Dress brokat berwarna salem adalah kostumku malam ini. Aku memandang pantulan diriku di cermin di depanku. Seorang wanita sibuk meriasku dengan beberapa orang asisten membantunya. Salah satunya bertugas mengambil foto dan video untuk dokumentasi. Aku yang sangat gugup hanya duduk mematung, mencoba tidak mengganggu pekerjaan orang-orang itu.
Setelah beberapa lama, wanita yang sedari tadi meriasku berhenti, menatap kagum pada hasil karyanya. "Kalau orangnya sudah cantik, dirias gimanapun pasti cocok." Dia tersenyum puas. "Aku jadi nggak sabar buat resepsinya. Andre sudah pesan untuk membuatmu jadi wanita paling cantik saat memakai gaun merah itu."
Merah, ya? Pilihan warna yang sangat berani. Perutku tiba-tiba saja terasa mulas saat membayangkan gaun merah yang akan kupakai. Itu benar-benar akan menarik perhatian banyak orang.
"Saatnya calon ratu muncul." Si perias itu tampak sangat antusias. Dia membantuku berjalan menuruni tangga.
Tampaknya ruang tengah yang dipersiapkan dan telah didekorasi untuk acara lamaran ini telah cukup ramai. Aku melihat beberapa anggota keluargaku telah hadir. Bahkan kakek dan nenekku yang tinggal cukup jauh langsung terbang kemari begitu mendengar berita cucunya akan segera menikah.
Semua mata tertuju padaku. Sekali lagi perutku mulas karena merasa gugup. Di antara semua orang di ruangan ini, aku melihat sosok Andre yang tinggi menjulang. Di sampingnya, kedua orang tuanya tersenyum bahagia melihatku. Kedua kakaknya yang berdiri tidak jauh di belakang Andre pun cukup menarik perhatian karena tinggi badan mereka.
Anakku pasti setinggi itu nanti. Aku berhenti di depan Andre dan menatapnya. Dia memakai kemeja batik berwarna hitam-salem, memiliki motif yang sama dengan bawahan kebayaku. Entah bagaimana cara Andre mendapatkan baju couple ini hanya dalam waktu satu hari.
"Silahkan calon pengantin pria untuk menyerahkan seserahan secara simbolis kepada calon pengantin wanita." Tiba-tiba suara pembawa acara terdengar.
Andre menyerahkan sebuah kotak berisi satu set perhiasan padaku. Lalu, beberapa orang fotografer segera mengabadikan momen itu. Beberapa saat kemudian, suara pembawa acara kembali terdengar. "Acara selanjutnya adalah prosesi tukar cincin."
Setelah mengambil sebuah cincin dari sebuah kotak di dekat kami, Andre menggenggam tangan kiriku. Dia memasukkan cincin itu di jari manisku. "Jangan gugup," katanya lirih. "Anggap saja hanya kita berdua."
Andre pasti merasakan tanganku yang berkeringat dingin. Tanganku bahkan gemetar saat memasukkan cincin Andre ke jari manisnya. "Mana mungkin tidak gugup," protesku sambil berbisik.
Tentu saja para fotografer mengerumuni kami untuk momen tukar cincin. Mereka pun menyarankan beberapa pose untuk menunjukkan jari manis kami. Andre seperti biasa yang suka bertindak 'bar-bar', tanpa malu mengambil inisiatif sendiri. Dia memeluk pinggangku. "Ayo, ikuti kemauan mereka," bisik Andre.
Beberapa pose karya Andre tampaknya sedikit vulgar. Tapi, tampaknya keluarga kami tidak ada yang mempermasalahkannya, bahkan suara riuhan bahagia terdengar di seisi rumah. Wajahku mungkin sangat merah sekarang karena merasa malu.
"Selanjutnya, kita bisa mulai sesi perkenalan keluarga." Pembawa acara menandai sesi terakhir foto tukar cincin.
"Kita akan foto pra-wedding untuk pakaian ini di taman belakang." Andre tiba-tiba membimbingku berjalan keluar ruangan dan menuju arah taman belakang.
"Bagaimana kamu bisa handle semua ini?" tanyaku. Aku merasakan rasa mulas berubah menjadi rasa sakit di lambungku.
"Aku punya banyak bawahan." Andre mengedikkan bahunya. "Sekarang, nikmati saja dan lakukan apa yang disuruh Pak Fotografer."
***
Aku mengerjapkan mataku menyesuaikan dengan kegelapan di sekitar. Hanya cahaya bulan yang masuk sedikit melalui jendela yang menerangi ruangan kamarku. Hembusan napas yang menerpa wajahku, mengalihkanku pada sosok Andre yang tertidur lelap di sampingku. Dengkuran halus terkadang terdengar dari mulutnya. Siapa yang mengira pria tampan, seksi, dan gagah itu bisa mendengkur.
Kujauhkan dengan pelan tangan Andre yang memelukku. Perutku masih terasa tidak nyaman karena kegugupanku sejak acara lamaran berlangsung. Aku berjinjit pelan ke arah kamar mandi dan mencoba membasuh wajah agar terasa lebih baik.
