Cinta? (Part 2)

28.9K 1.2K 36
                                    

"Mau tidur dimana?" tanyaku saat aku dan Andre mulai menaiki tangga. Tangan hangatnya menggenggam tanganku dengan erat. "Tidur di kamarku atau tidur di kamar tamu? Kalau mau tidur di kamarku, aku akan mengalah tidur di kamar tamu."

"Di kamar tamu saja."

Aku mengantar Andre ke kamar tamu. Kuambil selimut, bantal, dan guling bersih dari lemari. Kurapikan tempat tidur dan menyalakan pendingin di dalam kamar itu. "Aku akan meletakkan remote-nya di dekatmu. Jadi, kamu bisa mengatur suhunya. Dan jangan khawatir, tiap hari kamar ini kubersihkan. Semuanya bersih di sini. Untuk peralatan mandi, kamu bisa ambil di lemari. Lalu, kalau kamu perlu baju ganti, di lemari juga ada baju ayahku. Pakai saja. Setelah ini, aku akan menyiapkan air minum kalau-kalau kamu kehausan nanti."

Andre hanya berdiri diam menatapku. "Kamu nggak mau tidur denganku di sini?"

Pertanyaan macam apa itu? Apa dia harus menanyakannya padahal sudah tahu jawabanku pasti tidak? Lagipula, bukannya dia selalu memutuskan sendiri semuanya tanpa bertanya padaku terlebih dahulu?

Entah kenapa saat mendengar pertanyaan Andre padaku, membuat emosiku muncul dan tercampur aduk dalam sekejap. Sebenarnya apa yang ada di dalam kepala pria di depanku selama ini hingga selalu ada hal tak terduga yang dilakukannya.

Tangan Andre menggenggam tanganku. Aku tersentak dan menatapnya.

"Mau kan?" tanya Andre lagi.

"Kamu sakit dan perlu istirahat. Kamu tidak perlu aku. Kamu hanya kurang tidur, Andre."

Andre mendekat padaku. Dia menyentuh leherku dengan tangannya yang bebas dan mengecup keningku. Tubuhku seolah tidak bisa bergerak dan waktu terasa sangat lambat. Begitu berbanding terbalik dengan jantungku yang tiba-tiba berdetak cepat.

"Temani aku di sini ya."

"No sex, ok?"

"Hanya tidur saja. Aku janji."

Hatiku langsung luluh begitu saja. "Ganti bajumu. Aku akan mengambil air minum dulu."

Andre mengangguk pelan dan melepaskan tanganku dengan enggan. Aku pun berjalan pergi dari kamar, menuruni tangga, dan ke dapur untuk mengisi penuh sebuah teko air.

Aku terhenti, berdiri merenung dengan seteko air di hadapanku. Aku tidak tahu apa yang kupikirkan tadi. Aku tidak bisa menolak permintaan Andre. Dia bersikap sangat manja seolah-olah kami sudah suami istri.

Kepalaku terasa pening saat ini. Ini sudah lewat tengah malam dan aku mulai kekurangan waktu tidurku. Dengan sebuah teko yang penuh dengan air di tangan kanan dan dua buah cangkir di tangan kiri, aku pun kembali berjalan mendaki anak tangga.

Aku memasuki kamar tamu dengan pintu yang masih kubiarkan terbuka lebar. Kuletakkan semua benda di tanganku di atas sebuah meja kecil di sisi ranjang. Setelah menutup pintu kamar, aku duduk di tepi ranjang dan sedikit bersandar di dipannya. Aku merasa sangat mengantuk sekali.

***

Sebuah dering panggilan mengusik tidurku. Aku sedikit menggeliat dan mencoba membuka mata. Aku terkejut saat melihat sebuah tangan melingkar di pinggangku dan sebuah lagi melingkar di leherku. Di bagian tengkuk leherku, aku bisa merasakan terpaan nafas yang teratur.

Aku baru saja mengingat kejadian tadi malam. Sepertinya, aku tertidur dalam posisi duduk dan entah apa yang dilakukan Andre hingga kami dalam posisi seperti ini.

Dering panggilan telepon kembali menyeruak. Aku sedikit melirik ke arah ponsel Andre yang ditaruhnya di meja. Ponsel itu tampaknya sudah berbunyi beberapa kali, tapi si empunya sama sekali tidak menggubrisnya.

Kurasakan Andre bergerak pelan. Dia mempererat pelukannya dan mengendus-endus leherku. Bibirnya menyentuh kulit itu dengan pelan, membuatku tersentak geli.

