Hampir saja Yoga merobek pakaianku ketika terdengar suara dobrakan pintu. Andre dengan cepat menarik Yoga dan melayangkan tinju ke wajahnya.
Aku yang sedang mencoba mengatur napasku, hanya bisa melihat Yoga dan Andre saling adu pukul. Aku tidak begitu memperhatikan situasi di sekitarku. Tiba-tiba saja banyak orang melerai perkelahian mereka dan seorang karyawan tata usaha membantuku membenahi diri.
"Andre," panggilku lemah tepat sesaat sebelum kepalan tangan Andre melayang ke arah wajah Yoga. Dia berhenti seketika dan melihatku. Aku hanya menggeleng pelan. Aku tidak ingin keributan semakin membesar.
"Kalau berani sekali lagi muncul di hadapan Riana, aku tidak akan mengampunimu!" seru Andre dengan tangannya yang terkepal hampir mengenai wajah Yoga. Orang-orang segera memisahkan mereka berdua. Yoga pun dibawa keluar ruangan.
"Mbak, minum dulu." Karyawan tata usaha bernama Asri itu sambil menyerahkan sebuah air mineral botol yang sudah terbuka padaku.
"Terima kasih, Sri." Aku menerima air itu dan meminumnya. "Sudah, Sri, aku nggak apa-apa. Kamu bisa balik ke ruanganmu."
"Iya, Mbak." Asri melirik ke arah Andre yang sedang berdiri menatapku, kemudian berlalu meninggalkan kami berdua.
Andre menatapku dan tidak bergeming dari tempatnya. "Apa yang sudah dilakukannya kepadamu?" Dia berjalan mendekatiku. "Jawab aku!" serunya, membuatku tersentak kaget.
"Kumohon jangan memulainya. Aku lelah."
Andre menyingkirkan air mineral di tanganku--diletakkannya di sebuah meja kecil di dekat lemari arsip. Tangannya pun mengangkat tubuhku dari kursi kerja dan membuatku duduk di atas meja di depannya. Kini, Andre memosisikan dirinya duduk di kursi kerja, berhadapan denganku--membiarkan kedua kakiku mengapit tubuhnya.
"Dimana dia menyentuhmu?" tanya Andre lebih lembut--walaupun masih terdengar nada perintah di suaranya.
"Tidak ada."
"Jangan bohong padaku." Andre menggenggam tanganku yang terkulai di sisi tubuhku. "Apa yang dia lakukan selain mencium bibirmu?"
Andre sedikit beringsut dari kursi dan mengecup lembut bibirku. Lidahnya menelusuri pelan rongga mulutku beberapa lama kemudian dilepaskannya. "Dia mencium lehermu?" Dia menatapku serius.
Aku hanya diam. Tidak ada persetujuan atau penolakan apapun.
Seperti insting, Andre menyingkap sedikit kerudungku. "Dia menciummu di sini." Dia menyentuh bagian leherku yang tampaknya ditandai Yoga dengan gigitannya. Andre lagi-lagi dengan lembut mengecupnya, sedikit menghilangkan rasa pedih di sana. "Apa dia menyentuh payudaramu?"
Aku masih diam tidak menjawab. Tapi, tampaknya Andre sudah mengetahuinya hanya dengan menatap mataku.
Tangan Andre menyingkap blusku hingga memperlihatkan dua gunung kembarku yang tertutup bra hitam. Lalu, dia menelusupkan tangannya ke punggungku untuk membuka kait bra. Dengan mudah, Andre meloloskan payudaraku dari bra, membuatnya kini tergantung tepat di depan wajahnya.
Andre menyentuh putingku dengan jari dinginnya. Rasanya begitu berbeda dengan permainan jari Yoga. Aku bisa merasakan tubuhku gemetar hanya dengan sentuhan kecil Andre di tubuhku.
"Apakah respon tubuhmu sama saat dia melakukannya?" gumam Andre.
Nafasku mulai terasa tidak beraturan. Nampak sekali saat dadaku mulai bergerak naik turun dengan lebih cepat. Itu sama sekali tidak membuat jari Andre berhenti memainkan putingku. Dia bahkan mulai mendekatkan wajahnya dan melahap salah satu puting di mulutnya.
Lidahnya bergerak melumat ujung payudaraku itu dengan lembut. Gigi Andre pun sedikit menggigitnya, membuatku tanpa sadar mendesah pelan. Payudaraku yang lainnya dipijat dengan pelan--terkadang jarinya ikut menekan-nekan putingnya.
Tak berapa lama, Andre menghentikan aktivitasnya. Kemudian, dia mengangkat tubuhku layaknya mengangkat seorang anak kecil ke pangkuannya. Wajah kami kini hampir sejajar. Tidak ada pemaksaan apapun seperti yang dilakukan Andre biasanya. Tubuhku hapal dengan sentuhannya dan menurut saja seakan terkena bius. Bahkan rasa sakit karena ulah Yoga kuabaikan begitu saja.