Kepalaku terasa pusing. Perutku tiba-tiba bergejolak. Aku merasakan lambungku kembali bermasalah. Tapi tak ada yang keluar dari mulutku, hanya rasa mual yang tertinggal. Kubasuh kembali wajahku dan menatap pantulan bayanganku di cermin. Mungkinkah?
Rasa-rasanya sudah cukup lama haidku terlambat. Aku benar-benar teralihkan oleh kehadiran Andre dan insiden Yoga. Dengan cepat aku membongkar lemari kecil di dekat wastafel, mencari sesuatu yang pernah ditinggalkan Kak Jelita beberapa bulan lalu saat haidnya terlambat.
Sebuah test pack sudah berada di tanganku. Aku dengan hati-hati melakukan instruksi sesuai dengan kertas keterangan alat itu. Jantungku berdebar kencang saat kertas test pack itu mulai basah. Garis merah pertama muncul. Lalu, garis kedua pun muncul.
Aku terduduk di toilet. Entah ini berita bagus atau buruk. Orang-orang akan mengetahui bahwa aku dan Andre sudah berhubungan seks sebelum menikah. Aku harus mengetahui berapa umur janinku saat ini.
Suara ketukan pintu mengejutkanku. "Riana, kamu nggak apa-apa?" Terdengar suara Andre dari balik pintu. "Kamu sakit?"
Kubuka pintu kamar mandi. Andre berdiri hanya menggunakan boxer. Aku merasa tertarik saat menatap dada dan lengan Andre yang sangat bugar itu yang disinari cahaya lampu kamar mandi. Darahku berdesir. Tanpa kusadari, tanganku sudah bergelayut di lehernya dan mengecupnya. Sesaat, aku merasakan sebuah sentakan kaget dari tubuh pria itu. "Aku tidak apa-apa."
Dengan mudahnya Andre mengangkat tubuhku, melingkarkan kakiku di pinggangnya. Kini wajahnya tepat di depanku. "Kamu pikir aku percaya?" Dia merapatkan tubuhku ke dinding dan meciumi leherku.
Aku mendesah. "Mulai saat ini kamu harus pelan-pelan melakukannya."
Andre menarik kepalanya dan menatapku. "Apa maksudmu?"
Kubalas tatapan itu. "Selamat, ya, calon suamiku sekarang jadi calon ayah."
"Ri, kamu hamil?" tanya Andre. Sumringah di wajahnya tiba-tiba muncul dengan raut wajah tidak percaya. "Serius? Kamu yakin?"
Aku mengangguk. "Bukankah ini akan menjadi masalah besar kalau orang tahu aku sudah hamil duluan?"
"Besok kita akan ke dokter setelah sesi pemotretan. Setelah tahu umur janinnya, baru kita akan pikirkan lagi. Sekarang--" Tangan Andre menelusup masuk ke dalam baju tidur tipisku. Dia menemukan payudaraku dengan puting yang sudah menegang. "Pantas saja kamu tiba-tiba seperti ingin melahapku." Andre mencium bibirku dengan ganas. "Kamu harusnya tahu aku adalah tipe dominan."
Andre meremas pantatku dan berjalan menuju sofa. Dia duduk dan membuatku berada di atas tubuhnya.
"Cobalah," kata Andre tiba-tiba. "Sekali-kali aku akan mengalah dan akan menikmatinya saja."
Aku mengerjapkan mata dan tampak bingung sekarang. Tiba-tiba saja kesadaranku kembali dan tidak tahu harus melakukan apa.
"Aku akan mengajarimu." Andre menatapku, mengerti keresahanku yang tiba-tiba muncul. "Jangan dipikirkan, lakukan dengan instingmu. Kamu pasti ingat apa yang kulakukan padamu berkali-kali, kan? Ikuti saja alurnya. Tubuhmu akan memberitahumu apa yang dia mau."
"Entahlah, apakah ini benar--" Kukecup bibir itu dengan lembut. Bahkan bibir seorang Andre terasa sangat lembut. Kurasa dulu walaupun tanpa seks paksaan, aku sendiri yang akan melumat bibir seksi ini.
Tanganku mengusap dada bidang Andre saat bibirku turun menelusuri lehernya. "Not bad. Kurasa kamu hanya perlu sering latihan. Tidak kusangka kamu berubah menjadi wanita nakal secepat ini."
"Wanita nakal?" Tanganku menyentuh pangkal paha Andre dan mengeluarkan penisnya yang sudah sangat tegang.
"Wanita nakalku." Andre melenguh saat lidahku menyentuh penisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Possessive
RomancePria itu hadir begitu saja ke kehidupanku. Panggilan private yang muncul tiap malam di telepon genggamku membawaku ke dalam peristiwa yang tidak terbayangkan. Note: untuk versi revisi bisa dibaca lewat aplikasi fizzo/kubaca dengan judul yang sama