"Andre? Sudah bangun?" tanyaku.

Hanya geraman yang terdengar.

"Apa demammu sudah turun?" tanyaku lagi.

"Sepertinya begitu."

Aku memutar tubuhku hingga berhadapan dengan Andre. Kutempelkan tanganku di dahi Andre dan mengira-ngira suhu tubuhnya. Demamnya masih ada walaupun tidak sepanas tadi malam. Sepertinya pria di depanku hanya masuk angin dan kurang istirahat.

"Hari ini libur?"

"Ada apa? Mau mengajakku jalan-jalan?" Andre balik bertanya.

"Bukan begitu. Demammu belum benar-benar turun. Hari ini istirahat saja, ya? Nggak usah kemana-mana."

Andre tersenyum. Dia mencium bibirku sekilas. "Baiklah."

Aku menatap mata Andre. Hal ini tampak sangat salah bagiku. Bukankah seharusnya aku mengusirnya atau tidak mengacuhkannya? Tapi, lihat sekarang! Dia bahkan memelukku di atas ranjang di dalam rumahku sendiri.

Seakan-akan seperti membaca pikiranku, Andre kembali menciumku. Kali ini sebuah ciuman lembut yang cukup dalam. Sangat aneh bahwa tubuhku tidak menolaknya sama sekali.

"Aku mencintaimu."

Aku merasakan jantungku yang mulai berdetak cepat. Kuharap Andre tidak mendengarnya. Entah kenapa seketika aku merasa canggung berada di dekatnya. Jangankan untuk bergerak, untuk bernapas pun saat ini sangat sulit untuk kulakukan.

Jari-jari Andre menyentuh wajahku. "Aku akan membuatmu jatuh cinta padaku."

Dia menelusuri lekuk wajahku. Jarinya menyentuh hidungku, ke arah pipi turun ke bawah menuju bibirku. Lalu jari itu kembali turun ke leherku.

Andre bangkit dan merangkak ke atas tubuhku. Dia mencium keningku, kedua pipiku, dan hidungku dengan sangat manis. Aku bisa merasakan perasaannya di setiap sentuhan yang dilakukannya padaku. Napasnya yang menerpa kulitku, terasa begitu tenang dan membuatku sangat nyaman hingga sekali lagi dia mencium bibirku.

Lidah Andre dengan pelan memulai semuanya. Dia melakukan semuanya begitu lembut, bahkan saat tangannya meremas payudaraku dari luar pakaian. Tangannya meraba-raba tubuhku selagi bibir Andre menyusuri leherku. Tanpa kusadari jari-jari Andre sudah menyentuh klitorisku dan membuatku mendesah pelan.

Tangan Andre lainnya mengangkat kaos oblongku hingga payudaraku tampak di baliknya. Jari-jarinya berada di tempat sensitifku dengan sangat lihai dan aku sangat menikmatinya.

"Aku sangat mencintaimu." Andre kembali menyatakan cintanya dengan berbisik di telingaku. Aku sangat merinding dan semakin keras mendesah. Rasanya kata-kata yang diucapkan Andre terdengar sangat seksi sehingga tubuhku meresponnya.

Dia berhenti, menarik kepalanya menjauh dari leherku, menatapku. Aku tidak tahu maksud dari tatapannya. Aku pun hanya membalas tatapannya. Kulihat begitu banyak cinta di matanya. Seakan-akan dia meminta persetujuanku untuk melanjutkan semua ini atau tidak.

Aku menyentuh wajah Andre. Dia sama sekali tidak tampak seperti mahasiswa bagiku. Kuakui, aku hampir tidak pernah melihatnya sebagai seorang anak didik. Namun, hari ini dia begitu berbeda. Dia kelihatan begitu dewasa seakan-akan aku bisa bersandar kepadanya.

Sedikit mengangkat kepalaku, aku mendekatkan wajahku pada Andre. Kuberanikan diri mencium bibirnya sekilas dan kembali menatapnya.

"Kuanggap itu sebuah persetujuan." Andre tersenyum.

Andre dengan berani mencium payudaraku, menelusuri kulitku dengan bibirnya. Tangannya pun tidak kalah sibuk mecoba melepaskan celana dalam.

Aku berteriak pelan saat Andre menggigit kecil putingku bersamaan dengan masuknya dua jarinya ke dalam vaginaku. Entah apa yang dicari dua jari itu di dalam sana, membuatku tidak bisa berpikir jernih lagi.

PossessiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang