Hari ini, cuaca sangat tidak mendukung. Awan mendung yang menghiasi langit, serta rintik-rintik hujan turun dengan derasnya. Sial, Jeje tidak membawa skuter miliknya.
"Lha, tau gini gue bawa tadi tuh si Bibee," gumam Jeje sambil mengadahkan tangannya keluar halte. Merasakan air hujan yang membasahi telapak tangannya.
Jeje sedang terjebak di halte dekat sekolahnya. Tadi, ia berangjat dengan angkutan umum, dan berhenti di halte ini. Sekolahnya sendiri tinggal beberapa langkah lagi.
Bisa saja Jeje mengambil resiko dengan berlari. Tapi resiko yang akan ia tanggung adalah, pulang kerumah dengan seragam yang basah kuyup.
Sekolahnya bisa mentoleransi keterlambatan siswa karena hujan lebat, tapi tentu dengan seragam yang rapih dan tidak basah. Tapi kalau seragam saja sudah basah, bisa dipastikan langsung di usir.
Tin... tin...
Suara klakson mobil berbunyi dengan kencangnya, membuat Jeje menoleh dan mendapati sosok pemilik mobil itu, Keenan.
"Mau bareng?" Tawaran yang cukup menggiurkan bagi Jeje. Tapi dengan duduk di dalam satu mobil yang sama dengan Keenan bisa membuat Jeje spot jantung. Walaupun hanya be erapa detik.
"Gak usah, makasih," Jeje tersenyum. "Gue nunggu ujannya reda aja."
Keenan sempat melihat ke langit, dan kembali menatap Jeje yang berada di hadapannya. Keenan menaikkan sebelah alisnya.
"Ujan begini mah, pasti awet," komentar Keenan. "Toleransi pihak sekolah cuma telat 30 menit," lanjut Keenan.
Jeje menyetujui ucapan Keenan dalam hati. Memang benar, pihak sekolahnya hanya mentolerir siswa terlambat di musim hujan hanya 30 menit. Sedangkan hujan, tidak ada tanda-tanda akan berhenti secepatnya.
"Boleh?" Tanya Jeje ragu-ragu.
Keenan terkekeh sebentar. "Yaela, lo kayak sama siapa aja sih? Ayo, masuk."
Setelah begitu, Jeje segera masuk ke dalam mobil milik Keenan. Seragamnya basah sedikit terkena air hujan yang mengalir di atas atap halte tadi. Keenan melihat Jeje yang sedang menepuk-nepuk bahunya, mencoba mengeringkan bajunya yang basah. Tapi tak menghasilkan apa-apa.
Keenan mengerti bahwa Jeje kedinginan, ia pun mematikan AC mobilnya. Jeje tersenyum pada Keenan, yang mengerti ia sedang kedinginan. Mereka sampai di parkiran tepat pada bel masuk sekolah.
Sebelum turun, Keenan menahan lengan Jeje. Bingung, Jeje menaikkan sebelah alisnya dan berkata. "Kenapa?"
Tak menjawab, Keenan malah berdalih ke jok belakang dan mengambil jaket levis miliknya. "Pake, gue tau lo kedinginan."
Pipi Jeje terasa hangat, semburat merah pasti sudah nampak di pipinya, merona. Bagaimana tidak, perlakuan Keenan benar-benar manis, menurut Jeje.
"Ma-makasih," Jeje segera turun dari mobil Keenan, untuk menyembunyikan pipi merahnya.
Saat Jeje sudah keluar dari mobilnya, Keenan segera mengejar cewek itu. Tidak mau membuang momen sedikitpun--yang menurut Keenan sudah romantis.
Keenan telah mensejajarkan langkahnya dengan Jeje. Tanpa aba-aba, cowok itu langsung merangkul Jeje mesra. Membuat jantung Jeje berdetak gak wajar. Pipinya memanas. Oh, sangat tidak bagus.
"Ah, elah. Apaansih, Nan?" Jeje melepaskan diri dari rangkulan Keenan. "Nanti ada yang ngomong 'iya-iya' kan gaenak."
"Peduli amat omongan orang," Keenan mengedikan bahunya acuh.
Jeje memutar kedua bola matanya. "Lo 'kan serba perfect, mana pernah diomongin."
"Lah, kok jadi gue?" Keenan menaikkan sebelah alisnya. "Penghancur suasana lo ah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Boyfriend
Teen FictionOrang gila mana sih yang gak pengen punya pacar yang perfect? Kalo kalian gak merasa, mending periksain diri ke dokter jiwa! Dia, si cowok paling perfect seantero sekolah. Saking perfectnya, sampe php sana-sini. Gue pun kena php-annya. Sial! Berkat...