Di pavilliun kedua saudara ini langsung bercakap-cakap.
Dam-Hi menelan kudapannya dengan cepat sebelum bicara "Jadi—itu rencana ayah? Benarkah begitu??"
Ro-Hi mengangguk "Kau harus membujuk Pangeran untuk mau tinggal di Istana dengan begitu kau akan aman nantinya."
"Kau benar, apa kakak tahu tinggal disini tidak aman untuk jantungku aku selalu berdebar dan cemas, aku tidak bisa makan ini dan itu dengan mudah dan harus berhati-hati, aku tidak ingin bernasib sama seperti rusa yang di kirimkan tempo hari kekediaman kita."
Mengingat kejadian rusa Ro-Hi menelan kudapannya dengan berat "Yaa!!! Sebaiknya kau kabur saja dari sini, mendengar ceritamu aku sangat mencemaskan keadaanmu," bisik Ro-Hi sembari memperhatikan sekeliling dengan waspada.
Dam-Hi manggut-manggut ucapan sang kakak ada benarnya, jika mereka tinggal di Istana maka ia akan aman namun bagaimana ia membujuk suaminya karena suaminya sudah menolaknya dan mengatakan tidak tertarik dengan kediaman yang di berikan di dalam Istana.
"Haaaah—" Dam-Hi menghela nafas "—Aku harus bisa membujuknya walaupun apapun yang terjadi!!"
Sebenarnya Dam-Hi terlalu bersikap berlebihan dengan ketakutannya, sejak awal ia sudah berpikiran buruk dan menyeramkan tentang suaminya itulah mengapa ia bahkan tidak bisa berpikiran jernih dengan semua keadaan didepannya sekarang.
****
Dam-Hi mondar-mandir di depan kamar sang suami, Myung yang hadir sejak siang tadi belum juga beranjak dari dalam kamar suaminya, malah terdengar suara musik dan sela tawa dari dalam.
"Aaaeehhh... apa aku harus menyelanya? Kenapa begitu lama!!!" gumamnya cemas.
Han Joon yang melihat sang nona sejak tadi mondar-mandir segera menghampirinya.
"Apa yang anda lakukan disini, Agassi? Maksud saya...Nyonya."
"Han Joon-ah... aku harus bicara pada pemuda sialan didalam itu tapi gisaeng itu belum juga pergi!" kalimat terakhir Dam-Hi terdengar putus asa.
Han Joon salah paham disini, ia mengira bahwa Dam-Hi cemburu karena di dalam kamar suaminya terdapat wanita lain.
"Nyonya—"
"Tidak bisa kubiarkan!!! Aku tidak bisa menunggu lagi!!!! Aku harus membicarakan sesuatu yang penting dengannya!!!!" Dam-Hi mengangkat chima-nya sedikit kemudian menaiki tangga menuju kamar suaminya, di bukanya dengan kasar namun segera di tutupnya kembali ketika melihat sang suami bertelanjang dada dan didepannya gisaeng tersebut bersiap untuk memeluknya.
"Haaaahh... ini bahaya!" gadis itu segera ngibrit pergi sambil memegangi dadanya.
Dan Han Joon mengikutinya dari belakang.
Dam-Hi duduk di sebuah dipan di halaman belakang kediaman Pangeran Soryung. Beberapa pelayan masih terlihat mondar-mandir dengan kain dan beberapa mangkuk kotor, Jan-Di juga terlihat tengah menikmati makan malamnya dengan tergesa begitu di lihatnya sang nona duduk di halaman belakang dengan wajah memelas.
Dam-Hi sepertinya merasa sangat frustasi dengan keadaannya, dia terlalu berpikiran berlebihan dengan keadaannya saat ini.
"Kau tahu Han Joon—" Dam-Hi mulai berbicara seraya menghembuskan nafas berat, Han Joon yang berdiri di sampingnya mendengarkan dengan seksama "—Haaahhh—" helaan nafas Dam-Hi terdengar lagi "—Aku mungkin terlihat baik-baik saja disini namun..semua ini begitu menakutkan bagiku, aku tidak tahu kapan aku akan mati disini, aku merasa akan sangat menyakitkan jika aku mati dengan cara mengenaskan, seperti di racun ataupun tertusuk pedang pasti sangat menyakitkan, bukan?!" wajah memelas Dam-Hi terlihat begitu menyedihkan.
