Berkas-berkas tugas mahasiswa berserakan di atas tempat tidurku. Beberapa lembar kerja mereka sudah kuperiksa dan kuberi nilai. Sebagian besar, tampaknya sudah mulai paham dengan kuliah yang telah kusampaikan.
Kulirik jam dinding di kamarku. Hampir dua jam aku telah bekerja. Mataku terasa sudah lelah, tanda aku harus mengakhiri hari sebentar lagi. Jadi, kuputuskan untuk membereskan kertas-kertas tugas itu dan merapikan tempat tidurku.
Rutinitasku sebelum tidur pun tidak kulupakan. Aku pun berjalan kamar mandi dan memulainya dengan menyikat gigi serta buang air kecil. Kubersihkan wajahku dan memberikan sedikit night cream sebagai akhirnya.
Aku mengatur suhu ruangan agar aku tidak harus terbangun saat tengah malam karena kedinginan. Tombol lampu pun kutekan. Hanya cahaya remang-remang dari lampu balkon yang menerangi kamarku.
Kusingkap selimut dan bersiap memosisikan tubuhku di ranjang, sebelum akhirnya kubatalkan karena sayup-sayup terdengar suara pintu rumahku terbuka. Aku terlonjak. Bukankah sedikit terlalu malam untuk bertamu jam segini.
Aku dengan hati-hati melangkah keluar kamar dan menuruni tangga. Jika itu pencuri aku harus waspada dan bersiap untuk kemungkinan terburuk. Entah kenapa pikiranku seketika berkecamuk dan mereka adegan yang akan kulakukan jika aku melihat orang asing itu. Mungkin penggorengan akan sedikit berguna di saat seperti ini.
Kuintip sedikit ruangan dapur--satu-satunya ruangan di rumahku dengan lampu yang masih menyala. Aku melihat seorang pria bertubuh tinggi sedang melakukan sesuatu menghadap ke arah meja dapur. Kakiku melangkah pelan mendekati sosok itu dan mendapati jantungku berdegup lebih kencang.
Hampir saja aku berteriak saat pria tinggi itu berbalik dan mata kami saling bertemu. Perasaanku tercampur aduk antara terkejut, lega, dan sedikit kesal saat melihat Andre--yang tentu saja ikut terkejut, sedang membawa secangkir kopi di tangannya.
"Apa yang kamu lakukan? Ini sudah tengah malam," kataku dengan sedikit mendengus.
Untung saja aku tidak benar-benar memukulnya dengan penggorengan.
Andre meletakkan kopi di tangannya di meja dan mulai membuka tas kecil di depannya. Dia mengeluarkan sebuah kotak dan sebuah benda kecil persegi mirip amplop kecil. "Ini untukmu."
"Apa itu?" Aku masih berbicara dengan nada sinis.
"Ponsel dan sim card pengganti." Andre menatapku yang tidak bergeming dari posisiku. "Aku sudah mengurus semua hal yang berhubungan dengan kolegamu di nomor yang baru." Wajah Andre tampak lelah.
Aku menatap Andre. Pakaiannya sudah berganti dengan sebuah kemeja oxford coklat. Dia tampak sangat formal di tengah malam seperti ini. Dengan sangat maskulin dia duduk di salah satu kursi di balik meja dapur dan menyeruput kopi di depannya. Aku tahu dia coba menyembunyikan kelelahannya di balik ketenangannya.
Andre kembali menatapku. "Kemarilah."
Aku masih tidak bergeming. Kuingat pakaianku yang sedang tidak pantas saat ini. Sebuah kaus oblong putih longgar tanpa bra dan hanya mengenakan celana dalam. Tidak mungkin aku berjalan ke arah Andre dengan penampilan seperti ini. Kalau aku tahu Andre akan datang ke sini, aku tidak mungkin memakai baju segembel ini.
"Habiskan kopinya dan pulanglah," kataku.
Dengan tatapan yang masih terkunci padaku, Andre terdiam beberapa saat. "Kemarilah."
"Ini sudah sangat malam. Sebaiknya kamu pulang."
"Aku bilang kemari, Riana," ulang Andre. Kali ini dia bersuara sedikit lebih tinggi.
Aku pun dengan pelan berjalan ke arah Andre. Tekadku selalu menciut setiap Andre meninggikan suaranya padaku.
"Lebih dekat," kata Andre.
