Dalam hitungan jam, kami mendapat kabar bahwa Yoga telah ditemukan di sebuah rumah kos. Barang bukti juga ditemukan di sekitar tempat sampah salah satu milik warga komplek perumahanku. Kasus langsung diproses polisi.
"Makanannya hambar," kata Andre saat aku menyuapinya makan. "Aku kangen masakanmu."
Aku tersenyum. "Namanya juga makanan rumah sakit. Pasti sudah disesuaikan dengan kesehatan pasien. Nanti kalau sudah boleh pulang, aku buatkan yang makanan kesukaanmu."
Tangan Andre menyentuh pipiku. "Lelah ya nungguin aku?"
Kuletakkan sendok di tanganku. Kusentuh tangan itu. "Nggak apa-apa. Cepet sehat, ya?"
"Sebaiknya hari ini kamu pulang dan istirahat. Makan yang banyak biar bayi kita sehat." Kali ini dia menyentuh perutku. "Setelah pulang, tidur saja, ya? Nggak usah beberes rumah. Nanti aku suruh beberapa orang untuk mengerjakan pekerjaan rumah."
"Iya. Nanti aku akan kembali ke rumah sakit."
Andre menggeleng. "Besok saja. Banyak yang menjagaku. Kalau kangen, aku akan meneleponmu."
"Baiklah." Sejujurnya, aku merasa sangat lelah karena semua kejadian tiba-tiba ini. Mungkin, karena lega semuanya berakhir dengan baik.
"Mendekatlah."
Tangan Andre membimbingku mendekatinya. Aku duduk di sisi ranjang. Dia mengecup keningku, kedua pipiku, hidungku, dan terakhir bibirku. "Walaupun nanti aku merengek dan memohon-mohon menyuruhmu datang ke sini, jangan lakukan. Ok?"
Aku tertawa. "Ok."
***
Dokter masih menyarankan agar Andre opname lebih lama. Pernikahan pun akhirnya dilakukan di rumah sakit dengan kehadiran keluarga inti dan saksi saja. Resepsi yang direncanakan setelah pernikahan, diundur hingga Andre dinyatakan benar-benar pulih.
Seorang penghulu duduk di sisi ranjang Andre, menggenggam tangannya. Walaupun infusnya masih terpasang, Andre bersikeras untuk menggunakan pakaian yang lebih baik daripada piama rumah sakit. Dibantu orang tua dan kakaknya, kini dia mengenakan sebuah kemeja putih dan peci. Sedangkan aku memilih memakai kebaya putih dengan riasan wajah sederhana.
Aku yang duduk agak jauh, memandang Andre yang sedang mengulangi kalimat sang penghulu. Dengan percaya diri, Andre menyebut namaku dan proses ijab qobul selesai ketika para saksi mengesahkannya. Sang penghulu mempersilahkanku untuk mencium tangan Andre sebagai tanda penghormatan seorang istri pada suaminya.
Penandatanganan buku nikah dan prosesi pernikahan lainnya selesai dengan cepat. Andre tiba-tiba mengeluarkan sebuah cincin dari saku kemejanya. Dia memasangkan cincin itu di jari manis tangan kananku.
"Ini biar orang tahu kalau kamu sudah jadi milikku," kata Andre sebelum aku protes. Sebelumnya, aku sudah mengatakan bahwa dia tidak perlu membeli cincin lagi dan cukup dengan cincin tunangan kami sebelumnya. Tapi, tampaknya Andre punya pemikiran lain dariku.
"Nggak mungkin lah nggak tahu kalau cincinnya kayak gini." Aku memandangi cincin mewah bermata satu itu, sangat kontras dengan cincin tunangan kami yang sederhana dan terbuat dari perak. Jelas sekali selera kami sangat berbeda.
"Jadi, mau bulan madu kemana?"
Kucubit lengan Andre. "Sembuh aja dulu baru mikirin itu. Masih ada acara resepsi juga."
Tiba-tiba Andre mencium bibirku. "Aku akan cepat sembuh karena akan selalu ada yang ngomelin." Dia tertawa nakal. Lalu, dia menatapku. "Kamu sangat cantik hari ini."
"Apa, sih!?" seruku.
"Seenggaknya tunggu kami keluar ruangan dulu dong!" Terdengar suara Kak Ryan yang menyatakan ketidaknyamanannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Possessive
RomancePria itu hadir begitu saja ke kehidupanku. Panggilan private yang muncul tiap malam di telepon genggamku membawaku ke dalam peristiwa yang tidak terbayangkan. Note: untuk versi revisi bisa dibaca lewat aplikasi fizzo/kubaca dengan judul yang sama