Andre masih terlelap di sampingku. Dia memelukku erat, membiarkan diriku bersandar di dadanya. Pikiranku kosong. Aku sama sekali tidak ingin memikirkan hal yang rumit karena pilihan yang baru saja kubuat. Aku hanya ingin menikmati momen ini sebelum aku tahu bahwa ini juga akan segera berakhir.
Sinar matahari siang sejak tadi berusaha masuk di sela-sela tirai jendela. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 10. Aku bisa merasakan perutku meraung-raung. Kuharap Andre sama sekali tidak terganggu dengan suaranya.
Dengan pelan, aku melepaskan pelukan Andre. Dia mengerang pelan. Tampaknya alam bawah sadarnya bereaksi. Tapi, setelah itu dia hanya terdiam dan mulai mendengkur pelan.
Aku harus membuat sesuatu sebelum Andre bangun. Aku yakin dia akan sangat kelaparan saat bangun nanti.
Aku berjalan ke kamarku untuk mandi dan berganti pakaian. Sebuah kaos oblong hitam dan celana rumahan selutut berwarna hijau muda sudah melekat di tubuhku. Kurapikan rambutku dan mengikatnya seperti ekor kuda sebelum akhirnya aku berjalan turun ke arah dapur.
Kubuka kulkas dan tampak beberapa butir telur, kotak susu, sebotol jus mangga, dan tumpukan sayur yang baru kubeli kemarin. Aku akan membuat omelet sayur dan kentang tumbuk agar tidak begitu banyak memakan waktu untuk proses memasaknya.
Beberapa bahan seperti kentang, 4 butir telur, susu cair, dan sayuran hijau kusiapkan di atas meja dapur. Kupotong-potong beberapa sayuran menjadi berukuran lebih kecil agar aku bisa mencucinya dengan mudah. Sebuah panci penuh air dan terisi kentang sudah kuletakkan di atas salah satu tungku kompor. Aku pun sudah memasukkan beberapa bumbu agar kentang nantinya tidak terasa hambar.
Telur kukocok dan menambahkan sedikit susu serta sayur-sayuran hijau berukuran kecil, sementara wajan sedang kupanaskan dengan api kecil. Mentega di atasnya sudah meleleh dan aku hampir memasukkan telur dadarku ke dalam wajan sebelum terdengar suara bel rumahku berbunyi.
Aku mematikan kompor dan terkejut melihat Andre sudah berdiri di belakangku. "Kapan kamu bangun?"
"Baru saja." Dia memelukku dan mencium keningku tanpa sungkan. "Sepertinya ada tamu," katanya setelah bel rumah terus berbunyi.
"Aku akan membukakan pintunya. Kuharap itu bukan kakakku. Atau yang buruk lagi kuharap itu bukan orang tuaku." Aku berjalan ke ruang tamu dan segera membuka pintu depan meninggalkan Andre.
Aku seharusnya cukup lega saat mengetahui bukan kakakku ataupun orang tuaku yang datang berkunjung. Tapi, aku pun tidak senang saat melihat Yoga yang berdiri di depan pintu. Tidak ada rasa terkejut bahwa pria itu bisa menemukan rumahku dalam waktu cepat. Bahkan aku tahu Andre lebih cepat dari Yoga untuk masalah cari mencari seperti ini.
"Kamu tahu rumahku dari mana?" Aku hanya mengeluarkan pertanyaan basa basi. Yoga dari dulu sangat suka dipuji. Dia akan menurunkan kewaspadaannya jika sedang senang.
"Ini sangat mudah." Dia tertawa cukup nyaring. Kurasa Andre di dalam bisa mendengar suaranya.
"Lalu kamu mau apa? Pergilah. Kamu sudah punya istri yang harus diberi perhatian. Jadi, jangan bangga telah menemukan rumah mantanmu." Aku hampir menutup pintu. Namun tangan Yoga menahannya.
Kekuatan wanita memang tidak sebanding dengan pria. Jika, aku sendirian saat ini di rumah, kemungkinan besar aku akan teriak. Tapi, aku jauh lebih berani saat ini karena aku tahu Andre akan melindungiku.
Tampaknya Yoga tidak mengetahui keberadaan Andre di rumahku. Aku sedikit melirik ke arah luar halaman. Sama sekali tidak terlihat tanda-tanda mobil Andre. Tadi malam dia pasti memesan taksi untuk ke sini.
"Itu hanya status. Aku masih mencintaimu seperti dulu. Tidak ada yang berubah."
"Maaf, kalau begitu aku yang sudah berubah di sini. Aku tidak mencintaimu lagi dan aku berharap tidak akan melihatmu lagi seumur hidupku. Jadi, silahkan pulang dan belajarlah mencintai istrimu."
Yoga mendorong pintu rumah semakin keras. Dia menarik tanganku, mencoba membawaku lebih dekat ke arahnya.
"Siapa yang datang, Ri?" Andre muncul dengan celemek menggantung di lehernya. Aku bisa saja tertawa saat melihat sendok sayur yang dibawanya di tangan kanannya jika saja aku tidak dalam situasi seperti ini.
