Kenangan

13.9K 837 35
                                    

Baru pertama kalinya aku bertamu ke rumah seorang pria sendirian. Mungkinkah aku akan selamat keluar dari kandang singa ini? Aku sangat gugup dengan pikiran-pikiranku sendiri.

Memang ini bukan pertama ataupun kedua kalinya kami berdua di suatu ruangan tertutup. Aku tahu Andre bisa saja menggendongku, membawaku masuk ke salah satu kamar, dan menelanjangiku. Tapi pada kenyataannya dia tidak melakukannya. Dia hanya mempersilahkan aku masuk dan duduk di sofa merahnya yang tampak sangat menggoda mata.

Aku sangat yakin dia sering melakukannya di sofa ini dengan wanita-wanita lain. Lagi-lagi isi kepalaku dipenuhi oleh hal-hal tidak penting. Aku sungguh sangat frustasi saat dia duduk di dekatku dengan membawa segelas jus mangga.

"Maaf, hanya ada ini." Andre tersenyum. "Aku akan menelpon untuk pesan antar. Kamu mau makan apa?"

"Aku ikut kamu saja."

"Ok. Aku akan pesan sesuatu yang enak."

Bel rumah berbunyi. Aku dan Andre saling bertatapan. Tampaknya kami kedatangan tamu tak diundang.

Andre berjalan ke arah pintu depan. Sedangkan aku melanjutkan tour untuk melihat-lihat rumah Andre.

Rumah ini sangat minimalis. Sedikit berbeda dengan kebanyakan rumah, rumah apartemen ini tidak memiliki banyak dinding. Aku bisa melihat dapur dan ruang makan dari ruang keluarga. Kurasa hanya kamar tidur dan kamar mandi yang memiliki privasi lebih tinggi yang disekat oleh dinding. Dinding yang menghadap keluar pun sebagian besar terbuat dari kaca, sehingga aku bisa melihat langit biru indah hari ini dari tempatku berdiri.

Tidak begitu banyak hiasan dinding. Hanya beberapa foto berbingkai di sudut-sudut tertentu. Andre meletakkan foto paling besar di atas TV flat besarnya. Sebuah foto keluarga. Aku sangat yakin pernah bertemu dengan orang di dalam foto itu selain Andre tentunya.

"Wah! Jadi ini pacarmu?" Seorang wanita muncul dari arah pintu rumah. Di belakangnya, Andre tampak sangat khawatir dan seperti pasrah dengan situasi saat ini. "Riana kan?" Wanita itu terdengar sangat histeris.

Aku menatap wanita itu. Sungguh tampak sangat familiar. "Tante Rose?" Sebuah nama muncul di benakku. Aku menoleh ke arah foto keluarga di ruangan itu lagi. Wanita itu persis sama dengan satu-satunya wanita di dalam foto itu.

Sebuah pelukan hangat menyergapku tiba-tiba. Wanita bertubuh kecil itu tampak sangat senang bertemu denganku. "Bagaimana kabarmu, Sayang? Kamu sekarang sudah jadi secantik ini. Tante sampai pangling."

Aku berusaha mengingat kapan terakhir kali bertemu dengan sosok Tante Rose. Hampir 6 tahun yang lalu, dengan wajah yang tak pernah berubah, pernah bersilahturahmi ke rumah Ayah bersama suami beliau. Ya, pria yang tampak paling tua di foto berbingkai di depanku sangat mirip sekali dengan suami beliau.

"Tante dengar kamu sudah lama tidak tinggal di rumah orang tuamu lagi. Jadi agak sulit bertemu denganmu saat Tante kangen." Wanita itu mencium pipiku dengan gemas. "Dan Tante tidak tahu kalau kalian punya hubungan seperti ini. Sejak kapan?" Dia melirik ke arah Andre.

Aku hanya terdiam. Entah apa yang dimaksudkan Tante Rose dengan "hubungan ini". Aku bahkan tidak tahu harus menyebut hubungan macam apa yang sedang kujalin bersama Andre. Semua ini seperti ketidaksengajaan yang membuat kami menjadi 'teman' seks. Tidak bisa dipungkiri bahwa ada perasaan yang terlibat. Tapi tidak ada status resmi yang kami ucapkan selama ini.

"Tidak penting sejak kapannya. Yang pasti dia sudah menjadi calon menantumu, Ma."

Aku mengerjapkan mataku menatap wajah Andre yang tampak seperti tersipu malu. Dia menatapku kembali dan seperti bertanya apakah dia mengucapkan hal yang salah lewat matanya.

