Sop mutiara, ayam fillet tepung, dan nasi telah kuhidangkan di atas meja makan di pantry. Piring serta alat makan lainnya pun telah kusajikan di masing-masing sisi meja. Terakhir, aku hanya perlu mengisi air di masing-masing gelas yang telah kusediakan.
Aku termenung. Mengingat bagaimana Ayah begitu senang saat melihat Andre datang bersamaku. Bahkan beliau sangat kaget saat mengetahui bahwa Andre adalah mahasiswa pascasarjana di kampusku.
Mungkinkah pria yang akan dijodohkan denganku adalah Andre? Tapi, dia lebih muda dariku. Dia bahkan masih mahasiswa!
Aku tidak mungkin tiba-tiba bertanya masalah perjodohan pada Ayah di depan Andre. Ini sangat membingungkanku. Perutku selalu mulas jika harus memikirkan hal-hal seperti ini.
Pintu pantry terbuka. Tampak Ayah dan Andre berjalan masuk sambil bersenda gurau. Aku tidak pernah melihat orang luar bisa membuat Ayah tertawa lepas seperti ini.
"Dimakan Nak Andre. Ambil nasinya yang banyak," kata Ayah setelah duduk di salah satu kursi.
Aku hanya menyingkir, berpura-pura sibuk menyiapkan pencuci mulut untuk mereka. Kukupas apel di tanganku dengan kecepatan rendah. Aku tidak ingin disangkutpautkan di dalam obrolan dua pria di ruangan ini. Untung aku ingat membawa beberapa apel dari kulkas sebelum berangkat.
"Oh, ya! Jadi, tadi kenapa bisa kalian datang barengan?" tanya Ayah tiba-tiba.
Ini dia.
"Kebetulan, saya memang sedang ke rumah Bu Riana, Pak. Ternyata Bu Riana mau pergi. Jadi saya tawarin tumpangan," kata Andre.
"Nak Andre ke rumah Riana, memangnya ada perlu?"
Andre terdengar tertawa kecil. "Sangat perlu, Om. Saya nggak bisa tenang kalau belum lihat wajahnya."
Fokusku tiba-tiba teralihkan pada pendengaranku. Aku sangat terkejut dengan ucapan Andre yang terdengar sangat lugu itu, membuatku kehilangan kendali pisau di tanganku. Aku sedikit menjerit saat pisau membuat jariku berdarah. Lukanya membentuk sebuah garis lurus di jari manis dan jari tengah.
"Kenapa nggak hati-hati, sih?" Andre menarikku ke arah wastafel. Dia menyalakan air dan mengguyur jari-jariku di bawahnya.
Ayah yang langsung keluar dari pantry membawa satu kotak P3K di tangannya. Selagi Andre mengeringkan lukaku dengan tisu, Ayah mengeluarkan obat merah dan plester luka dari dalam kotak.
"Kan cuma luka kecil, kenapa heboh?" tanyaku. Aku benar-benar tidak paham dengan kolaborasi dua pria di depanku.
"Luka kecil dari mana?" Andre dan Ayah bersuara bersama.
Aku sangat terkejut. Mereka berdua begitu kompak, bahkan hingga menjawab bersamaan. Saat Andre mengoleskan obat merah di jariku, aku mulai tertawa. Wajah Ayah dan Andre begitu serius memandangi lukaku. Aku semakin nyaring tertawa saat Ayah meniup pelan jariku. Situasi saat ini nampak seperti komedi.
"Dek Ri, kenapa ketawa sampai kayak gitu?" Ayah tampak bingung saat melihatku tertawa hingga hampir menangis.
"Ayah sama Andre lucu banget. Kalian bersikap berlebihan."
"Lucu apanya sih, Dek?" Ayah terlihat semakin bingung. Beliau akhirnya memberikan plester luka di jariku. "Kalau Dedek kurang darah gimana? Kalau berbekas gimana?"
"Nggak mungkin sampai seperti itu juga sih, Om," kata Andre.
Aku kembali tertawa.
"Pokoknya, Ayah nggak mau ada apa-apa sama Dedek." Ayah tampak bersikeras dengan pendiriannya.
Terdengar suara ketukan pintu pantry. Seorang wanita melongokkan kepalanya. "Maaf, Pak. Ada Pak Wirno datang dan sedang menunggu di ruangan Anda."
"Aku akan segera ke sana, Mila," kata Ayah pada wanita itu. Beliau mengecup keningku. "Ayah tinggal dulu, ya. Nak Andre silahkan lanjutkan makannya. Nanti Om balik lagi ke sini." Ayah berjalan keluar pantry, meninggalkanku berdua dengan Andre.
Dua mata coklat Andre tertangkap basah menatapku. Dia sama sekali tidak bergeming walaupun aku membalas tatapannya.
"Kenapa?" tanyaku, mulai merasa tidak nyaman dengan tatapan Andre. "Jangan menatapku seperti itu."