Kuperkecil jarakku dengan Andre. Setelah cukup dekat, Andre menjangkau tangan kiriku, menarikku semakin mendekat ke arahnya. Dia memelukku. Telinganya tepat berada di jantungku. Kuharap jantungku tetap berdetak normal dan tidak memberikan reaksi apapun pada pelukan yang diberikan Andre.
"Kamu sakit?" tanyaku setelah merasakan suhu tubuhnya yang berbeda dari biasanya. Kusentuhkan telapak tanganku di dahi Andre, menimbang-nimbang suhu badannya. "Sudah makan?" tanyaku lagi.
"Belum," kata Andre lemah.
"Aku masakin ya? Nasi goreng mau?"
"Iya."
"Kalau iya tuh, dilepas pelukannya."
Andre tampak berat menjauhkan dirinya dariku. "Jangan lama-lama."
"Iya, nggak lama-lama." Aku berjalan ke arah kulkas. Kuambil beberapa bahan segar dari kulkas dan meletakkannya di meja dapur. Kupotong-potong sedikit sayur, lalu kucuci hingga bersih.
Sebuah tangan menyentuh leherku saat menyiapkan penggorengan. Aku tersentak kaget dan mendapati Andre mengikat rambutku, lalu menggelungnya. "Lama sekali." Andre memeluk tubuhku dari belakang. Dia meraba tengkuk leherku dengan bibirnya.
"Ini sebentar lagi. Tinggal digoreng. Aku nggak bisa selesaikan ini kalau kamu nempelin aku begini."
Aku sangat yakin Andre mengabaikanku. Dia bersikap sangat manja sekarang. Bibirnya masih menelusuri tengkuk leherku, menyadarkanku bahwa suhu tubuhnya yang semakin naik itu berbekas di kulitku.
Sedikit keberanian mendorongku untuk meneruskan pekerjaanku. Jika Andre tidak segera makan dan minum obat, dia akan tumbang sebentar lagi.
Kupanaskan mentega di atas penggorengan, membuat aroma khasnya memenuhi dapur. Kumasukkan bumbu halus dan kutunggu hingga harum. Satu persatu bahan utama kumasukkan. Nasi dan potongan-potongan sayur sudah kucampurkan, lalu kuaduk rata. Tidak perlu waktu lama, hingga nasi goreng pun matang.
Aku melepaskan pelukan Andre dan berbalik. "Makan, minum obat, lalu istirahat."
Aku mengambil sebuah piring kaca dan menyiapkan seporsi nasi di atasnya. Dengan segera aku menyiapkan segelas air dan sebuah obat penurun demam di atas meja makan. Setengah menyeret, kubawa Andre duduk manis di kursi di balik meja makan.
"Habiskan. Kalau mau lagi, masih ada di wajan. Aku akan mengambilkannya lagi." Andre menatapku. Dia tampaknya tidak suka dengan penampakan obat kapsul di depannya. Jadi, aku hanya terdiam dan balik menatapnya, menunggu sendok di tangannya terbang masuk ke dalam mulutnya.
Ragu-ragu, satu sendok pertama nasi goreng di tangan Andre pun meluncur masuk ke dalam mulutnya. Dia mengunyah dengan pelan.
Setelah memastikan Andre benar-benar makan, aku berjalan ke arah wastafel. Alat-alat masak sudah menunggu untuk kucuci. Sesekali aku melirik ke arah Andre, mencari tahu apakah dia tetap menelan makanannya walaupun aku tidak memperhatikan. Andre tampak dengan santai terus melahap makanan di depannya hingga habis.
Diam-diam, aku tersenyum sendiri. Aku sangat suka melihat seseorang memakan masakanku dengan sangat lahap. Setidaknya jerih payahku dihargai.
Kutiriskan peralatan masak di sebuah keranjang kecil di sisi wastafel. Aku mencuci tanganku dan menyampirkan celemekku di kursi.
"Ayo, sekarang minum obatnya," kataku saat dia hanya terpaku pada sosok benda kecil di depannya. "Diminum," perintahku.
Dengan hati-hati, Andre mengambil obat dan memasukkannya ke dalam mulut. Dia menelannya dan segera menenggak habis air putih.
Aku tertawa. Kuusap kepalanya, "Anak pintar. Sekarang kamu harus tidur."
KAMU SEDANG MEMBACA
Possessive
Roman d'amourPria itu hadir begitu saja ke kehidupanku. Panggilan private yang muncul tiap malam di telepon genggamku membawaku ke dalam peristiwa yang tidak terbayangkan. Note: untuk versi revisi bisa dibaca lewat aplikasi fizzo/kubaca dengan judul yang sama