Aku bisa melihat wajah bingung Andre berubah menjadi menakutkan saat pandangannya ke arah tanganku. Dia meletakkan sendok sayur di tangannya di atas meja dan berjalan mendekati kami.
"Lepaskan tangan Riana?"
Yoga tertawa nyaring seperti dibuat-buat. "Lihatlah! Si sombong bocah tengik ini apakah sekarang sudah beralih profesi menjadi pembantumu?"
Dari sini aku bisa melihat perbandingan tubuh Andre dan Yoga. Andre bertubuh lebih tinggi, tapi Yoga memiliki tubuh yang jauh lebih atletis darinya. Aku tahu tubuh itu tidak didapatkannya dalam sekejap mata. Yoga kukenal sangat tergila-gila dengan tempat gym. Kurasa jika mereka adu jotos sekarang, aku tidak akan bisa melerai mereka. Mungkin saja aku yang akan kena pukul.
Andre terus mengintimidasi Yoga dengan tatapannya. "Aku sudah memperingatkanmu tempo hari. Tapi, hari ini lagi-lagi kamu melakukan hal bodoh, Kakak Ipar. Jika kamu tidak melepaskan tangan Riana sekarang juga, dan bersikeras akan muncul kembali mengganggu Riana, aku yang akan memaksamu untuk menjauhinya."
"Kamu kira aku takut dengan ancamanmu? Dasar bocah! Memangnya kamu tahu apa? Jika kamu mau melaporkan hal ini pada kakak sepupu bodohmu itu, silahkan saja. Aku tidak akan menikahinya jika saja dia tidak mengancamku untuk bunuh diri."
Seperti kecepatan cahaya, kepalan tangan Andre melayang ke wajah Yoga. Tapi, ajaibnya tangan Yoga sama sekali tetap kukuh untuk tidak melepas tanganku. Aku hanya membeku dan sedikit berharap aku tidak ikut terkena jotos.
"Jika aku mendengarmu menghina Kak Diva lagi, aku tidak akan sungkan-sungkan membunuhmu."
Yoga tertawa hampir seperti melengking. "Kamu tidak akan berani. Kamu kira kakak sepupumu itu akan membiarkanmu membunuhku? Wanita bodoh itu yang akan membunuhmu jika menyentuhku. Dia sudah cinta mati padaku dan kamu tidak bisa berbuat apa-apa."
Entah kenapa rasanya aku seperti melihat pertengkaran dua anak kecil yang sedang berebut mainannya. Namun toh aku tidak ingin berada di tengah-tengahnya. Mereka saling adu argumen dan tentu saja saling tonjok.
Aku merasa perutku mulai terasa mual. Aku belum makan apapun dan ini sudah hampir tengah hari. Mungkin seharusnya aku minum susu sebelum memulai memasak tadi. Aku tidak tahu kapan perkelahian di depanku ini akan segera berakhir. Sebagian isi perutku rasanya mulai berjalan naik melewati tenggorokanku.
Tanpa sadar aku menepis tangan Yoga dengan sisa kekuatanku. Sepertinya itu berhasil karena aku mendapatkan diriku berlari ke arah wastafel dapur dan sudah mengeluarkan isi perutku di sana. Dorongan untuk muntah masih terus berlanjut selama beberapa menit. Hal ini membuat tubuhku sangat lemas.
Hampir saja aku terjatuh jika tangan besar Andre tidak merangkul pinggangku saat ini. Dia mengusap punggungku, memberiku semangat agar tidak menelan isi perutku kembali. Tangannya yang lain mencoba menyingkirkan rambutku yang menjuntai agar tidak ikut terkena muntahanku.
Hampir selama lima belas menit perutku bergejolak. Tubuhku terasa kebas dan menurut saja saat Andre dengan hati-hati membersihkan wajahku dengan air. Lalu, dia menggendongku seakan tubuhku seringan bulu. "Sudah lega? Masih mual?"
Aku hanya menggeleng pelan dalam dekapannya. "Kemana Yoga?"
"Sejujurnya aku tidak tahu dia kemana. Saat kamu berlari dan muntah-muntah aku langsung mengejarmu."
"Apa wajahmu tidak apa-apa?" Aku menyentuh wajah Andre yang sedikit memar di bagian pipi dan dahinya.
"Tidak apa-apa. Dikompres sebentar pasti hilang."
"Semoga tidak berbekas."
Andre manatapku lembut. "Kalau habis ini mual lagi kita ke rumah sakit ya? Aku khawatir penyakit maag kamu jadi kronis."
Aku tersenyum. Dia tahu segalanya tentangku. "Bahkan penyakitku pun kamu tahu. Sepertinya hanya aku saja yang tidak tahu apa-apa di sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Possessive
RomancePria itu hadir begitu saja ke kehidupanku. Panggilan private yang muncul tiap malam di telepon genggamku membawaku ke dalam peristiwa yang tidak terbayangkan. Note: untuk versi revisi bisa dibaca lewat aplikasi fizzo/kubaca dengan judul yang sama