"Apa Bu Riana merasa malu?" tanya Andre.
"Jangan memanggilku seperti itu."
"Bukankah biasanya orang-orang memanggilmu Bu Riana? Jadi, apa aku salah?"
Aku mengernyitkan dahi. "Bukan itu. Hanya saja sekarang terdengar sangat aneh saat kamu memanggilku seperti itu. Jadi, sebenarnya apa yang terjadi? Kamu berhutang penjelasan padaku."
Andre memalingkan wajahnya dan kembali duduk di kursinya. "Penjelasan apa?" Dia mulai melahap kembali makanan di atas piringnya.
Aku berjalan ke arah meja makan dan mengambil posisi duduk di depan Andre. "Kamu tahu semua tentangku, tahu masa laluku, bahkan kenal ayahku. Tapi, aku tidak tahu apa-apa tentangmu."
"Jadi, kamu mulai menyukaiku?"
Apa?
"Bukan itu maksudku." Sepertinya, aku terlihat begitu kekanakan di depan Andre. Aku hanya merasa tidak adil karena dia mengetahui semua hal tentang diriku, tapi aku hanya mengetahui dirinya sebatas sebagai mahasiswa.
"Baiklah. Aku akan menjelaskan semuanya."
Aku menatap Andre terkejut. Apa dia serius?
"Dengan satu syarat," lanjutnya.
Syarat?
"Aku akan menjelaskan semuanya setelah kamu menjadi istriku."
"Apa!?" Aku sangat terkejut. "Jangan bercanda!"
Andre mengedikkan bahunya. Dia bersikap tidak peduli dengan reaksiku dan tetap melanjutkan makan.
Sebelum aku melancarkan protesku, dering ponselku menyeruak dari dalam tas. Sebuah nomor tak di kenal tampil di layar ponsel, membuatku ingat kejadian beberapa waktu lalu. Tampaknya menjadi stalker sedang viral akhir-akhir ini.
"Tidak ada namanya." Andre secara terang-terangan melirik ke arah layar ponselku. "Siapa?" Kali ini dia menatapku, menuntut jawaban.
"Kenapa menatapku seperti itu? Aku juga tidak tahu." Entah kenapa aku selalu merasa kesal dan bersikap seperti anak kecil setiap berdebat dengan Andre. Ini sangat menggangguku.
Andre tanpa sungkan, mengambil ponselku dan mangangkat panggilan itu. Dia sama sekali tidak bersuara dan hanya mendengarkan suara dari ujung telepon. Hanya dengan rentang sepersekian detik wajahnya sudah tampak mengeras.
"Apa maumu?" Andre akhirnya membalas suara dari ponselku. "Aku sudah memperingatkanmu. Dasar b**ng**k!"
Mataku benar-benar mendelik saat mendengar sumpah serapah keluar begitu saja dari mulut Andre pada seseorang di seberang telepon. Sebenarnya siapa yang dia maki?
"Sedikit saja kau menyentuhnya, aku benar-benar akan menghabisimu." Andre menutup panggilan itu. Wajahnya memerah karena amarah.
"Siapa?" tanyaku berhati-hati untuk tidak menyinggung perasaannya.
Andre membongkar ponselku, mengambil salah satu sim card di dalamnya.
"Tunggu. Apa yang--" Aku terkejut saat dia menghancurkan sim card itu begitu saja tanpa ada pemberitahuan. Rasanya aku pun sebentar lagi akan meledak. "Apa yang kamu lakukan!?" seruku. "Itu nomor penting!"
"Aku akan membelikanmu yang baru." Andre bersikap dingin.
"Semua kolegaku hanya tahu nomor itu! Apa kamu tidak waras!? Pekerjaanku semuanya di situ! Kenapa kamu tidak berpikir dulu sebelum bertindak!"
"Aku akan mengurus semuanya. Tentang kolegamu itu urusan mudah. Yang penting aku tidak ingin kamu memakai lagi nomor itu. Aku akan membelikanmu yang baru."
Aku mengepalkan kedua tanganku, merasa sangat kesal dengan pria di depanku. "Aku tidak ingin menjadi istrimu!" Kubanting ponselku di depan Andre hingga layarnya retak. "Hancurkan saja sekalian dengan ponselnya!"
Tanpa pikir panjang, dengan nafsu amarah memenuhi setiap rongga otakku, aku mengambil tasku. Kutinggalkan Andre sendirian dia di pantry. Aku memutuskan untuk pergi tanpa memberitahu Ayah terlebih dahulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Possessive
RomancePria itu hadir begitu saja ke kehidupanku. Panggilan private yang muncul tiap malam di telepon genggamku membawaku ke dalam peristiwa yang tidak terbayangkan. Note: untuk versi revisi bisa dibaca lewat aplikasi fizzo/kubaca dengan judul yang sama