa lama dia menyiapkan hal ini. Kadang dia bisa bersikap sangat manis.
Aku membuka kotak di sampingku. Sebuah gaun malam berwarna merah dan pakaian dalam berwarna serasi. Apa maksudnya menyuruhku menggunakan baju tipis ini? Dia menyuruhku menggodanya?
Walaupun di dalam hatiku mengeluh, aku tetap mengganti bajuku dengan isi kotak itu. Aku mengernyit saat melihat pantulan bayanganku di cermin. Bra yang kupakai sangat menerawang dan hanya sedikit menutupi payudaraku. Celana dalamnya hanya menutupi bagian intimku, benang segaris itu tidak menutupi apapun di tubuh. Lalu, gaun merah berleher rendahnya pun hanya sekedarnya menutupi beberapa bagian tubuh. Kainnya menerawang seakan-akan aku tidak memakai apapun sekarang.
Hari ini dia menyuruhku memakai gaun seperti ini, lain waktu pasti dia akan mengirimkan baju cosplay seksi untuk gairah seksnya. Aku menggeleng pelan, merasa pusing telah masuk ke lubang hitam ini.
Aku berjalan keluar kamar. Aku mencari Andre dan menemukannya sedang berdiri menatap langit. Aku terkejut melihat dia tidak menggunakan atasan apapun dan dia mengganti bawahan dengan celana piama longgar.
Aku berdiri terpaku melihat punggung coklat bidang di hadapanku. Aku merasakan suatu desiran di dalam diriku. Kusentuh punggung itu dengan lembut.
Andre tidak berpaling seketika. Dia masih membiarkanku menyentuh tubuhnya beberapa saat. "Padahal kamu bilang perlu bantuan untuk tesismu," kataku dengan jari masih menelusuri kulit punggungnya.
"Kamu hanya perlu bersamaku saja, Bu Dosen." Andre berbalik dan melihatku. Matanya meneliti tubuhku. "Bukankah bantuan psikologis itu lebih penting dari pada hal lain?" katanya, lalu dia membungkuk dan mencium bibirku.
Tangan Andre menyentuh wajahku, kemudian berhenti di belakang leherku, membuatku tidak bisa menghindar. Beberapa saat kemudian, Andre membimbingku untuk melingkarkan tanganku di lehernya. Lalu, tangannya bergerak ke bawah, membimbingku untuk melingkarkan kakiku di pinggangnya.
Dengan mudah, Andre mengangkat tubuhku. Dia membawaku kembali ke kamarnya. Kini, kami masih saling berciuman di ranjangnya yang penuh dengan kelopak bunga mawar. Ciumannya menyapu leher, dada, perut, hingga pangkal pahaku kemudian berhenti.
Aku merasakan tangannya menyingkap gaunku. Dia memberikan sentuhan lembut di sekitar pangkal pahaku, membuatku merasakan desiran nikmat di tubuhku. Andre masih menggodaku dengan memainkan klitorisku dari balik celana dalam tipis.
"Dre," panggilku, ingin rasanya aku segera menuntaskan ini. "Please.."
"Kenapa, Sayang?"
Hanya perlu menarik sedikit celana dalamku agar Andre bisa melakukan permainannya. Tapi, dia masih tidak melakukannya dan tetap melakukan foreplay yang membuatku menjadi tidak sabar.
"Tolong, masukin."
"Masukin apa, Sayang?" Andre merangkak di atas tubuhku. Dia menatap mataku yang nanar dengan tangannya yang masih beraksi.
"Punyamu--" Aku tercekat saat beberapa jari Andre mulai masuk ke dalam vaginaku.
"Ini?" tanyanya dengan nada menggoda. Dia menatapku dengan tersenyum nakal.
Ya. Kamu memang sudah menaklukanku! "Bukan." Aku menyentuh bagian bawah tubuh Andre yang sudah menegang di balik celananya. "Ini. Please."
Andre tampak senang melihatku tak berdaya dan memohon-mohon seperti itu. Dia mengangkat tubuhku. Kini kami berdua berdiri di sebuah cermin besar. Andre berdiri di belakangku. Kami berdua menatap bayangan kami di cermin.
Saat aku terpaku melihat wajahku yang memerah, Andre dengan cepat memasukkan penisnya ke dalam vaginaku tanpa peringatan. Aku mengerang. Refleks, tanganku mencoba menahan tubuhku dan bertumpu pada cermin.
Andre mulai bergerak maju mundur. Aku mendesah pelan di setiap gerakan yang dibuatnya. "Coba lihat ke depan," kata Andre.
Pandanganku teralih ke sosok wanita di pantulan cermin di depanku. Seperti itu kah wajahku setiap kali Andre menyetubuhiku? Wajah itu tampak sensual, seakan-akan aku ingin meminta lebih dan tidak ingin berhenti dengan apa yang sudah kulakukan.
Andre bergerak lebih cepat. Aku mulai mengeluarkan suara-suara yang selalu berhasil membuat Andre semakin semangat. "Kamu tahu seberapa seksinya kamu sekarang, Sayang?" Andre berbisik di telingaku saat mata kami bertemu di pantulan cermin. "Bagaimana bisa lelaki lain tahan melihatmu sperti ini?"
Aku melenguh. Cairan hangat memenuhi vaginaku. Kakiku lemas seketika. Andre dan miliknya yang masih berdiri tegak menggendongku kembali ke ranjang. Tak kusangka kata-kata kotor Andre itu berhasil membuatku klimaks dengan sangat cepat.
Bibir Andre kembali mendarat di bibirku. "Dosen seksiku, ini baru permulaan."
***
Aku mengerjapkan mataku. Aku memandang ke arah nakas dan melihat sebuah jam digital menunjukkan angka 11.27. Ini sudah siang. Aku benar-benar kelelahan saat ini. Bahkan menyingkarkan tangan Andre yang melingkar di pinggangku saja rasanya tidak sanggup.
Kupejamkan mataku lagi. Aku mengingat seks yang dilakukan Andre tadi malam tidak begitu kasar seperti dulu. Kemudian, mengingat penisnya dapat tegang lagi dengan begitu cepat setelah penetrasi membuatku tercengang. Dia biasanya akan berhenti setelah melakukannya dua kali. Tapi, tadi malam.. Entah dia minum obat atau memakai semacam viagra. Dia benar-benar membuatku hampir pingsan.
Aku sedikit menggerakkan tubuhku agar dapat melihat wajah Andre yang tertidur pulas. Kusentuh wajah polos itu dengan lembut dan mengusap bulu halus di wajahnya yang mulai tumbuh. Dia tampak damai.
Mataku tiba-tiba teralihkan dengan benda kecil di jari manisku. Sebuah cincin bermata hitam. Kapan aku memakainya?
"Kamu suka?" tanya Andre setelah membuka matanya. Sepertinya dia sudah bangun beberapa saat yang lalu, tapi tetap memejamkan matanya untuk melihat reaksiku saat melihat cincin itu.
"Ini buat apa?"
"Maukah kamu menikah denganku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Possessive
RomancePria itu hadir begitu saja ke kehidupanku. Panggilan private yang muncul tiap malam di telepon genggamku membawaku ke dalam peristiwa yang tidak terbayangkan. Note: untuk versi revisi bisa dibaca lewat aplikasi fizzo/kubaca dengan judul yang sama