"Maafkan aku." Andre mengeluarkan sebuah kalimat yang membuatku terkejut. "Karena keegoisanku, semuanya menjadi seperti ini. Coba saja aku tidak membawamu ke acara resepsi itu, dia pasti tidak akan menemukanmu."
Aku menyentuh wajah Andre. Dia memejamkan matanya, merasakan tanganku bermain di kulitnya. Ciuman-ciuman kecil dilayangkannya di tanganku saat tersentuh bibirnya. Andre pun tak lama kemudian membuka matanya kembali, menatapku.
Bibirku disentuh bibirnya dengan lembut. Tangannya mulai mengusap-usap punggungku. Sedangkan tanganku masih menangkup sisi wajahnya agar tidak menghentikan ciumannya.
Jujur, aku begitu menantikannya kali ini. Tiap sentuhan yang saling kami lakukan bagaikan sengatan listrik statis yang membuatku mabuk.
Rasa hangat tangan Andre membekas di punggungku, kini beralih ke perut. Andre mengusap perut bagian bawahku. Tangannya meraba kancing celana kulot yang kupakai dan membukanya. Jarinya mulai menelusup masuk di dalam celana dalamku.
Aku melenguh tertahan dengan mulut yang masih beradu dengan Andre. Kurasakan jari-jari Andre menemukan klitorisku, menekannya dan menggeseknya pelan.
Tak lama, jari-jari Andre mulai memasuki vaginaku. Vaginaku yang sudah basah, terus mengeluarkan cairan-cairan setiap jari Andre mengobok-obok kewanitaanku.
Aku mulai sulit bernapas. Kulepaskan ciuman Andre dengan paksa. Suara lenguhan dan desahan napas menjadi satu keluar dari tenggorokanku. Walaupun, aku menikmati jari Andre, di dalam diriku ada dorongan untuk meminta lebih. Aku menginginkan penisnya.
Seakan membaca pikiranku, tiba-tiba Andre mengangkat tubuhku kembali duduk di atas meja. Dia menurunkan celana beserta celana dalamku, lalu membuangnya ke lantai. Diangkatnya kakiku melewati bahunya, membuat vaginaku terpampang jelas di depan wajahnya. Andre melirikku sekilas sebelum akhirnya, mendaratkan lidahnya memasuki lubang kewanitaanku.
Aku tersentak, membuat tubuhku melengkung saat menikmati sensasi permainan lidah Andre di vaginaku. Cairan wanitaku pun terus mengalir dan tanpa ragu Andre menghisap semuanya.
Permainan Andre belum selesai. Untuk kesekian kalinya dia mengangkat tubuhku. Kali ini, dia sudah mengeluarkan penis panjangnya yang sudah tegak menantang, mendudukkan tubuhku tepat di atasnya. Tidak begitu sulit hingga aku merasakan penis Andre mendesak dinding rahimku.
Andre tampak ringan menaik-turunkan tubuhku agar penisnya dapat mengocok liang vaginaku. Payudaraku yang menari bebas pun tidak dibiarkannya menganggur. Putingku sudah digigitnya pelan, membuatku tidak bisa menahan desahan-desahan keluar dari bibirku.
Semakin cepat penis Andre keluar masuk di vaginaku, semakin sering vaginaku berkedut. Aku menggigit bibir bawahku, mencoba meredam suara lenguhanku yang semakin keras. Andre yang menyadarinya, melepas putingku di mulutnya dan mencium bibirku.
Klimaksku akan segera datang. Kurasakan keringat mengalir di keningku walaupun ruangan sudah dingin ber-AC. Penis Andre mengeluarkan cairan di tubuhku, menyembur hebat, membuatku mencapai klimaksku.
Aku terengah-engah, masih membiarkan penis Andre tertancap di dalam vaginaku. Aku lelah dan kakiku terasa lemas, tubuhku seperti tidak bisa bergerak.
Andre menatapku. Tangannya menyeka keringat di keningku. "Jangan menggigit bibirmu lagi. Aku tidak mau tanpa sadar kamu menggigit lidahmu sendiri."
Aku mengangguk pelan.
Kubiarkan dia memasangkan kembali braku. Dia merapikan blusku, bahkan memakaikan celanaku. Andre pun sudah membersihkan cairan-cairan di sekitar kami dengan tisu basah milikku. Kemudian, dia kembali duduk di kursi kerja, memangkuku, membuatku tertidur di pelukannnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Possessive
RomancePria itu hadir begitu saja ke kehidupanku. Panggilan private yang muncul tiap malam di telepon genggamku membawaku ke dalam peristiwa yang tidak terbayangkan. Note: untuk versi revisi bisa dibaca lewat aplikasi fizzo/kubaca dengan judul yang sama