Dokter menempelkan alat USG di perutku setelah sebelumnya mengoleskan gel yang terasa dingin. Alat itu bergerak memutar seperti mencari sesuatu, hingga sebuah lingkaran muncul di layar monitor. Aku menggenggam erat tangan Andre karena merasa semakin gugup.
"Ini kantung janinnya, ya, Bu, Pak." Dokter mulai memutar alat itu kembali di perutku. Kali ini dia sedikit menekannya. Sedangkan tangan lainnya sibuk menekan tombol-tombol di mesin utamanya. "Sudah cukup besar. Seharusnya kita sudah bisa mendengar detak jantungnya."
Sebuah suara muncul perlahan dari mesin itu. Suara detak jantung itu memiliki rima yang sedikit berbeda dengan milikku. Begitu asing rasanya saat mengetahui seorang bayi akan tumbuh di perutku dan memiliki detak jantung sendiri. Terasa seperti mimpi dan entah kenapa membuat perutku terasa mulas.
Dokter menyelesaikan pekerjaannya dengan alat itu. Seorang perawat membantuku membersihkan gel di perutku dan merapikan pakaianku. "Silahkan duduk di sini." Dia menunjuk dua buah kursi di depan meja dokter.
"Menurut ukuran kantong janin, usia kandungan Ibu sudah memasuki bulan ketiga atau sekitar 9 minggu. Selama beberapa minggu ini apakah ada keluhan?"
"Saya sering merasa mual terutama menjelang pagi, Dok. Akhir-akhir ini juga sering merasa pusing," kataku.
"Mual saja ya? Apakah muntah-muntah juga? Bagaimana selera makannya?" Dokter mencatat keluhanku di selembar kertas.
"Kadang muntah-muntah, tapi tidak terlalu sering. Mualnya sedikit mereda menjelang siang, jadi nafsu makan saya saat siang lebih baik."
"Baik. Untuk pusing itu karena tekanan darah Ibu sedikit rendah. Saya resepkan obat mual dan juga vitamin untuk satu bulan, ya, Bu. Selama trimester pertama kehamilan Ibu saya harapkan tidak terlalu stres dan kurangi pekerjaan berat, karena rentan sekali saat hamil muda mengalami keguguran." Dokter menyerah secarik kertas padaku. "Semoga janinnya sehat, ya, Bu. Sampai jumpa di pertemuan selanjutnya." Dia tersenyum saat melihat aku dan Andre bangkit dari kursi.
"Terima kasih, Dok," sahutku dan Andre bersamaan.
Andre merangkul tubuhku ke pelukannya saat melihatku tertegun di depan loket pengambilan obat. "Jangan terlalu dipikirkan. Kita akan melaluinya berdua. Walaupun jika akan terjadi kemungkinan terburuk, tidak mungkin sampai membatalkan acara pernikahan."
Sebuah senyum kupaksakan di bibirku. "Entahlah. Banyak skenario berputar di kepalaku sekarang."
"Semua akan baik-baik saja. Aku janji."
***
Keluarga inti dari dua belah pihak sekarang sudah berkumpul di satu ruangan. Bahkan kedua kakak Andre juga hadir di pertemuan mendadak ini. Semua orang tampak bahagia dan saling mengobrol satu sama lain, kecuali aku yang sekarang sedang duduk dengan gugup di sofa di tengah ruangan.
Aku merasakan keringat dingin di telapak tanganku. Aku tahu kabar kehamilan ini akan membuat semua orang menjadi canggung, kemungkinan terburuknya beberapa orang akan kesal dan marah.
Tiba-tiba saja Andre mendentingkan gelas di tangannya. Jantungku berdetak sangat cepat. Tanganku mulai gemetar. Aku bisa merasakan air mataku sudah menggenang di pelupuk mata. Andre yang tampaknya mengetahui hal itu langsung menggenggam tanganku.
"Sebenarnya, kami mengadakan pertemuan ini karena ada yang ingin kami sampaikan sebelum pernikahan berlangsung." Andre mulai berbicara saat perhatian semua orang tertuju pada kami. "Riana hamil."
Dalam sekejap ruangan itu menjadi sunyi. Aku bahkan hanya bisa menunduk dan tidak ingin bertatapan dengan siapapun, terutama kedua orang tuaku.
"Maafkan kami. Seharusnya kami tidak melakukannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Possessive
RomancePria itu hadir begitu saja ke kehidupanku. Panggilan private yang muncul tiap malam di telepon genggamku membawaku ke dalam peristiwa yang tidak terbayangkan. Note: untuk versi revisi bisa dibaca lewat aplikasi fizzo/kubaca dengan judul yang sama