Han Joon seperti mengerti perasaan Dam-Hi, gadis itu selalu berkata bahwa semuanya baik-baik saja dan menghadapi semua masalah sendiri namun bagaimanapun gadis itu pasti juga menyimpan rasa kwatir dan kecemasan akan nasibnya kini.
"Agassi—"
"Aku ingin pulang...." Dam-Hi menoleh kearah Han Joon dengan airmata yang berlinangan, Han Joon terdiam, hatinya hancur melihat tangis Dam-Hi, jika ia bisa saat itu juga ingin rasanya ia membawa pergi Dam-Hi dari sana, menjauh sejauh-jauhnya.
Han Joon kemudian berlutut didepan Dam-Hi "Ma-Nim—"
Dam-Hi menatap kearah Han Joon sambil menyeka airmatanya.
"Jangan menganggap bahwa anda disini seorang diri, jika anda merasa sulit maka saya akan membantu anda, hanya tolong—jangan bersedih seperti ini.... anda terlihat—" Han Joon tidak sanggup meneruskan ucapannya, pemuda itu kemudian menunduk dengan dada yang berdebar kencang.
Lee Gak yang melihat hal itu dari jauh hanya bisa menghela nafas "Haaah—ini akan sangat merepotkan." Gumamnya seraya pergi dari tempatnya berdiri.
Lee Gak berjalan pergi menuju kamarnya kini, ia menutup perlahan pintu geser kamarnya dan duduk di belakang meja kecil. Di tatapnya refleksi dirinya pada pantulan cermin didepannya.
"Kau—bagaimana bisa kau begitu menakutkan hingga membuatnya begitu ketakutan seperti itu! Apa kau bukan manusia? Haah!! Kau bukan manusia!!?? Aiigooo-ya... berhentilah bersikap seperti monster dan kembalilah menjadi manusia..." Lee Gak bicara sendiri, ekspresi wajah yang begitu sendu jelas terlihat disana, keputusasaan, kesepian dan kehampaan begitu tergambar jelas.
Inilah Lee Gak yang sebenarnya, begitu rapuh dan lemah. Seorang bocah lelaki kecil yang begitu putus asa dengan nasibnya setelah ibunya harus di hukum mati didepannya.
Lee Gak tidak minta banyak—ia hanya ingin keadilan bagi sang ibu namun sepertinya itu akan sulit didapatkan dengan mudah jalan satu-satunya mungkin hanyalah Takhta yang akan bisa menghancurkan keegoisan dan keangkuhan wangsa Kim yang selama ini menguasai hampir 80 persen pemerintahan.
Wajah memelasnya Lee Gak tiba-tiba menghilang dan berganti dengan sorot mata penuh kemarahan. Di tatapnya sebuah kotak kayu di sampingnya, didalam kotak tersebut terdapat baju milik sang ibu yang penuh dengan darah.
Ia kemudian menatap luruh kedepan dengan sorot mata yang berkilat penuh kemarahan. Ia tidak bisa menyerah begitu saja hanya demi sebuah hati, usaha yang dilakukannya selama ini tidak akan berakhir sia-sia begitu saja. Lee Gak harus mengesampingkan hatinya dulu dan melanjutkan rencana awalnya untuk menghancurkan semua orang yang menghancurkan hidupnya dan keluarganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
As a Flower Bloom and Fall (LANJUT KARYA KARSA)
Fiction Historiquemenjadi puncak Rantai makanan bukanlah sesuatu yang mudah, Keluarga Kim memanjat kekuasaan tersebut dengan mengorbankan banyak nyawa sebagai pijakannya dan Mendiang Selir Agung tak luput dari pengorbanan tersebut bahkan menjauhkan putra-nya, Pangera...