Tidak ada yang salah. Hanya saja tidak ada konfirmasi sebelumnya yang membuatku sungguh-sungguh terkejut. Kuakui aku sangat bahagia mendengarnya.

"Tentu saja Riana akan jadi menantu Mama. Mama hanya kaget saja. Mama pikir kamu tidak kenal dengan Riana. Mama mau menjodohkannya dengan kakakmu loh!"

Kakak?

Aku kembali melirik foto keluarga Andre. Ada tiga orang pria muda di sana termasuk Andre. Samar-samar aku memang mengingat keduanya. Tapi, aku tidak yakin kapan kami bertemu.

"Riana milikku, Ma." Andre tiba-tiba bersuara tinggi. "Cari wanita lain untuk Kakak. Aku tidak akan menyerahkan Riana padanya."

Tante Rose tertawa terbahak-bahak. Dia menepuk-nepuk kepala Andre yang jauh lebih tinggi darinya dengan sedikit berjingkat. "Aku heran kenapa di antara sifat ayahmu, hanya sifat posesif kalian yang mirip. Kamu harus sabar menghadapinya, Riana."

"Apa sih, Ma?" Andre protes dan berjalan menjauhi Tante Rose.

"Mama tadi bawa makanan di mobil. Ayo ke parkiran sama Mama," katanya pada Andre. Tante Rose menyentuh pipiku lembut. "Aku sebenarnya ada urusan lain setelah ini. Kapan-kapan kita akan ngobrol lagi, ya." Dia tersenyum. "Mungkin minggu depan aku akan mampir ke tempat orang tuamu. Sampai jumpa." Tante Rose mengecup keningku.

Aku menggenggam tangan Tante Rose. "Terima kasih, Tante. Sampai jumpa."

Tante Rose tersenyum lembut. Dia pun berpaling dan beranjak pergi melewati pintu depan apartemen. Tante Rose tampaknya sangat suka menjahili Andre. Andre yang tanpa sadar mengeluarkan sisi kekanakannya itu membuatku sangat takjub dengan hubungan mereka berdua.

Aku duduk di salah satu kursi bar milik Andre. Andre meletakkan mini bar sangat dekat dengan dinding kaca, sehingga aku bisa melihat pemandangan kota dari atas sini.

Hari ini sangat cerah. Awan-awan terasa begitu dekat. Mungkin aku bisa menggapainya jika saja tidak ada dinding kaca di antara kami.

Tiba-tiba sebuah tangan muncul menggelayut di leherku. Aku menoleh dan mendapati wajah Andre begitu dekat denganku. Matanya tertuju pada pemandangan di luar. "Ngeliatin apa sih? Atau sedang memikirkan sesuatu?"

"Sejak kapan aku jadi 'calon menantu'?" tanyaku.

"Tentu saja sejak pertama kali melihatmu."

Aku mengerutkan dahi. "Maksudmu saat di kampus?"

"Tidak. 20 tahun yang lalu mungkin. Apa kamu dulu ingat pernah menghadiri acara ulang tahun kakakku?"

"Entahlah. Aku bahkan tidak yakin ingat wajah kakakmu kalau tidak ada foto keluargamu itu."

"Aku masih ingat dress warna biru malam yang kamu pakai waktu itu. Wajahmu juga masih polos saat itu. Umur kita lumayan jauh, tapi saat itu badanku sudah sangat tinggi untuk anak sekolah seusiaku. Kamu menegurku, tiba-tiba berbicara denganku seolah kita sudah saling kenal lama. Lalu, aku hanya mengiyakan semua hal yang kamu katakan, hingga akhirnya kamu memanggilku dengan nama kakakku." Andre tertawa. "Yang lebih lucu lagi saat kakakku datang dan ekspresimu terlihat sangat kaget, kemudian mengira kami kembar. Itu benar-benar kejadian super konyol."

"Benarkah? Pasti aku sangat malu saat itu." Aku mencoba mengingat masa laluku. Mungkin sudah cukup lama memori memalukan itu kulupakan.

Tangan Andre melingkari leherku. "Walaupun pertemuan pertama kita cukup aneh, yang lebih aneh lagi aku jatuh hati padamu saat itu." Bibir Andre mengecup pipiku lembut.

Kuakui takdir berjalan cukup aneh. Baru beberapa saat yang lalu, yang kutahu hanyalah Andre adalah seorang mahasiswa tukang paksa dan cukup romantis. Mahasiswa yang tiba-tiba meng-klaim seorang dosen sebagai calon istrinya kepada ibunya. Aku tidak tahu kami pernah bertemu saat masih polos, tidak tahu aku akan berada di pelukannya seperti ini.

PossessiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang